Mohon tunggu...
Paman Tigis
Paman Tigis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjamasan Pusaka dan Mantra Penyelarasan Energi Pusaka Dari Alam Semesta

23 November 2016   19:08 Diperbarui: 26 November 2016   16:54 4313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari Senin Kliwon tanggal 21 Nopember 2016, Sekolah Budaya Tunggul Wulung yang beralamatkan di Jl. Sasando 9 Malang - Jawa Timur mengadakan sarasehan dengan tema : Penjamasan Pusaka dan Mantra Penyelarasan Energi Pusaka Dari Alam Semesta dengan nara sumber yaitu Empu Fanani Gandring Anom dan Empu Putro Alas ketonggo.      Seperti biasanya kegiatan diawali dengan do’a kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Ibu Pertiwi sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta dan wujud cinta tanah air Indonesia. 

Jamasan atau disebut juga Siraman Pusaka adalah suatu kegiatan tradisi memandikan atau mencuci dan mewarangi pusaka khususnya tosan aji yaitu keris dan tombak yang dilakukan setahun sekali. Di Jawa umumnya kegiatan ini diselenggarakan pada setiap bulan Sura (menurut kalender jawa) atau Muharam (menurut kalender Hijriyah), di beberapa daerah lain tradisi ini ada juga yang dilakukan pada bulan Maulud (menurut kalender Hijriyah). 

Empu Fanani menuturkan bahwasanya pada setiap prosesi jamasan atau siraman pusaka tidak selalu bilah pusaka harus dicuci kemudian diwarangi, tergantung kondisi pusaka itu sendiri. Jika kondisi pusaka masih bagus, warangan masih bagus maka pusaka tersebut tidak perlu dicuci dan diwarangi namun cukup diselaraskan kembali energinya dengan alam semesta.

 Mengapa pusaka-pusaka tersebut tidak perlu dicuci dan diwarangi jika kondisinya masih bagus ? karena dengan seringnya pusaka dicuci dan diwarangi maka bilah pusaka akan semakin cepat aus. Karena larutan untuk mencuci atau memandikan keris memiliki sifat yang asam. Air jeruk, air kelapa yang sudah basi, buah pace (mengkudu), ataupun sabun colek yang umumnya digunakan sebagai bahan untuk mencuci keris hingga nampak warna bilah pusaka sesungguhnya (proses ini disebut mutih, atau memutih) bisa membuat bilah pusaka terkikis. Kecuali jika memang bilah pusaka sudah sangat kotor, berkarat, dan memang layak untuk dicuci atau dimandikan, maka proses pencucian dan pewarangan sangat dianjurkan. Bilah pusaka yang terawat dengan baik cukup dicuci dan diwarangi setidaknya tiga atau empat tahun sekali.

Pada intinya proses penjamasan dan penyinergian pusaka dengan alam semesta ini dilakukan dengan harapan setelah proses tersebut dilakukan maka hasil akhir yang diinginkan ialah pusaka-pusaka itu berfungsi normal kembali, ibarat manusia yang selesai mandi kemudian mengenakan wewangian, baju yang bersih dan sebagainya maka dampak psikologis yang dirasakan ialah sebuah kesegaran dan energi yang positif.

Sebagai seorang Empu, Empu Fanani menerangkan bahwa ada beberapa lelaku yang harus dijalaninya yang bisa juga dilakukan oleh orang lain agar memiliki jiwa spiritual yang kuat yaitu :

  • Dharma Brata, yaitu lelaku yang mengutamakan asas manfaat diri untuk orang lain, diantaranya ialah mengutamakan kenyamanan orang disekelilingnya,
  • Dana Brata, yaitu kerelaan dan keikhlasan menyisihkan apa yang kita miliki untuk diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya,
  • Tarak Brata, yaitu lelaku memilih dan memilah makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Selain itu juga janganlah kita mengejek atau memberikan komentar yang bersifat negatif terhadap semua makanan yang kita konsumsi,
  • Lelana Brata, yaitu lelaku silaturahmi atau menyambung persaudaraan dan mudah memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain,
  • Tapa Brata, yaitu lelaku yang bersifat pribadi antara manusia dengan Sang Pencipta sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

Selanjutnya Empu Fanani juga menjelaskan proses pembuatan keris yang menggunakan teknik tempa lipat. Segala benda yang tipis akan menjadi lebih kuat bila benda itu dibuat berlapis-lapis. Teori ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lampau (Ensiklopedi Keris, 2004). Beberapa literatur menyatakan bahwa keris tertua dibuat di Pulau Jawa, diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Keris yang diciptakan pada masa-masa tersebut biasanya disebut sebagai keris Buda. Bentuk keris Buda umumnya masih sederhana, namun bahan atau material keris tergolong pilihan. Teknik pembuatannya keris pada masa itu juga relatif tidak jauh berbeda dengan masa sekarang.

Sebelum keris dibuat, terlebih dahulu dilakukan upacara selamatan yang dihadiri beberapa orang yaitu si pemesan, empu, panjak (pembantu empu) dan beberapa tetangga. Tujuan selamatan ini tidak lain ialah permohonan doa bersama kepada Tuhan agar dalam proses pengerjaan keris tersebut semuanya mendapat keselamatan, kelancaran dan  keberkahan serta terhindar dari segala macam bentuk bencana.

Salah satu doa yang diucapkan empu saat proses selamatan ialah :

Bismillahir Rakhmannir rakhim

Assalamu’alaikum, wa’alaikum salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun