Tuan, harapanku telah berpendar. Menyebar bersama helaan nafas yang penuh dengan cemas dan rindu. Aku tak punya lagi yang namanya harapan. Bukannya aku tak percaya, ataupun aku telah putus asa, tapi kenyataan memang demikian. Waktu melarangku untuk menaruh beberapa potong harapan padamu seperti setiap pagi aku menaruh sepotong panekuk pada piringmu. Atau menuangkan harapan padamu seperti aku menuangkan kopi pada cangkirmu.