Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dear Orangtua, Ayo Dampingi Anak Memperoleh Pendidikan yang Tepat!

9 Maret 2023   09:30 Diperbarui: 10 Maret 2023   15:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua harus mendampingi anak memperoleh pendidikan yang tepat| Dok iStock/Stella_E via grid.id

Di sebuah SMP reguler ditemukan seorang siswa yang memiliki kekhususan. Ia berbeda dengan teman-temannya. Secara fisik tidak terlihat perbedaan.

Tetapi, dalam hal bersikap, spirit belajar, dan berperilaku sangat berbeda. Misalnya, saat pembelajaran berlangsung, tetiba siswa tersebut keluar ruang kelas. Makan jajan di selasar kelas.

Guru yang sedang mengajar berusaha menasihati dan memersuasi, tetapi sering tidak berhasil. Akhirnya, ia dibiarkan saja menikmati aktivitasnya. Sementara temannya mengikuti pembelajaran di dalam kelas.

Tidak hanya seperti itu. Kadang-kadang menyebut guru tidak sesuai norma umum di daerah tempat saya berdomisili. Sebab, hanya menyebut nama. Bahkan, menyebut nama pun, tidak umum. Menyebut nama sesuai kemauannya.

Selain itu, beberapa kali saat gawai siswa harus dimasukkan di loker kelas sesuai kesepakatan saat pembelajaran, ia menolaknya. Seakan ia tidak mau lepas dari gawai.

Begitulah yang bisa dituliskan di sini. Melihat tanda-tanda seperti itu sudah semestinya siswa tersebut mendapat perhatian secara khusus. Tentu baik perhatian khusus di sekolah maupun di rumah. Dengan begitu, ia mendapat pengalaman belajar yang tepat.

Sedihnya, dikabarkan pula oleh beberapa guru bahwa uang sakunya dari orangtua lima puluh ribu rupiah per hari. Jumlah uang saku yang terlalu besar untuk anak SMP. Bahkan, untuk anak SMA/SMK dan yang sederajat, juga mahasiswa pun masih terlalu besar.

Berdasarkan temuan dan kabar (dari beberapa guru) tentang siswa tersebut dapat dilogika bahwa tumbuh kembangnya selama ini kurang terlayani melalui pendidikan secara tepat.

Jika layanan pendidikan yang selama ini diberikan terus dipertahankan, dapat dipastikan bahwa kompetensi (kognitif, psikomotorik, dan afektif) siswa tersebut tidak dapat mengalami tumbuh kembang secara optimal.

Siswa tersebut akan gagal dalam merintis masa depannya. Yang kita ketahui kemudian, kegagalan itu tidak hanya dialami olehnya. Tetapi, juga dialami oleh pihak lain, terutama orangtua dan keluarga.

Bahkan, jika ada anak-anak (baca: siswa) lain yang mengalami hal serupa (mendapat layanan pendidikan yang kurang tepat) di banyak sekolah di wilayah Indonesia, tentu semakin banyak kegagalan yang didapat.

Ini tentu akan merugikan bangsa dan negara, selain siswa bersangkutan, keluarga, dan masyarakat. Memprihatinkan bukan?

Tetapi, yang paling memprihatinkan tentu saja yang menimpa siswa. Sebab, dampak buruk yang dialaminya akan panjang. Bisa-bisa sepanjang hidupnya.

Mungkin tidak terlalu bermasalah bagi keluarga yang berlimpah harta. Sekalipun sebetulnya bermasalah juga ketika orangtuanya meninggal.

Baiklah ia memiliki saudara. Tetapi, saudara yang sudah berkeluarga tentu lebih fokus kepada keluarganya. Bisa-bisa ia terabaikan. Dan, itu sangat mungkin terjadi.

Dan perlu dicatat, sebanyak apa pun harta (warisan) jika tidak dikelola secara cermat, tentu cepat sirna. Ini berlaku bagi siapa pun, bagaimana mungkin ia bisa mengelolanya, kalau untuk mengelola diri sendiri saja tidak memiliki kemampuan.

Ilustrasi orangtua memilihkan pendidikan yang tepat bagi anak diambil dari www.alodokter.com
Ilustrasi orangtua memilihkan pendidikan yang tepat bagi anak diambil dari www.alodokter.com

Memilihkan pendidikan yang tepat

Maka, sudah semestinya sejak dini ia memerlukan pendampingan secara khusus. Setidaknya sejak ia memasuki masa pendidikan. Orangtua harus memilihkan pendidikan yang tepat untuknya.

Adanya kebijakan pendidikan yang memudahkan anak diterima, melalui jalur zonasi, misalnya, orangtua tetap harus menyikapinya secara bijak untuk pendidikan anaknya.

Jalur ini memang memudahkan anak diterima sebagai siswa, yang tanpa mempertimbangkan kompetensi, tetapi jarak. Jarak tempat tinggal anak yang semakin dekat dengan lokasi sekolah semakin berpeluang diterima.

Hanya, sering kebijakan tersebut dipahami oleh sebagian orangtua secara apa adanya. Tanpa melihat keberadaan anaknya, tepat atau tidak anaknya mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.

Karena, saya membayangkan bahwa bisa-bisa siswa yang sudah saya paparkan keberadaannya di awal tulisan ini merupakan keputusan kurang tepat orangtua dalam memilihkan pendidikan bagi anaknya.

Kekurangtepatan tersebut dapat disebabkan oleh setidaknya dua faktor. Yaitu, ketidaktahuan dan kesengajaan orangtua.

Ketidaktahuan atau keterbatasan pengetahuan orangtua dapat saja akhirnya memunculkan sikap "memudahkan". Artinya, yang terpenting anak sekolah seperti anak-anak tetanggga.

Toh memang ada kemudahan dari sekolah karena sistem yang dibuat -seperti yang sudah disebut di atas- adanya jalur zonasi.

Namun, orangtua dalam kelompok yang ini dipastikan lebih mudah diajak mendiskusikan anaknya jika pada masa perkembangan anaknya membutuhkan perhatian lebih khusus dan serius karena ketidaktahuannya itu.

Sehingga, jika kemudian ditemukan ada tanda-tanda pada anaknya seperti siswa yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, ia (baca: orangtua) sangat mungkin mau bersama-sama dengan sekolah memikirkan tindak lanjut pendidikan yang lebih tepat bagi anaknya.

Oleh karena itu, sekolah perlu membuka diri dan mendampingi orangtua tersebut hingga menemukan solusi yang terbaik bagi pendidikan anak tersebut. Misalnya, sekolah mendiskusikan dengan orangtua bahwa ada pendidikan yang tepat bagi anak bersangkutan.

Sebab, boleh jadi orangtua kurang tepat memilihkan pendidikan bagi anaknya karena memang orangtua belum mengetahui bahwa pendidikan itu ada pilihan. Ada pendidikan reguler, inklusi, dan khusus. Agaknya penting bagi pemerintah menyosialisasikannya kepada masyarakat mengenai hal ini.

Sekadar saya catatkan, di dalam rri co.id, ditegaskan bahwa pendidikan (baca: sekolah) reguler merupakan sekolah yang hanya menyediakan program umum, tidak menyediakan program bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).

Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyediakan program untuk berbagai ABK, sehingga ada program pilihan sesuai kebutuhan anak. Dengan begitu, ABK di sekolah inklusi dapat berinteraksi dengan banyak anak dari berbagai latar belakang kebutuhan.

Sedangkan, sekolah khusus (baca: sekolah luar biasa) merupakan sekolah yang menyediakan pendidikan bagi siswa dalam kondisi tertentu. Sehingga, lingkungan belajarnya terisi oleh ABK yang sama. Dengan begitu, interaksi mereka terbatas, hanya dengan anak-anak yang berkebutuhan sama.

Dengan begitu, jelas bahwa sekolah reguler selama ini tidak memiliki kemampuan untuk mendidik anak-anak yang membutuhkan perhatian dan pendampingan secara khusus, seperti di sekolah inklusi dan khusus.

Sayang, sering orangtua yang dengan sengaja memasukkan anaknya ke sekolah reguler sekalipun ia (sebetulnya) mengetahui bahwa anaknya membutuhkan perhatian dan pendampingan secara khusus, menolak ketika sekolah menemukan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anaknya membutuhkan pendidikan yang lebih khusus.

Orangtua dengan argumennya tetap mengatakan bahwa anaknya tidak apa-apa. Anaknya tetap seperti anak-anak yang lain. Setiap hari di rumah biasa saja dan beraktivitas sewajarnya.

Orangtua yang demikian boleh jadi merasa kurang nyaman (baca: malu) karena anaknya ditemukan dalam keadaan memerlukan pendidikan dan perhatian secara khusus, tidak seperti anak-anak yang lain.

Malu terhadap siapa pun. Terhadap guru, tetangga, kerabat, dan kolega. Realitas seperti ini tidak jarang ditemukan di sekolah. Lebih-lebih sejak diberlakukannya jalur zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Kok sampai seperti itu, orangtua dipanggil ke sekolah hanya karena anaknya terlambat tiba di sekolah, tidak mengerjakan tugas, atau membolos beberapa kali saja, umumnya sudah malu. Karena orangtua sudah merasa bahwa ketika dipanggil ke sekolah pasti anaknya bermasalah.

Tetapi, demi masa depan (gemilang) anak sudah semestinya orangtua menerima keberadaan anak --seperti apa pun ia-- dengan tetap bersyukur. Dan, itu artinya orangtua memiliki semangat mau memilihkan atau mencarikan pendidikan yang lebih tepat untuk tumbuh kembang anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun