Mohon tunggu...
Panca Nur Ilahi
Panca Nur Ilahi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Rebahan

Limpahkan pemikiran dengan sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Martabak

3 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 3 Januari 2021   17:21 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Put.. put.. Putri! Lu dengerin gue gak si?" Putri tersadar. 

"Oh ya. Lu ngomong apa?" "Aduh put capek deh, dari tadi lu gk dengerin gua ya!"

Putri terlihat bingung, "Kan tadi lu bilang coba resapi suasananya, makanya gua diem aja."

Lelah dengan putri yang terkadang telat mikir aku mengajaknya untuk siap-siap pulang. 

"Yaudah kita masuk aja, udah jam pulang kantor nih, yuk." Aku dan Putri bergegas masuk ke dalam untuk bersiap pulang. 

Benar saja setelah kami masuk, hujan mulai turun, ditambah petir dan angin kencang aku pikir hujan akan turun cukup lama. Untungnya aku sudah bersiap dengan payung yang aku bawa dari rumah, aku selalu mengingat kata-kata itu dari ibuku "Kalau sudah masuk musim hujan jangan lupa bawa payung, sedia payung sebelum hujan, biar gak kebasahan pas di jalan."  

Menggunakan payung aku berjalan mengarah ke Halte Trans Jakarta, bus yang akan aku naiki ternyata sudah ada di halte. Masuk ke dalam bus Trans Jakarta aku duduk di belakang dekat jendela, entah mengapa aku merasa terselamatkan dengan menjalankan pesan yang ibu berikan. 

Ibuku cukup perhatian dengan hal-hal kecil yang suka terlewat oleh anak-anaknya. Begitupun juga ke kakak-kakakku mereka selalu diingatkan agar selalu teliti dan tidak terburu-buru. Bisa dibilang keluargaku merupakan keluarga yang cukup besar. Aku merupakan anak terakhir dari 6 saudara. 

Bapak dan Ibuku merawat dan membesarkan enam orang anak dengan penuh perjuangan, karena kami bukan keluarga yang kaya raya atau keluarga yang sukses seperti Gen Halilintar. Bisa dibilang kami merupakan keluarga yang berkecukupan, ketika lapar cukup makan dengan apa yang ada di dapur, ketika mau tidur kami cukup dengan satu kasur bersama, bahkan ketika harus membeli makanan mewah kami cukup dengan berbagi. 

Aku ingat sekali sekitar 10 tahun yang lalu, pada saat itu keluarga ku sedang berada di ekonomi yang tidak stabil, jadi keluarga ku harus berhemat bahkan irit dengan segala hal, makanan pinggir jalan saja sudah termasuk barang mewah buat kami. Sudah menjadi kebiasaan bagi aku dan kakakku menunggu bapaku pulang, biasanya kami bermain tebak-tebakan makanan apa yang akan di bawa bapak setiap pulang. 

Itu juga yang membuat kegaduhan di rumahku waktu itu kami menonton TV menunggu Bapak pulang agar tidak ketiduran dan tidak kehabisan makanan yang dibawa sama bapak. Makanan favorit kami yaitu martabak, entah itu martabak manis atau asin pasti selalu habis tanpa sisa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun