Mohon tunggu...
Paradha Wihandi Simarmata
Paradha Wihandi Simarmata Mohon Tunggu... Lainnya - Orang yang masih sangat bodoh..

Ja Sagen!!!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan Lautan Api

10 Oktober 2019   16:06 Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila ingin menggunakan chain saw, lahan nya harus di pagar terlebih dahulu. Lalu mereka mengeluhkan, bagaimana mereka melakukan itu? Uang yang mereka miliki untuk kebutuhan sehari-hari tidak akan cukup bila harus membuka lahan dengan cost yang begitu besarnya.

Jalan alternatif yang mereka pikirkan adalah menjual lahan nya ke pebisnis dan berharap agar mereka nantinya akan diberi pekerjaan di perusahaan nya. Namun, apakah perusahaan mau menampung begitu saja lahan yang dijual? Apakah ada faktor lain sehingga pengusaha mau membeli lahan nya?

Kaitan elit bermain karhutla
Mahalnya biaya membuka lahan untuk berladang, membuat banyak masyarakat yang enggan berladang. Masyarakat lebih senang menjual lahannya ke pebisnis. Penelitian oleh Herry Purnomo di Forest Policy and Economic Journal yang ditampilkan oleh majalah Tirto pada 7 Oktober 2019, mengunkap tentang bisnis menguntungkan mengenai jual beli lahan dibalik karhutla.

Aktor pembakar lahan dibagi menjadi tiga tipe: Tipe kecil, misalnya peladang atau masyarakat lokal. Tipe ini tidak berdampak besar, sebab lahan nya tidak luas. Tipe menengah, biasanya dia adalah pendatang yang menjadi perantara jual beli lahan antara elit lokal dengan pembeli di kota, Terakhir ialah tipe elit, mereka adalah aktor yang mengatur transaksi tanah.

Pembakaran yang dilakukan untuk menaikkan harga lahan. Bila lahan masih hijau, hanya dihargai Rp. 3.000.000/Ha. Bila pohon-pohon telah ditebang, harga akan naik menjadi Rp. 9.000.000/Ha. Nilainya akan lebih naik apabila lahan sudah dibakar, harganya menjadi Rp. 11.000.000/Ha. 

Metode pembakaran, menjadi pilihan termurah, karena saat land clearing, perusahaan hanya mengeluakan biaya Rp. 500.000/Ha. Sedangkan lahan yang tidak dibakar, akan mengeluarkan biaya Rp. 5.500.000/Ha.

Hancurnya ekologis
Besarnya dampak negatif dari pembakaran hutan sangat nyata dirasakan. Penambahan profit bagi mereka yang berbisnis tidak sebanding dengan: kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya kualitas udara.

Besar kemungkinan, bahwa hewan-hewan yang ruang hidupnya terbakar akan mati, sebab tidak mampu lagi bertahan diatas kepulan asap. Hewan-hewan reptil, primata, dan juga buas tidak akan mungkin bisa berbuat banyak saat ruang hidupnya habis terbakar.

Benar bahwasanya kita tidak mudah lepas dari industri kayu, atau pun minyak sawit. Namun kita masih membutuhkan oksigen untuk bernafas, membutuhkan iklim yang nyaman, penjaga cadangan air sehingga tidak terjadi longsor dan erosi, serta keanekaragaman hayati untuk ekosistem bumi yang sehat dan berlanjut. Semua itu tidak akan didapatkan bila hutan basah tidak tersedia lagi.

Apakah karena mereka tidak memberi keuntungan ekonomi yang, sehingga kita ambil ruang hidupnya? Apa karena mereka tidak membayar sehingga tidak perlu kita suarakan kesusahannya? Banyak sekali pelajaran yang telah kita ambil dari alam. Jangan sampai hanya penyesalan yang tersisa dalam diri kita atas kerusakan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun