Dari tiga aktivitas pendidikan, yaitu pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, pembelajaran kokurikuler agaknya lebih mudah dijadikan ruang sinergi untuk pendidikan bermutu. Ini tak berarti bahwa pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler tak bisa menjadi ruang untuk pendidikan bermutu. Sangat bisa.
Tapi, sebagai ruang sinergi bagi guru, murid, dan orangtua, pembelajaran kokurikuler lebih relevan. Sebab, pembelajaran kokurikuler secara utuh lebih mengarah ke pembentukan sikap positif dan produktif murid.
Bukankah pembentukan sikap positif dan produktif murid merupakan ranah yang paling berat untuk dicapai ketimbang pengetahuan dan keterampilan? Bayangkan, ada delapan dimensi profil lulusan, yang disadari atau tak disadari, terkait dengan pembentukan sikap positif dan produktif murid.
Delapan dimensi profil lulusan itu adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; penalaran kritis; kesehatan; kewargaan; komunikasi; kemandirian; kreativitas; dan kolaborasi.
Belum lagi pada masa kini bagian ini menjadi sorotan banyak pihak, bukan karena hebatnya, tapi karena lemahnya. Yaitu, murid belum menghayati secara sungguh dan mendalam.
Tak hanya guru yang mengakui kondisi ini. Tapi, juga orangtua murid. Sering beberapa orangtua murid ketika memenuhi undangan pertemuan di sekolah, menyatakan kepada guru bahwa, misalnya, anaknya malas belajar, hanya sibuk dengan gawai, bangun kesiangan, dan abai terhadap kesibukan orangtua di rumah.
Hal seperti ini dan beberapa hal lain yang sejenis rasanya tak mungkin menjadi tanggung jawab guru semata. Toh memang tanggung jawab pendidikan anak berada di tangan pemerintah (guru), masyarakat, dan keluarga.
Tak hanya satu pihak. Ketiganya memang harus ambil bagian dalam membersamai anak dalam proses tumbuh kembangnya. Tentu saja sesuai dengan bagiannya masing-masing. Sehingga, anak tetap merasa bahwa keberadaannya merupakan bagian dari ketiga pihak.
Anak merasa nyaman dan aman berada di sekolah bersama guru. Anak juga merasa nyaman dan aman bersama keluarga. Pun demikian anak merasa nyaman dan aman di masyarakat tempat ia berada.
Maka, dalam konteks seperti ini menempatkan anak, yang notabene murid, sebagai partner guru dan orangtua dalam pembelajaran bukan hal yang keliru.