Mohon tunggu...
Galih Pangestu Jati
Galih Pangestu Jati Mohon Tunggu... -

Seorang pelajar dengan pemikiran sangat dangkal yang ingin menyelam lebih dalam .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Pagi dan Kau yang Kupanggil Tuan

12 April 2014   16:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tuan, harapanku telah berpendar. Menyebar bersama helaan nafas yang penuh dengan cemas dan rindu. Aku tak punya lagi yang namanya harapan. Bukannya aku tak percaya, ataupun aku telah putus asa, tapi kenyataan memang demikian. Waktu melarangku untuk menaruh beberapa potong harapan padamu seperti setiap pagi aku menaruh sepotong panekuk pada piringmu. Atau menuangkan harapan padamu seperti aku menuangkan kopi pada cangkirmu.

***

“Tok… Tok… Tok…” Pagi ini embun belum sempat turun. Udara dingin masih menyelinap pada celah-celah dinding rumah, lalu dengan halus dan sangat pelan menusuk dengan bengisnya pada setiap pori tubuhku. Tapi tiga ketukan pintu telah terdengar. Setan! Aku tak bergegas. Masih bertahan dengan tidur yang hanyalah sebuah kepura-puraan untuk menutupi kemalasan.

Setelahnya, tidak ada suara. Hanya ada derit pintu pelan dan langkah yang nyaris tanpa terdengar. Rasa penasaranku menyeruak, mengalahkan dingin yang sudah mulai pudar. Aku melangkahkan kaki menuruni ranjang menuju ruang makan. Kulihat Ibu sedang berkasih-kasihan dengan seseorang, bukan Ayah, tapi kau, Tuan. Matanya penuh dengan binar yang tak pernah kutemukan ketika berbincang denganku, atau dengan Ayah. Begitu teduh, tapi nampak liar dan nakal.

“Kamu sudah bangun?” Ucap Ibu dengan segala kegagapan ketika sudah menyadari aku berdiri di sampingnya. Aku hanya diam dengan penuh keheranan.

Saat itulah aku pertama kali melihatmu, Tuan. Dan terlibat dalam satu pertemuan dimana kata orang adalah hal yang selalu dinantikan, yang tanpa dirasa mengandung berbagai harapan, meski nanti pasti tahu akan berakhir pedih dalam perpisahan. Kau mengulurkan tangan padaku dengan senyum yang hangat dan mengembang. Sungguh begitu menawan, Tuan. Menenangkan.

“Siapa namamu, Nak?”

“Rukmini”

Kau tersenyum mendengar namaku, Tuan. Dan aku merasa kesal. Kau pasti menertawakan namaku yang tidak semodern Jean, Kate, Montana atau apalah itu. Aku menunduk, tapi kau malah mengangkat daguku pelan sambil menyunggingkan senyum itu lagi.

“Kamu tahu, siapa Rukmini?” tanyamu Tuan. Dan aku hanya bisa menggeleng pelan. Kau berkata Rukmini itu puteri Raja Bismaka dari Kerajaan Widarba. Ia adalah penjelmaan dari Dewi Laksmi, dewi Kemakmuran dan Kekayaan. Dia adalah istri Kresna, jelmaan dari Dewa Wisnu. Seketika aku merasa bangga oleh namaku karena ceritamu itu, Tuan. Tapi itu hanya sebuah dongeng, dipaidho keneng.

Setelahnya kau berusaha mengakrabkan diri denganku tanpa kutahu apa motifmu di balik itu. Kau bercerita apa saja tentangmu. Tidak berlebihan, dan tidak membual. Tidak seperti Ayah yang kerap membanggakan diri sebagai pemburu dengan menunjukkan berlembar-lembar foto hasil buruannya yang entah asli, entah diambil dari internet karena aku sendiri tak pernah melihat Ayah pulang dengan membawa seekor pun hewan yang ada pada foto yang dipamerkannya.

Tak terasa matahari sudah mulai naik. Hangat kopimu bahkan telah menguap. Aku menawarkan lagi untukmu satu cangkir kopi panas baru. Tapi kau kelihatan sudah tiada berselera lagi untuk mencoba meneguknya. Kau malah mengecup keningku pelan. Membuatku merasa limbung, Tuan. Tapi aku tidak jatuh. Jatuh hanya akan menumbuhkan keangkuhan pada benakmu karena merasa berhasil bisa melakukan penaklukan. Dan aku tak mau itu.

“Aku hanyalah secercah embun, Nak. Datang sesaat sebelum kerontang menguapkan aku. Kalau aku mampu, aku ingin menghentikan waktu, agar aku bisa lebih lama datang padamu. Tapi sayang, aku harus segera pergi, sekarang.” Dengan sunggingan senyum yang masih menempel pada bibirmu, kau berbalik menuju Ibu, Tuan. Kemudian kau kecup kening Ibuku dengan khidmat dan pergi menuju pintu.

***

Setelah pagi itu, pagi-pagi seterusnya aku selalu menunggu Tuan untuk datang bertandang. Setiap pagi sebelum adzan subuh berkumandang, --bahkan sebelum Ibu bangun-- aku telah berkecimpung di dapur membuat beberapa buah panekuk untuk Tuan. Entah rasanya seperti apa, tapi kau tetap berusaha menikmati dan melahapnya, Tuan.

“Ketika aku memakan panekukmu, aku seperti merasakan panekuk dari The Original Pancake House. Apa kau terbang ke sana dan mencuri beberapa potong panekuk semalam buatku? Atau lebih parahnya kamu mencuri resep di sana mengendap-endap seperti plankton yang berusaha mencuri resep di Krusty Krab?” Pujimu dalam lelucon yang kau keluarkan dari mulutmu yang tetap mengulum senyum, Tuan.

“Tuan pandai membuatku besar kepala.” Jawabku singkat dengan rasa senang yang begitu merekah. Merasa bangga bisa menyenangkanmu hanya dengan adonan berisi terigu, susu, telur, baking powder, vanili, dan gula yang di panggang di atas wajan ceper lalu disajikan dengan madu.

Lalu setelah menikmati panekuk buatanku, kau harus membayar dengan mendongengkanku sampai waktumu habis, dan berlalu. Beberapa dongeng yang belum pernah aku dengar kau bawakan dengan rangkaian kata dan nada yang tepat, kadang turun kadang naik, kau begitu mampu membuat emosiku turun naik mengikuti alur dongenganmu.  Dan itu yang selalu aku rindukan darimu, Tuan. Itu yang membuatku selalu ingin menahanmu ketika kau harus segera pergi. Tapi kau selalu menenangkanku dengan janji-janji akan kembali esok nanti.

Tapi sering pula kau membuatku kecewa. Tidak semua pagi kau datang. Beberapa pagi kau mangkir dari janjimu, Tuan. Entah karena pagi tak mengizinkanmu atau alasan lain yang selalu kau sembunyikan dan tak mau membaginya padaku.

“Tidak semua yang terjadi bisa dijelaskan dengan kata-kata, Nak. Nanti dulu, biarkan saja itu menjadi sebuah pertanyaan hingga waktu bersedia menjelaskannya padamu.” Jelasmu, Tuan.

Ada beberapa pagi yang bukan kau, tapi Ayah yang datang ke rumah. Ia datang setelah beberapa hari bahkan kadang beberapa minggu tidak pulang, Tuan. Entah kemana aku pun tak tahu. Seperti yang selalu dibanggakannya, katanya Ayah berburu dan banyak menghabiskan hari-harinya di hutan bersama hewan dan kawan-kawannya. Ketika pulang, dia hanya tidur seharian. Tak ada dan tak mau bercengkrama denganku ataupun Ibu, apalagi mendongeng seperti yang selalu kau lakukan padaku. Dia begitu dingin. Aku merasakan kesepian. Ibu pun begitu, ada raut sedih yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata pada raut mukanya. Aku juga kerap merasa iri ketika melihat teman sepermainanku bercengkrama dengan Ayahnya masing-masing. Mereka kerap dijemput di gerbang sekolah dengan raut muka bahagia. Lalu mereka akan dibelikan eskrim atau mainan yang mereka inginkan. Sedangkan aku?

Pernah sekali aku protes pada Ayah kenapa dia lebih suka tidak berada di rumah dan menghabiskan waktu bersama yang katanya binatang di hutan daripada dengan anak istrinya sendiri. Dia malah memasang wajah yang geram dan langsung mendaratkan tamparan pada pipiku. Begitu sakit dan perih, Tuan. Mulai saat itu aku membencinya. Ketika dia pulang aku tak pernah lagi bicara padanya, Ayah pun juga tak pernah ada niat berbicara denganku.

***

Lama-lama aku merasa ada rasa yang tak bisa diberi nama. Bagaimana sesuatu yang secara sadar dirasakan memang ada yang salah, dinikmati dan begitu menggiurkan, lalu menimbulkan rasa nyaman. Bodohnya aku masih terlalu polos dan mudah terlarut di dalamnya. Aku membiarkan sebuah dosa lesap bersama dongeng-dongengmu yang selalu aku tunggu dan bersama pagi yang selalu mampu mengobati rasa sepi. Dan itu tidak hanya sekali dua kali, tapi berulang kali ketika kau datang kemari, Tuan. Padahal seharusnya dari awal aku harus curiga tentangmu, tentang Ibu dan tentang pagi. Di balik semua itu tanpa kusadari ada sebuah khianat yang dengan sengaja diendapkan. Sebetulnya aku tak boleh diam, tapi ternyata dendam lebih keparat. Ia mampu membungkamku dari semua ini. Tak berlangsung lama, hingga pada suatu pagi ketika hari masih nampak gelap, semua itu terungkap meski pekat masih berusaha mengaburkannya.

Pagi itu kau telah datang, Tuan. Kau hendak pergi, seperti biasa sedang mengecup kening Ibu mesra. Lalu pintu terbuka, udara dingin seketika masuk menusuk setiap pori dan menggelitik lubang hidungku. Sesosok bayangan berdiri di ambang pintu. Dari potongan tubuhnya aku sudah hafal, Ayah. Lalu dia berjalan menghampirimu dan Ibu. Aku masih duduk di meja makan dengan mulut yang tak sadar telah menganga menyaksikan gerak-geriknya. Ibu tampak terperanjat dan mulai menampakkan muka yang pucat. Tidak ada suara, sunyi.

“Plakk…!!!” Terdengar tamparan keras. Aku melihat tamparan keras mendarat di wajah Ibu. Ia pun tersungkur di lantai.

“Biadab! Aku suruh kau menjaga istri dan anakku, bukan aku suruh kau untuk menikmatinya!” Suara Ayah keras kepadamu, Tuan. Kalian terlibat pertengkaran hebat. Pertengkaran dua orang laki-laki dewasa.

“Tolong! Tolong!” teriak Ibu dengan tangis yang menjadi-jadi. Seketika para tetangga berbondong-bondong datang ke rumah. Mereka berkerumun berusaha melerai pertengkaranmu dengan Ayah, lalu membawa Ayah keluar entah kemana. Aku menghampirimu dengan segala keberanian yang berusaha aku kumpulkan. Kulihat kau telah jatuh tersungkur dengan leleran darah yang mengalir pada kepala yang telah retak. Matamu telah tertutup, dan nafasmu satu-satu.

“Tuan!!” rintihku pelan.

***

Ini pertama kali dan mungkin terakhir kali aku datang ke rumahmu, Tuan. Di sini aku tidak akan memaksamu memakan panekuk buatanku, atau menyiksamu untuk terus memutar otak memberikan dongeng-dongeng baru untukku. Tapi sangat sederhana. Aku hanya ingin melihat tubuhmu untuk terakhir kalinya sebelum tanah menyentuhmu dan kemudian menenggelamkanmu dengan semena-mena.

Kini kulihat sekarang tubuhmu telah kaku dengan kepala yang retak dan beberapa lebam biru pada wajah, ujung mulut dan pada beberapa bagian tubuhmu. Bau anyir darah sudah tak tercium lagi. Aku ingin mendekat, mengecup tanganmu yang dulu sempat kutaruh beberapa lembar harap. Tapi tak bisa. Perempuan dan beberapa tuyul-tuyul kecil di sekelilingmu yang sedang meraung-raung itu, mungkin tak akan pernah mengizinkannya.

Aku mulai paham, khianat memang nikmat, namun kuyakin itu hanya untuk sesaat bukan? Sekarang, kesepian telah menungguku lagi sepulang dari sini. Dia akan menungguku seperti dahulu aku menunggumu datang ketika pagi belum terang.

“Rukmini!”

Yogyakarta, 8/23/2013 2:39:28 PM

Cerpen ini masuk nominasi 20 besar lomba penulisan cerpen remaja Balai Bahasa Yogyakarta 2013

Bisa disangkal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun