GbrbyLine
"Semuanya sudah jelas untuk apa kau masih saja mengharap mentari."Â
Angin malam menyuarakan bait kalimat pada rembualan.
"Aku harus tetap hadir di setiap purnama agar gumintang tak kesepian."Â
Rembulan berkekeh pada rotasi.
Yach, itulah yang selayaknya terjadi. Seperti bulan November ini. Tak pernah aku sangka akan melewatkannya dengan cemburu. Di hari ketiga hujan datang menyambangi.Â
Mengguyur bumi, menyuarakan gelegar dan kilatan, membuatku serasa tertusuk belati. Mungkin aku harus segera menyiapkan diri, agar aku lebih gagah berjalan saat deras menerpa tubuhku. Sekarang aku sudah tak mengharapkan kau akan selalu ada di setiap saat agar aku tak berkawan gigil. Dan di malam tiga bulan november ini, aku merasakan cemburu yang sangat. Hingga, darahku serasa membeku.
Kala semuanya jelas, aku makin mengerti rasa yang ada,inilah cemburu yang kurasakan. Â Saat itu aku memang sangat terkejut. Aku tak percaya, jika ternyata kau sanggup membohongiku dan menpersaingkanku dengan perempuan lain. Saat aku bertanya padamu. Kamu, mati-matian menyangkalnya.Â
Lalu dengan segala upayaku aku mencari bukti agar kamu tak mampu berkilah. Masih saja kau tak mau mengakuinya, dan tetap bersikukuh bahwa kau mencintaiku. Aku merasa muak dan mualku menjadi. Di depanmu kumuntahkan semua kotoran perutku. Kau, memandangku entah dengan padangan apa, aku tak mampu menterjemahkan apa yang tersirat. Sebagian sayapku sudah kamu bawa. Aku terhempas tak mampu mengepak.
"Dia, cuma rekan kerja. Kami tidak ada apa-apa."
Berkali-kali kalimat itu yang kamu jadikan pembelaan. Awal bulan November, dengan tidak menghiraukan gigil yang menusuk tubuhku, kuterjang derasnya airmata langit untuk mencari jejakmu. Dari kantormu, aku mengikuti agar aku bisa melihat dengan nyata bahwa kamu bersama perempuan yang selalu kau bilang sekedar rekan kerja.