Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melukis Papa

9 April 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Klik. Dia menutup payung lalu mengibaskan air hujan di ujung mantel coklat miliknya yang basah. Dari tangga tempat dia berdiri, seorang anak kecil berlari menerjang rinai hujan dengan begitu berani.  Dia mengangsurkan uang setara tiga ribu rupiah pada bocah hujan tadi, bukan jumlah yang sepadan untuk berlari menawarkan payung, kuyup, dan kedinginan. Dari balik pintu kaca yang berembun dia mengitari ruangan dengan sudut matanya. Hanya beberapa kursi yang berisi, pastilah orang-orang malas keluar hujan-hujan begini. Berkumpul di rumah dengan keluarga justru jauh lebih hangat. Keluarga, kapan terakhir kalinya dia merasa berada di tengah keluarga?

Dia terbiasa duduk di meja pojok kiri kafe ini, menyaksikan orang-orang yang datang dari ujung kanan jalan, mobil-mobil berlalu lalang membunyikan klakson, polisi mengatur lalu lintas dengan lambaian tangan yang tegas sambil sesekali meniupkan peluit, dan pengamen buta peniup harmonika dengan koper terbuka di depannya, adalah pemandangan yang biasa dia saksikan setiap kali ke tempat ini.  Dia baru menghabiskan setengah batang rokok saat seorang pelayan datang dengan buku menu dan pena yang terselip di jari. Bubur ayam, menu yang selalu dipesannya.

"Your Heart Will Lead You Home" tengah memekik dari loudspeaker sementara dia merasakan suara-suara berisik pengunjung yang bercengkerama telah merusak lagu itu sejak pertama kali piano masuk sebagai intro. Semua orang di sini berbicara dengan nada rendah, tapi menimbulkan ketidaknyamanan di telinga. Seperti dengungan lebah, nguuuiing, nguuuiiing.  Meresahkan. Sama meresahkannya dengan permintaan Mama kali ini. Permintaan yang tidak bisa ditolak, bagaimanapun itu.

Pelayan berpakaian ungu dengan rok denim hitam pendek datang membawakan bubur ayam yang dia pesan. Aroma nasi hangat bertabur potongan ayam ditambah kecap dan bawang goreng, masuk menyerbu hidung hingga ke rongga dadanya. Sangat ampuh sekali menggusur lamunannya tentang Mama, tentang dering telepon yang acapkali diterimanya akhir-akhir ini.

"Kamu harus pulang, Nak.  Tidak boleh tidak, ada hal penting yang harus Mama kasih tahu." Suara Mama di ujung sambungan telepon terdengar samar di telinganya. Kali  ini Mama memintanya dengan sangat memaksa, meski paksaan Mama tidak terdengar seperti kebanyakan orang memaksa. Tidak ada suara tinggi, tidak ada sanggahan di tengah perdebatan, tidak ada kalimat ancaman. Mama lihai sekali melakukannya, dia membatin. Berkali-kali sebelum ini Mama juga sudah terlalu sering memintanya pulang. Lewat surat, lewat telepon, namun tidak pernah dia gubris. Alasan demi alasan bermunculan dalam kepalanya setiap kali pembicaraan dengan Mama sudah mengarah ke sana.

Beberapa bulan lagi musim semi, dan libur akan panjang.

Ya sudah, berati nanti kamu pulang kan?

Hmmm

Sekarang sudah musim semi, kapan mau pulang, Rena?

Kayaknya gak bisa, Ma. Dapat kerjaan di sini. Lumayanlah buat tambah-tambah.

Apa duit yang Mama kasih kurang?

Nggak.

Terus?

Aku pengen kerja aja. Lumayan duitnya buat beli baju hangat.

Kamu butuh duit?  Berapa?  Nanti Mama kirimkan.

Gak usah, Ma. Aku pengen ngerasain duit hasil keringat sendiri aja.

Jadi kapan kamu pulang, nak?

Lihat nanti ya, Ma. Aku buru-buru nih, bye.

Bye. Telepon diputus dan dia tidak akan kemana-mana.

Bertahun-tahun sudah Rena tidak pulang, di tanah rantau, bukan tidak pernah dia mimpi akan tempat kelahirannya. Tapi apalah gunanya pulang jika setiap jengkal kota itu tidak lagi menyisakan kenangan masa lalu. Dia telah banyak mengubur ingatannya, dimulai saat pesawat yang mengantarkannya ke London meninggalkan bandara dan menyisakan  isak tangis Mama. Hanya tersisa satu bagian penting hidupnya yang tertinggal di kota itu. Yang tidak bisa dihapus, yang tidak bisa dibawa, yang memang harus selalu dikenang.

Penjaga kebun  itu, yang sering dia panggil dengan Paman Matahari, mungkin lebih tua beberapa tahun dari usia mamanya. Memiliki raut wajah teduh dengan sorot mata yang dalam. Urat-urat tangannya yang biru, bertonjolan di permukaan kulit yang mulai keriput. Bahunya bidang dan rahangnya kokoh. Kata mamanya, Paman Matahari telah lama ikut dengan keluarga mereka. Sejak Mama masih kecil, Nenek dan Kakek telah menganggap Paman Matahari seperti anak sendiri. Disekolahkan, seperti mamanya juga. Tapi paman tidak mau melanjutkan sekolahnya. Hanya sampai lulus SMP saja, katanya dia tidak mau membebani Kakek dan Nenek lagi.  Lalu meminta agar tetap dipekerjakan di keluarga Mama saja.

Apa Paman tidak punya keluarga?  Punya, kata Mama. Cuma sudah meninggal, ibunya meninggal terkena tubercolosa sewaktu Paman masih kecil. Paman tidak sempat mengenal ayahnya. Ayahnya dibawa orang-orang bersenjata pada malam hari dan setelah itu tidak ada kabarnya hingga hari ini. Dibawa? Kemana? Entahlah, tidak ada yang tahu. Kenapa? Dituduh ekstrimis, mata-mata Belanda. Adik-adiknya? Paman tidak punya adik. Kakak? Sama. Disangka ekstrimis juga? Bukan. Paman tidak punya saudara. Ibunya tidak menikah lagi sampai akhirnya meninggal. Berarti ibu paman istri setia? Tanya sendiri saja. Tanya sendiri? Ke siapa? Ke ibunya Paman Matahari.  Kan sudah meninggal. Ya sudah.

Rena ingat percakapannya dengan Mama sewaktu mereka duduk berdua di taman belakang rumah. Sejak itu, tumbuh semacam rasa dalam hati Rena terhadap lelaki yang telah mengabdikan diri pada keluarga mereka. Semacam rasa iba. Dia tidak tahu bagaimana perasaan Paman saat ibunya meninggal, tapi dia bisa tahu seperti apa pedihnya ditinggalkan ayah. Mungkin karena dia dan Paman Matahari sama-sama tidak memiliki ayah, maka dia bisa merasakan betapa perih menanggung nasib seperti itu.

Suatu hari teman-teman mengolok-olokinya dengan sebutan anak haram. "Anak haram, anak haram. Lahir tapi gak punya papa." Dia pulang sekolah berurai air mata. Diraihnya gagang telepon, memutar nomor, yang menjawab suara laki-laki. Katanya Ibu Diana sedang meeting dengan pimpinan direksi. Akan saya sampaikan kalau dik Rena tadi menelepon, begitu kata si lelaki penerima telepon. Dia sungguh-sungguh sedih, lalu tertidur dengan sisa isak tangis dan pipi yang basah. Hingga larut, mamanya tak juga pulang. Tangisnya pecah untuk ke dua kali.

Kata Mama, dia punya papa. Mama punya fotonya.  Foto Mama dengan seorang lelaki berperawakan tinggi dan rambut ikal yang disisir rapi ke samping. Berkulit cerah dan berhidung mancung. Tapi kenapa tidak ada foto dia dan Papa? Waktu itu kamu rewel sekali, suka menangis. Karena itu Papa pergi? Bukan. Lantas? Karena itu tidak ada juru foto yang mau mengambil gambar kamu. Kata Mama sambil terbahak. Ooohh..

Padahal, dia ingin sekali punya papa, sama seperti teman-temannya yang lain. Sering dia iri pada mereka yang diantarkan papanya ke sekolah, sebelum pergi, papa mereka akan membungkuk lalu mengecup lembut di kening, mengusap kepalanya dan berpesan, belajar yang rajin ya, sayang. Dia ingin sekali belajar cemberut pada papa saat keinginannya tidak terpenuhi, membanting pintu kamar kuat-kuat, dan papa akan datang dengan penuh penyesalan lalu meminta maaf, berbisik pelan dan memanggil namanya dengan suara yang berirama. Mama bilang hidup mereka akan baik-baik saja meski tidak ada papa di rumah. Tapi menurut dia tidak, dia mau papa. Mama punya papa, kakeknya. Sayang kakek kepadanya sama seperti sayang seorang papa. Dia membantah, kakek tidak bisa dipanggil papa! Mama melotot, dia tidak suka. Dibantingnya vas bunga biru kesayangan Mama. Dia hanya ingin tahu di mana papa, apa susahnya? Mama diam lalu pergi. Dia tidak pernah lagi membicarakan tentang Papa di depan Mama.

Pernah dia melempar kepala temannya hingga delapan jahitan. Dia dibawa ke ruangan guru, disuruh berdiri di pojok, ditanyai macam-macam hingga kepalanya pusing. Mama datang tergopoh-gopoh, berbicara dengan wali kelas dan meliriknya berkali-kali. Dia melihat mata Mama berkilatan seperti mata kucing di malam hari, dengan bibir merah menyala, mencolok sekali. Suara sepatu hak tinggi Mama berkeletak sepanjang koridor sekolah, ketiaknya sakit karena Mama menyeret tangannya terlalu kuat. Sampai di rumah, Mama mendorongnya ke sofa.

"Terserah kamu mau dikatain anak haram, Mama tidak perduli! Asal jangan pernah lagi Mama dipanggil ke sekolah karena ulahmu." Mama berteriak-teriak di ruang tengah sambil memegangi kepalanya.

Dia menunduk dalam, bukan menyesal, tidak sedih, dia hanya berpikir, kenapa temannya hanya luka delapan jahitan saja? Padahal, batu yang dilemparkannya sebesar kepalan tangan. Mungkin kepala Mamanya waktu itu juga sakit karena wali kelasnya terlalu banyak bicara, sama seperti yang dia alami. Kepalanya pusing kalau terlalu lama mendengarkan orang berbicara. Mama masuk kamar dan dia masih tertunduk saat Paman Matahari mendekatinya, menggendongnya, lalu mereka duduk berdua di taman belakang rumah.

Sampai larut, mereka duduk berdua di taman, saling diam, tidak ada yang bersuara. Paman Matahari memeluknya, erat tapi tidak sakit, hangat tapi terasa sejuk, dia mendengar suara jantung Paman Matahari yang berdetak.  Dug.. dug.. dug.. dug..

Tak terasa air matanya tumpah membasahi dada Paman Matahari. Setengah mati dia berusaha menyembunyikan sengguk tapi tak berhasil. Dia merasakan sesuatu yang ganjil, semacam perasan aneh yang membingungkan. Paman mengusap rambutnya dan berkali-kali menciumi kepalanya.  Dia ingin selalu seperti ini.

Semakin lama, dia merasa nyaman tiap kali Paman Matahari ada di dekatnya. Setiap hari, dia melalui banyak hal dengan semangat. Gairah belajarnya semakin meningkat, memang Mama tidak pernah sempat datang ke sekolah mengambil raport, tapi itu tidak membuatnya sedih. Dia hanya ingin selalu menjadi yang pertama. Di sekolah, di kursus piano, di kelas balet, di manapun. Dia selalu ingin punya sesuatu untuk dibanggakan pada Paman Matahari. Mama menghujaninya dengan banyak hadiah mahal. Di usianya yang ke tujuh belas, Mama membelikan mobil dan membayar supir khusus untuknya. Dan lagi, dia sudah diizinkan pacaran.  Hatinya berbunga-bunga.  Dia bahagia, sangat bahagia.

Setamat SMA, Mama melemparkan bermacam-macam brosur kuliah di luar negeri. "Kuliahlah di mana kamu suka. Paris, Australia, London, Perth, kemana pun." Tapi dia menolak.  Dia hanya ingin kuliah di kota ini, dia ingin tetap tinggal di rumah ini. Tapi Mama bersikeras menolak. "Pokoknya kamu harus kuliah di luar negeri. Bekerja di sana kalau perlu." Kenapa? Kenapa Mama selalu saja merusak semua rencana-rencananya? Kenapa Mama tidak pernah ingin melihatnya bahagia dengan hidup yang telah dipilihnya sendiri?  Dia berteriak-teriak kalap. Dia ngeri melihat pantulan dirinya di cermin, dia mirip Mamanya kalau sedang mengamuk.

"Pilihan hidup? Pilihan hidup mana yang sedang kamu bicarakan, Rena? Mama lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Dan itu tugas Mama."

"Termasuk mengurusi dengan siapa Rena jatuh cinta?"

"Ya! Dan jatuh cinta pada lelaki tua penjaga kebun, bukan sesuatu yang harus kamu pertahankan sampai kamu harus melawan Mama! "

"It's not fair, Ma."

"Hidup ini memang tidak pernah adil, asal kamu tahu itu. Besok kamu tentukan kota pilihan kamu, atau dia terpaksa Mama minta pergi dari sini."

Dan di sinilah dia sekarang.  Memandangi mangkuk bubur ayam yang telah kosong, sementara di luar cafe orang-orang berdiri berjejer menunggu taksi. Suara Mama masih terngiang-ngiang, "Kali ini kamu harus pulang, tidak boleh tidak. Kamu harus tahu siapa Papamu, kamu harus tahu siapa Paman Mataharimu. Kamu harus tahu, sebelum semua terlambat, Nak."

Hujan belum juga reda, Michael Buble masih menyanyikan Haven't Met You Yet lewat pengeras suara. Tapi hatinya tidak seriang irama lagu yang dia dengar. Dia sudah lama menghapus kota itu dari masa lalunya. Perlahan-lahan, kenangan akan kota itu mengabur bersama asap rokok yang dihembus angin.

Perlahan-lahan, wajah Paman Mataharinya pun berpendar meliuk-liuk di udara.  Persetan dengan perkataan Mama.  Ia tidak lagi ingin tahu siapa papanya.  Sungguh, saat ini ia tak ingin tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun