"Pilihan hidup? Pilihan hidup mana yang sedang kamu bicarakan, Rena? Mama lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Dan itu tugas Mama."
"Termasuk mengurusi dengan siapa Rena jatuh cinta?"
"Ya! Dan jatuh cinta pada lelaki tua penjaga kebun, bukan sesuatu yang harus kamu pertahankan sampai kamu harus melawan Mama! "
"It's not fair, Ma."
"Hidup ini memang tidak pernah adil, asal kamu tahu itu. Besok kamu tentukan kota pilihan kamu, atau dia terpaksa Mama minta pergi dari sini."
Dan di sinilah dia sekarang. Memandangi mangkuk bubur ayam yang telah kosong, sementara di luar cafe orang-orang berdiri berjejer menunggu taksi. Suara Mama masih terngiang-ngiang, "Kali ini kamu harus pulang, tidak boleh tidak. Kamu harus tahu siapa Papamu, kamu harus tahu siapa Paman Mataharimu. Kamu harus tahu, sebelum semua terlambat, Nak."
Hujan belum juga reda, Michael Buble masih menyanyikan Haven't Met You Yet lewat pengeras suara. Tapi hatinya tidak seriang irama lagu yang dia dengar. Dia sudah lama menghapus kota itu dari masa lalunya. Perlahan-lahan, kenangan akan kota itu mengabur bersama asap rokok yang dihembus angin.
Perlahan-lahan, wajah Paman Mataharinya pun berpendar meliuk-liuk di udara. Persetan dengan perkataan Mama. Ia tidak lagi ingin tahu siapa papanya. Sungguh, saat ini ia tak ingin tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H