Mohon tunggu...
Sadewa Putra Palagan
Sadewa Putra Palagan Mohon Tunggu... Editor - Penulis, peminat buku dan film

Saya lahir dari keluarga petani di Pati, Jateng, kemudian hijrah ke Jambi, kuliah di Padang, dan kini tinggal di Pekanbaru, Riau.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuala Lumpur Love Story (7)

11 Desember 2018   00:34 Diperbarui: 11 Desember 2018   01:24 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: olahan pribadi

DEWI sudah tahu tabiat Abi yang begitu. Sudah tahu bagaimana gayanya kalau sudah dekat dengan gadis-gadis cantik berjidat mulus, berbibir merah delima --kata Abi kepadanya suatu kali ketika ditanya apa warna kesukaan untuk bibir gadis-gadis--- dengan bodi seksi plus kaki belalang. Sebuah gambaran yang sudah jelas: itu gambaran gadis model.

Ketika masih di Bandung dulu, salah seorang temannya, Raditya, menyadarkannya tentang Dewi Utari. "Bro, coba lihat dengan mata kepala yang jernih. Bukankah sebenarnya yang kamu cari pada semua gadis-gadis yang kamu perlakukan seperti baju itu, semua ada pada Dewi?"

"Kuperlakukan seperti baju?"

"Ya iyalah. Apa namanya kalau nggak begitu. Baju ketika masih bagus, wangi, kamu pakai. Setelah lecek di badanmu karena keringatmu, kamu buang ke kotak pakain kotor..."

"Lalu apa hubungannya baju dengan Dewi Utari?"

"Lihat tuh..." Raditya menunjuk kea rah Dewi yang sedang berjalan menuju lobi fakultas. "Kurang apa dia coba? Bodinya, rambutnya, wajahnya, kakinya... Bukankah tipe seperti dia yang selama ini kamu cari?"

"Wah, sakit kamu nih Bro. Mana mungkin aku sama dia. Kami sahabatan sejak awal. Nggak ada istilah kami harus pacaran atau apa namanya. Tuhan nggak ridho. Marah nanti Dia..."

"Wah, jangan bawa-bawa Tuhan dong... Ini urusan dunia, Men..."

Kadang, Abi merasa apa yang dikatakan oleh Raditya ketika itu, juga Martino saat ini, ada benarnya. Kurang apanya dengan Dewi? Dia memiliki segalanya, lebih dari sekadar gadis yang kudambakan. Dia selalu ada ketika aku membutuhkannya. Selalu memperhatikanku. Dari apakah aku sudah makan sampai apakah odol untuk sikat gigiku sudah habisa atau belum. Jangan-jangan, benar kata Martino, dia kuliah ke sini juga karena aku? Tapi, ah tidak... Abi menggeleng-gelengkan kepalanya.

Angin malam berhembus semakin kencang. Jika tadi hanya terasa semilir dan hanya membuat daun-daun bergerak perlahan, kini embusannya sudah membuat daun-daun itu terasa akan terbang. Jika tak kuat lengket dengan ranting-ranting, mungkin daun-daun itu sudah beterbangan.  Beberapa orang yang tadi duduk di bangku-bangku di bawah beberapa pohon, juga tinggal beberapa yang masih ada di sana. Satu per satu sudah pergi meninggalkan bangku-bangku di bawah pohon di pinggir pelataran parker itu.

Dia kemudian juga beranjak dari sana. Berjalan ke arah lobi flat, menuju lif, memejet tombolnya, kemudian masuk ke dalam. Dia pilih tombol nomor lantainya, setelah itu lif bergerak ke atas. Setelah sampai, dia keluar dan menuju flatnya. Sesampai di dalam, dia masih sempat melihat ke kamar Martino yang tetap berada di posisinya seperti saat dia keluar tadi. Setelah itu dia masuk kamarnya. Dia mengganti celana jinsnya dengan celana sport pendek merek Libertad berwarna merah hati. Setelah itu dia menuju tampat tidurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun