Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membiasakan Anak Ramah, Membentuk Pribadi yang Komunikatif

22 September 2025   08:30 Diperbarui: 24 September 2025   23:32 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pembiasaan 5S setiap pagi di sekolah. Perlu dihayati sehingga menjiwai seluruh aktivitas murid di sekolah. (Dokumentasi pribadi)

Ramah itu sikap yang melekat di dalam diri  masyarakat Indonesia. Tapi, itu dulu. Sehingga, dulu masyarakat Indonesia dikenal oleh masyarakat dunia sebagai masyarakat yang ramah. Dan, itu benar.

Saya ingat kala masih kecil, orang sangat mudah menunjukkan tempat tinggal orang lain ketika ada orang yang menanyakan. Sekalipun tempat tinggal orang lain termaksud berada di desa sebelah.

Ini biasa dialami oleh orang yang sedang mengantarkan undangan untuk hajatan, misalnya, khitan atau pernikahan. Undangan, atau yang kala itu di desa saya berdomisili sering orang menyebut layang ulem, diantar dari rumah ke rumah. Termasuk ke rumah tujuan yang berada di desa lain.

Sekadar mencatat bahwa layang ulem ini diantar dengan berjalan kaki. Saya sendiri saat remaja pernah melakukannya. Mengantarkan layang ulem dari satu rumah ke rumah yang satunya, sampai ke desa lain.

Rerata pengantar layang ulem, termasuk saya, sudah mengetahui orang-orang yang dituju, yaitu mengetahui nama dan tempatnya. Juga mengetahui beberapa orang di desa lain yang dituju atau diberi layang ulem.

Kalau ada yang belum diketahui, layang ulem tetap akan tersampaikan. Sebab, selalu ada orang yang menunjukkan ketika bertanya kepada siapa pun, yang kebetulan dapat dijumpai selama di perjalanan.

Sekalipun orang yang mengulemi rumahnya jauh dari lokasi rumah orang yang diberi layang ulem, tapi masih dalam satu desa, dapat dipastikan masih mengenal. Itulah kehebatan relasi antarorang yang terbentuk kala itu di masyarakat. Meski tak setiap hari bertemu, bahkan pun tak satu desa, tapi dapat saling mengenal.

Kondisi seperti ini, disadari atau tak disadari, terbentuk karena orang saling bersikap ramah. Saat berpapasan dengan orang lain di jalan, misalnya, yang namanya menyapa itu tak dilupakan. Sekalipun tak menyapa nama karena belum mengenal (namanya), setidak-tidaknya menggunakan sebutan yang bersifat umum.

Misalnya, "mangga Lik", "mangga Dhe", "mangga mbakyu", "mangga kang mas", dan sebutan lain yang umumnya dipakai untuk bertegur sapa. Lambat laun, orang akhirnya saling mengenal.

Dan, hal seperti ini dilakukan oleh semua kalangan, termasuk kalangan anak. Baik anak terhadap anak maupun anak terhadap orang dewasa. Pun begitu sebaliknya, baik orang dewasa terhadap orang dewasa maupun orang dewasa terhadap anak.

Memang berjalan kaki kala itu sangat mendukung terbangunnya sikap ramah antarorang. Baik saat orang ke ladang, ke sungai mau mandi atau mencuci, ke pasar, anak-anak ke sekolah, maupun orang mau ke mana.

Tak hanya orang berpapasan atau bertemu di jalan, bertemu dengan orang yang berada di rumah, misalnya, di halaman rumah sedang menyapu, mencuci di sumur, atau beraktivitas lain, tegur sapa selalu ada.

Tentu dalam semua itu tak hanya tegur sapa bersifat verbal yang keluar dari mulut. Tapi, tutur yang sopan dan perilaku yang santun menyatu. Sehingga, yang terwujud adalah relasi yang saling menghormati dan menghargai. Inilah sikap ramah antarsesama yang tampak kala itu.

Efeknya, sekalipun seseorang masih usia anak sudah berani bertanya, memberi tahu, bertemu dengan orang lain, atau saat di sekolah berani menjumpai guru di kantor saat istirahat karena ada keperluan.

Hal seperti ini menjadi tanda bahwa anak termaksud sebagai pribadi yang komunikatif. Sebab, ia tak hanya dapat mengomunikasikan maksudnya kepada orang lain. Tapi, juga memiliki kepercayaan diri dan keberanian membangun relasi.

Dalam semua ini menjelaskan bahwa kultur hidup ramah yang sudah ada dalam keluarga dan masyarakat membentuk anak menjadi pribadi yang komunikatif. Hanya, sekali lagi, itu dulu.

Kini, pada abad ke-21, yang di antaranya membutuhkan kemampuan komunikatif, masyarakat --yang di dalamnya ada orangtua, anak, dan banyak orang-- sudah seharusnya tetap menjaga kultur ramah dalam membangun relasi dalam masyarakat.

Kalau realitanya kini kultur semacam ini sudah menipis --untuk tak menyebut dengan kata "menghilang"-- sekurang-kurangnya di dalam keluarga, lingkungan sekitar, dan sekolah kultur ramah digiatkan. Kini tak sedikit antartetangga saja tak saling mengenal. Baik ini dialami oleh orang dewasa maupun anak.

Apalagi rerata gawai sudah merenggut mereka dari pergaulan. Kenyataan ini sangat tampak di kalangan anak. Yang, pada masa kecil, saya bermain bersama teman sepergaulan pada sore hari seperti kewajiban, kini anak beralih bergaul dengan gawai masing-masing.

Saking bergaul begitu kuat dengan gawai, saat orangtua mengundang untuk meminta bantuan karena aktivitas yang dilakukan membutuhkan pertolongan, tak mudah terwujud. Sebab, konsentrasi anak sudah tumpah ruah ke gawai.

Hal yang seperti ini diakui oleh banyak orangtua. Pengakuan yang sering saya temukan adalah saat di sekolah ada pertemuan dengan orangtua/wali murid. Rerata mereka mengatakan bahwa anaknya di rumah lebih banyak menggunakan waktu untuk memegang gawai.

Memang ada anak yang memegang gawai untuk aktivitas produktif. Saya menjumpainya di antara murid di sekolah tempat saya mengajar, yaitu beraktivitas jual-beli akun game.

Bahkan, saya pernah mendampingi salah satu murid yang karena jual-beli akun game kehilangan uang tiga juta rupiah. Meski mendampingi, saya tak dapat membantunya mengembalikan uang itu. Hanya sebatas memberi nasihat positif yang bersifat edukatif.

Juga pernah mendampingi salah satu murid yang jual-beli akun game, sayangnya aktivitasnya ini telah diketahui oleh orangtua, tak seperti murid yang kehilangan tiga juta rupiah yang barusan disebut di atas.

Dari sudut pandang saya sebagai guru, cara yang dilakukan tak ada sedikit pun edukasi dari orangtua. Bahkan sebaliknya, melukai edukasi yang sudah dilakukan oleh sekolah.

Sebab, ternyata anak dan orangtua berbagi hasil dari jual-beli akun game. Terkait ini saya tak dapat mendampingi lebih jauh.

Berbeda dengan orangtua yang pernah menyampaikan kepada saya bahwa anaknya yang jual-beli akun game sulit dinasihati. Orangtua berkolaborasi dengan saya untuk mendampingi anak agar dapat terlepas dari kebiasaan ini.

Melalui komunikasi yang memersuasi, akhirnya anak ini dapat terlepas dari kebiasaannya. Ia mengatakan kepada saya pada suatu kali bahwa ia tak lagi beraktivitas jual beli akun game.

Saya justru pernah  di sekolah jual risoles kepada teman-teman saat beristirahat. Saya sangat bersyukur melihatnya. Dan, tertarik sehingga saya mendekatinya serta menanyakan tentang risoles yang dijual. Yang, kemudian saya mengetahuinya bahwa risoles ini buatan kakaknya.

Terakhir saya mengetahui bahwa anak ini bersekolah di SMK Jurusan mesin. Tak seperti yang pernah saya sarankan saat mendampinginya terkait dengan kebiasaannya jual-beli akun game.

Yaitu, agar kelak jika sudah lulus SMP, dari SMP tempat saya mengajar, mencari sekolah yang secara khusus belajar mengenai akun game. Sehingga, kelak ilmu yang dipelajari ini dapat menjadi profesi yang memberi ruang baginya untuk dapat berkembang.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa penggunaan gawai oleh anak yang sekalipun untuk aktivitas produktif tetap membutuhkan pendampingan yang benar oleh orangtua. Apalagi penggunaan gawai oleh anak secara kurang produktif dan kurang positif tentu saja sangat disayangkan.

Karena, keduanya dapat merampas waktu, tenaga, emosi, dan pikiran anak untuk membangun sikap ramah di dalam keberlangsungan hidupnya. Baik di lingkungan keluarga, sekitar tempat tinggal, maupun lingkungan pergaulan.

Padahal, seperti sudah disebut di atas, sikap ramah menjadi dasar dalam berkomunikasi. Orang yang ramah sudah barang tentu komunikatif. Saat berjumpa dengan orang, terlebih orang yang sudah diketahuinya, si ramah tak akan diam.

Ia akan membangun komunikasi secara cepat. Tak menunggu orang lain menyapa, ia baru menyapa. Tapi, ia akan menyapa terlebih dahulu.

Ini tak berarti orang yang ramah tak berhati-hati. Sikap berhati-hati tentu ada. Toh, yang namanya ramah itu tak hanya terkait dengan berbicara.

Senyum, mengangguk, membungkukkan badan saat berpapasan atau melewati orang juga termasuk sikap ramah. Di dalamnya ada spirit percaya diri, berani, terbuka, dan tak merasa malu.

Dalam konteks masa kini, bisa tak bisa, keluarga menjadi ruang utama dan pertama membiasakan anak hidup ramah. Orangtua atau orang yang lebih dewasa dalam keluarga menjadi teladan dan memfasilitasi hidup ramah.

Misalnya, saat ada tamu kenalan orangtua, kakak, atau nenek kakek, anak dapat diajak untuk berkenalan, berjabat tangan, dan memberi salam. Ini bentuk keramahan yang diciptakan di dalam keluarga.

Saat ada tetangga yang memberi makanan, misalnya, entah oleh-oleh karena tetangga habis liburan atau mau ada hajatan, anak dapat juga dilibatkan untuk menerimanya secara santun, dan tentu mengucapkan terima kasih.

Di meja makan saat menikmati santapan bersama, tak ada salahnya kalau memungkinkan anak diajak membincangkan peran orang di balik bahan makanan yang dimasak. Misalnya, ada petani, pedagang, nelayan, peternak, dan lain-lain yang sejenis. Anak diajak berempati terhadap mereka sebab mereka berjasa.

Ini dimaksudkan untuk memulai bersikap ramah terhadap orang lain, yaitu dengan berempati dan menghargai jasa petani, pedagang, nelayan, peternak, dan lain-lain yang sejenis. Suatu saat kalau bertemu dengan orang-orang yang telah berjasa ini, anak sangat mudah diajak bersikap ramah.

Apalagi kalau hidup di lingkungan yang profesi seperti disebut barusan dapat dijumpai, anak dapat langsung mewujudkan sikap ramah, misalnya, saat bertemu mereka di jalan, di depan rumah, atau di mana pun di lingkungan sekitar.

Memberi ruang terhadap anak bermain dengan anak-anak seusia di lingkungan tempat tinggal, pun cara membiasakan sikap ramah. Mereka pasti saling berbicara. Komunikasi niscaya terbangun sesuai dengan tingkat kebahasaan mereka.

Tambahan, dalam keadaan seperti ini orang-orang dewasa yang dekat dengan dan/atau melewati mereka, sering menyapa. Ini teladan ramah yang dapat dilihat langsung dan dialami oleh anak. Karenanya, bukan mustahil mereka membalas menyapa.

Cara-cara ini yang secara tak langsung sebagai jembatan bagi anak menjadi pribadi yang ramah. Karenanya, semakin banyak memberi ruang bermain bagi anak seusia di lingkungan sekitar menjadi hal yang penting. Juga melepaskan mereka sejenak dari cengkeraman gawai, yang tak mengedukasi sikap ramah.

Ini tak berarti menolak keberadaan gawai. Tapi, membagi waktu secara arif untuk anak tetap dapat membangun relasi dengan orang lain secara langsung, baik dengan anak seusianya maupun dengan orang yang lebih dewasa, perlu diciptakan.

Termasuk, sekolah ramah anak yang sudah berlangsung di semua sekolah harus semakin dikuatkan. Anak, yang notabene murid, tak sekadar diajak untuk memenuhi 5S, yaitu senyum, salam, sapa, sopan, dan santun. Tapi, dibersamai oleh guru untuk terus berproses dalam penghayatan. Sehingga, 5S sungguh menjiwai seluruh kehidupan murid di sekolah.

Dengan demikian, pembiasaan ramah yang sudah dibangun di keluarga dan lingkungan tempat tinggal terlengkapi dengan pembiasaan ramah yang dilakukan di lingkungan sekolah, melalui spirit sekolah ramah anak.

Akhirnya, dari proses ini diharapkan akan lahir generasi yang komunikatif. Yang, di bagian lain dalam catatan ini sudah disebut, sebagai salah satu kemampuan yang (sangat) dibutuhkan dalam kehidupan pada Abad Ke-21.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun