Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Air Mata dan Kisah Masa Silam (Catatan Sunyi Perantau Ibu Kota)

16 Juli 2015   01:00 Diperbarui: 16 Juli 2015   01:00 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran. Sunyi sekali ketika saat ini saya mendengar kata itu. Bayangan-bayangan saya melesat ke masa-masa di mana keluargaku masih utuh. Menjelang lebaran, baik Bapak maupun Ibu selalu riuh. Persiapan mudik, bagi orang-orang rantau macam kami menjadi semacam tradisi yang melebihi tradisi. Tak terperi bagaimana perasaan untuk bersua dengan kampung halaman. Memamerkan keberhasilan kita selama satu tahun ini di tanah orang. Menghirup udara kampung yang masih berseri. Bertemu kerabat dan kawan masa kecil.


Dering telepon selular membuyarkan lamunanku. Aku hanya melirik sebentar. Kemudian melanjutkan sisa-sisa kenangan yang masih meruap. Keluargaku cukup berhasil di rantau. Bapakku bekerja sebagai karyawan pabrik, begitu juga ibuku. Belum lagi kerja sampingan Bapak sebagai makelar tanah. Meskipun tidak berlebih, namun kami hidup dalam keadaan cukup. Di kampung, rumah yang cukup megah telah berdiri. Tidak kalah dengan mereka yang memiliki sawah berhektar-hektar. Tak heran, bila mudik tiba, keluargaku cukup dihormati. Tentu bukan lantaran jabatan, namun aku melihat ini sebagai sebuah hasil kerja keras bapak dan ibu.


Orang tuaku, keduanya bukan berasal dari keluarga berada. Tidak punya sawah dan lahan yang akan digarap. Karena sadar itu, keduanya memutuskan ke Surabaya untuk mencari peruntungan. Tentu saja suasana baru di kota besar sangat membutuhkan adaptasi yang luar biasa sulit. Bapak memulai dengan menjadi kuli bangunan. Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Padahal, usia pernikahan mereka belum menginjak satu bulan. Saat Bapak menceritakan itu kepadaku, air matanya basah.


“Begitulah. Tidak ada yang namanya keberhasilan dengan santai-santai. Butuh nekat, kerja keras, hemat, dan selalu ingat Tuhanmu” ujar Bapak suatu malam. Aku mengangguk. Betapa tidak, sampai saat ini, hidupku sepenuhnya ditanggung orang tuaku. Aku hanya diwajibkan untuk sekolah setinggi-tingginya. “Kalau kamu saya wariskan harta, nanti hartamu akan habis Nak. Namun ilmu, itu yang akan membuat hidupmu menjadi lebih bermartabat.” Bapak senantiasa memberikan nasihat-nasihatnya kepadaku. Aku bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Hal yang tentu tidak didapat oleh anak-anak desaku seusiaku, kendati sawah orang tua mereka berhektar-hektar.


Dering telepon selular kembali berdering. Aku menghirup napas dalam-dalam. Terasa perih di dada.


“Kehidupan tentu saja berputar. Dulu Bapak dan Ibumu itu orang miskin Nang. Alhamdulillah, saat ini Allah meletakkan hidup kita di putaran atas. Entah di lain waktu” Ibu mengusap rambutku. Kata itu bukanlah kata-kata yang luar biasa, karena di sekolah, guru agamaku kerap membicarakan itu. Bahkan lengkap dengan dalil-dalil dalam kitab suci. Namun ketika itu diucapkan oleh Ibu, ada getar lain yang mendera hatiku.



Betul. Kehidupan tentu saja berputar. Saat aku memasuki semester dua di perkuliahanku, Bapak di PHK oleh pabriknya. Bukan hanya Bapak, tetapi ada puluhan pekerja lainnya. Setelah itu, Bapak mulai sakit-sakitan. Darah tingginya kerap sekali kumat. Hingga kemudian Bapak meninggalkan saya dan Ibu. Selama-lamanya.


Kepergian Bapak mau tidak mau merubah kondisi keluargaku. Aku yang tidak pernah bekerja selama ini, harus bekerja untuk melanjutkan studiku. Namun bukan itu yang membuat pikiranku lebih kacau. Ibu, semenjak ditinggal Bapak menjadi sering linglung. Dua bulan setelah kepergian Bapak, Ibu kecelakaan. Sebuah mobil telah menghantam tubuh tuanya di jalan depan kontrakan. Saat itu, aku merasa sendiri. Aku hanya terpaku melihat orang-orang mengerumuni jenazah Ibu. Tiba-tiba semua menjadi gelap.


Dering telepon selular lagi-lagi menyeretku ke masa kini. Di mana saya terjebak pada situasi yang cukup sulit. Usahaku di bidang percetakan bangkrut. Hutangku menumpuk, baik di bank maupun di teman-teman. Sudah hampir setahun ini saya merantau ke Jakarta. Sementara di kampung, istri dan anakku senantiasa mendoakanku. Mendoakan agar sukses. Mendoakan agar roda kehidupan segera membawa kami ke posisi atas. Posisi yang sangat didambakan bagi keluarga manapun.


Namun, rupanya perlu waktu dan butuh kesabaran. Tuhan tengah memiliki rencana yang berbeda. Di Ibu kota, saya menjadi layang-layang putus. Ke sana kemari depak angin. Tidak menghasilkan apa-apa. Sementara istri dan ankku untuk sementara dibantu oleh mertua. Kabarnya, Ranti (istriku) mencari tambahan penghasilan dengan membantu pekerjaan rumah Pak Lurah. Hal yang membuat dadaku sesak berhari-hari.


***
Lebaran. Sunyi sekali ketika saat ini saya mendengar kata itu. Saya harus merelakan lebaran tahun ini di tanah rantau. Terpisah dari anak dan istri. Apa daya, sampai saat ini di dompetku tak sepeserpun uang yang ada. Keputusan yang teramat pahit. Istriku berpuluh kali menelponku. Menyuruhku pulang. Namun, sore ini saya biarkan telepon selularku berdering. Tanpa sekalipun menerimanya. Saya tak kuasa bila mendengar tangisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun