Mohon tunggu...
Pamela Pusung
Pamela Pusung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

enjoy your reading

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ngopi Mahal dan Culture Jamming yang Terjadi

30 Maret 2021   07:20 Diperbarui: 30 Maret 2021   07:22 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: https://www.kibrispdr.org/pre-17/starbucks-logo-hd.html

Starbucks. Apa sih yang terbayang di ingatan kalian kalau mendengarkan kata ini? Kopi, nongkrong, fancy, mahal, dan sebagainya. Starbucks merupakan coffee shop yang sangat terkenal dan memiliki cabang di hampir di setiap negara, termasuk Indonesia. Budaya meminum kopi sudah sangat lekat di Indonesia. Maka dari itu sebelum berangkat kerja atau saat pagi santai ngopi menjadi pilihan. Bahkan, untuk berbincang dengan teman atau nongkrong banyak yang memilih untuk ngopi di coffee shop pilihan. Starbucks tentu saja menjadi pilihan nongkrong bagi anak-anak muda. Terutama, karena image yang diberikan oleh brand ini.

Starbucks cukup pricey dibandingkan dengan kopi-kopi lain. Tetapi, masih menjadi produk yang sangat diminati oleh para pecinta kopi. Logo yang dimiliki oleh starbucks seperti memberikan image tertentu. Sehingga, dapat dikatakan logo dari starbucks ini menjadi iklan atau cara mereka mempromosikan produk mereka. Dapat dikatakan bahwa Starbucks menjadi budaya populer di Indonesia. Budaya ini membuat masyarakat menjadi konsumtif dan membeli hanya untuk mengikuti trend yang ada. Hal ini membuat para anti-konsumtivisme mengkritik logo yang menjadi image dari starbucks ini. 

Dikatakan oleh Putri (2011) bahwa iklan menciptakan stereotype yang sempit dan seragam. Iklan produk dan korporat menerpa masyarakat dengan ajakan untuk membeli dan mengkonsumsi produk-produk tertentu dengan iming-iming 'menjadi lebih keren, modern, meningkatkan prestige dan sebagainya. Dengan image yang dimiliki oleh starbucks membuat masyarakat merasa lebih keren atau fancy saat meminumnya. Bahkan, produk merchandise yang dijual oleh starbucks pun sangat laku di masyarakat. 

Sebagai budaya populer starbucks juga mendapatkan kritik, termasuk dari para anti-konsumtivisme seperti yang saya sebutkan di atas. Nah, hal ini disebut dengan culture jamming. Sebelum lanjut, kita harus tahu terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan culture jamming. Culture jamming adalah gerakan yang bertujuan untuk mengejek atau menyindir sebuah iklan yang dianggap memiliki isu sosial atau lingkungin. Gerakan sosial ini aktif dalam melakukan aksi perlawanan terhadap iklan-iklan mainstream (Putri, 2011:18-19). Cara yang mereka gunakan adalah dengan menyebarkan meme mengenai logo starbucks. 

"Big Bucks" memiliki arti large sum of money. Culture jammer mengkritik mengenai harga jual yang diberikan oleh perusahaan kopi ini. Dominasi komersialisme yang dilakukan oleh starbucks juga menjadi alasan dari kritik ini. Starbucks dengan harganya yang mahal menjadi life style dari masyarakat. Sehingga, gerakan ini terjadi untuk merubah pandangan masyarakat. Dengan membuat meme yang tentu saja mudah tersebar di media sosial. Media sosial pun tidak lepas dari masyarakat. Kritik ini ada hubungannya dengan postmodernisme, bagaimana bisa?

Postmodernisme menurut Jean Francois Lyotard adalah segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme (Maksum, 2014 dalam Ajat Sudrajat dan Johan Setiawan, 2018:27-28). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi, postmodernisme mengoreksi modernisme yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya (Ghazali & Effendi, 2009 dalam Ajat Sudrajat dan Johan Setiawan, 2018:27-28).

Postmodernisme merupakan suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia (Ajat Sudrajat dan Johan Setiawan, 2018:28). 

Culture jamming yang juga merupakan kritik dalam bentuk seni menunjukkan persamaan dengan postmodernisme. Dalam hal ini mengkritik perusahaan starbucks yang merupakan produk dari postmodernisme. Kritik dalam bentuk meme yang juga merupakan bagian dari seni.

Daftar Pustaka

Putri, L. A. (2011). Culture Jamming Versus Popular Culture. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(1). Diakses dari UAJY

Setiawan, J. dan Sudrajat, A. (2018). Jurnal Filsafat, 28(1). Diakses dari Neliti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun