Dan, Orangtua akhirnya mengerti betul proses belajar yang diikuti oleh anaknya. Mudah sulitnya anak atau murid belajar, orangtua mengetahui.
Bahkan lebih lagi, orangtua dapat turut merasakan dan mengalami yang dirasakan dan dialami oleh anak atau murid. Seperti yang setiap hari telah dirasakan dan dialami oleh guru.
Dalam kondisi demikian akan memunculkan spirit kebersamaan dalam merampungkan proyek kokurikuler. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, kini Kelas IX sedang mengerjakan proyek bertanam sayur dalam pot. Pot dibuat dari botol plastik kemasan air mineral.
Proses dari awal mencari botol plastik kemasan air mineral, pembuatan pot, menanam sayuran dalam pot, perawatan, hingga panen, sinergi guru, murid, dan orangtua dapat diwujudkan. Sehingga, nilai-nilai kebersamaan dapat ditemukan, dirasakan, dan dihayati bersama.
Memang tak mungkin dalam setiap tahap proyek kokurikuler ini orangtua dapat bersinergi. Tapi, pasti ada tahap-tahap tertentu yang memungkinkan orangtua dapat bersinergi dengan guru dan murid dalam melaksanakan proyek ini.
Sebab, orangtua juga memiliki tanggung jawab untuk bekerja demi kelangsungan hidup keluarga. Sehingga, menyisihkan waktu untuk bersinergi dengan guru dan anak atau murid dalam proyek kokurikuler merupakan upaya yang sangat berharga.
Karenanya, sekolah perlu menghargai upaya orangtua secara serius dan berprospek dalam mengelola dan menjaga keberlangsungan proyek kokurikuler yang mengedepankan kesinergian ini.
Spirit kesinergian yang ditemukan, dirasakan, dan dialami oleh guru, murid, dan orangtua dalam pembelajaran proyek kokurikuler, disadari atau tak disadari, akan melahirkan Pendidikan Bermutu. Sebab, guru, orangtua, dan murid bersama-sama dan berpadu mengarahkan proses pendidikan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna, khususnya bagi murid.
Itu sebabnya, upaya mengelola dan menjaga pembelajaran kokurikuler yang melibatkan guru, murid, dan orangtua dalam proyek bersama, yang sekalipun frekuensinya tak seperti frekuensi pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler, tetap akan, seperti telah disebut di atas, membawa murid ke dalam pengalaman belajar yang bermakna.
Di sekolah tempat saya mengajar, mungkin juga di sekolah lain, frekuensi pembelajaran kokurikuler selama satu tahun dilakukan dua kali di setiap tingkat kelas. Yaitu, dilakukan satu kali dalam satu semester.
Artinya, saat murid berada di Kelas VII merasakan dan mengalami dua pembelajaran proyek kokurikuler. Di Kelas VIII juga merasakan dan mengalami dua pembelajaran proyek kokurikuler. Pun demikian saat murid duduk di Kelas IX.