Pikiran saya begini.
Bagaimana seandainya saya lahir di Wuhan. Dan saat ini masih di sana.
Lalu bagaimana saya menghadapi musibah yang mengancam nyawa saya. Terkait virus Corona. Yang telah ditetapkan musibah darurat internasional oleh WHO.
Sementara kota tempat lahir saya yang saya cintai itu diisolasi. Hanya menunggu. Menunggu waktu barangkali. Menunggu Corona menggerus nyawa.
Pikiran saya begini.
Bagaimana seandainya saya menjadi orang tua mahasiswa yang terjebak di Wuhan. Anak yang saya cintai berada di tengah pusat penyebaran virus korona, yang menurut WHO mematikan itu. Yang keberadaannya tengah tergencet kebijakan negara. Terisolasi.
Tentu hidup saya tidak akan normal. Setiap langkah saya pasti memikirkan bagaimana nasib anak tercinta. Mendoakan tentu saja. Berharap kebijakan pemerintah untuk segera memulangkan. Secepatnya.
Tentu sebagai orang tua, kalau ada pilihan bertukar tempat, tentu akan dilakukan. Rela mati untuk anak tercinta. Bukankah begitu dalilnya?
Pikiran saya begini.
Di tengah kehidupan normal kita, ada berita mengejutkan. Mahasiswa yang terjebak di Wuhan ~ terkait wabah Corona ~ akan dievakuasi pemerintah dan akan diisolasi di daerah kita. Di pulau Natuna tercinta.
Sementara, berseliweran keganasan wabah tersebut. Baik yang terinfeksi maupun yang meninggal. Kenapa harus di pulau yang kami huni mereka akan diisolasi?. Kenapa tidak di tempat lain? Salahkah kami bila kami menolak mereka??