Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

“Perang” dengan Pasangan? Hadapi dengan Tenang

6 Januari 2015   17:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:42 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14205200341453387710

[caption id="attachment_388853" align="aligncenter" width="360" caption="Ilustrasi : www.syuqranopedia.blogspot.com"][/caption]

Setiap keluarga pasti memiliki dinamika interaksi antara suami dengan istri. Ada saat tenang, ada saat tegang. Ada suka dan pasti ada duka. Ada masa bahagia namun juga ada sedihnya. Hal ini sudah menjadi rumus umum dalam kehidupan berumah tangga dan menjadi bumbu penyedap dalam menjaga keharmonisannya.

Sering saya sampaikan, bahwa perasaan cinta antara suami dan istri itu bersifat fluktuatif. Kenyal seperti gelang karet, lezat bagai bika ambon medan, pahit seperti jamu, kadang menegangkan seperti naik roller coaster. Namun justru di situlah letak keindahannya. Ada aneka rasa di dalam cinta. Bukan satu rasa.

Maka saat cinta tengah terasa pahit atau terasa menegangkan, jangan cepat-cepat memutuskan untuk bercerai. Karena pahitnya jamu itu menyehatkan. Menegangkannya roller coaster itu menyenangkan. Bahkan jika tiap hari makan bika ambon medan yang legit, pasti kita akan cepat bosan. Sebagaimana kalau tiap hari meminum jamu yang pahit juga cepat bosan.

Gelang karet itu tampak rileks. Bisa ditarik dengan kuat hingga menjadi tegang, namun bisa dikendurkan dengan sangat lentur. Itulah perasaan cinta antara suami dan istri. Penuh dinamika, namun terasa indah semuanya. Maka memutuskan cerai karena merasakan pahitnya cinta, seperti orang memuntahkan jamu yang baru saja diminumnya. Memutuskan cerai karena merasakan tegangnya cinta, seperti orang melemparkan diri dari atas roller coaster yang tengah melaju kencang.

Orang menyebutnya sebagai "keputusan yang tergesa-gesa". Bahkan bisa jadi dianggap konyol. Karena memang begitulah rasa cinta. Selalu ada aneka rasa yang tersedia di dalamnya. Bukan satu rasa.

Oleh karena itu, saat terjadi “perang” dengan pasangan, itu hanyalah satu bagian dari rasa dan frasa dalam hidup berumah tangga. Hadapi dengan tenang dan bijak. Hadapi dengan penuh kedewasaan, jangan membesar-besarkan permasalahan dan mendramatisasi suasana.

Menikmati “Kopi Perang

Suatu ketika, Haji Karim tengah dilanda konflik yang memuncak dengan Bu Siti, istrinya. Ada perbedaan pendapat yang tajam dan berkembang menjadi “perang” yang menegangkan di dalam rumah mereka. Suasana menjadi panas. Masing-masing bersikeras dan bersikukuh dengan pendapatnya sendiri tanpa ada yang mau mengalah.

Wajah Haji Karim marah karena emosi, kalimatnya bernada tinggi. Demikian pula Bu Siti tidak mau kalah. Ia mengimbangi kemarahan sang suami. Keduanya terlibat adu argumen yang sengit. Suasana di dalam rumah kian menegangkan dan semakin tidak kondusif.

Untuk menenangkan diri dan meredakan ketegangan, Haji Karim segera keluar rumah. Pak Haji berjalan-jalan hilir mudik di halaman untuk mendapatkan angin segar dan mendinginkan suasana hatinya yang mendidih. Setelah merasa tenang ia duduk di kursi teras depan sambil menghela nafas panjang dan melepaskannya. Hal itu berkali-kali dilakukan Pak Haji hingga ia benar-benar merasa tenang dan mampu mengendalikan emosi.

Setelah tenang, Pak Haji kembali masuk ke dalam rumah. Ia mulai mencoba memperbaiki suasana komunikasi dengan sang istri yang masih emosi.

“Buatin kopi dong Bu....” kata Pak Haji dengan manja, memecah suasana.

Bu Siti diam saja, sepatah kata pun tidak keluar jawaban. Namun ia segera pergi ke dapur membuatkan kopi permintaan suami.

Sesampai di dapur, terbesit pikiran Bu Siti untuk “mengerjai” sang suami. Karena suasana hati masih diliputi emosi, Bu Siti menambahkan garam dalam jumlah banyak ke dalam gelas kopi Pak Haji. Tidak tanggung-tanggung. Separuh gelas diisi dengan garam.

“Biar tahu rasa loe...,” bisik Bu Siti dalam hati.

Setelah minuman kopi “spesial” siap, segera dihidangkan di depan meja Pak Haji. Usai menghidangkan kopi, Bu Siti pun duduk agak jauh dari sang suami. Ia menunggu reaksi dan respons suami mendapatkan kopi super asin yang dihidangkannya. Berharap suaminya kaget dan merasa mendapat hukuman.

Namun Haji Karim sudah mencium gelagat yang tidak sehat. Perilaku istri yang menjauh setelah menghidangkan kopi membuatnya curiga dan waspada. Sambil mengangkat gelas ia mencoba mengenali aroma kopi panas buatan sang istri. Benar, ia mencium aroma yang tidak seperti biasanya.

“Ini pasti kopi perang,” pikir Pak Haji.

Namun ia tetap bersikap tenang. Dengan mimik wajah yang dibuat sesantai mungkin, Pak Haji segera mereguk kopi panasnya dengan tenang. Tampak nikmat sekali Pak Haji minum kopi. Bu Siti tegang menunggu reaksi sang suami. Ia memperhatikan tanpa berkedip saat Pak Haji meminum kopi.

Bu Siti menjadi semakin tegang bercampur heran. Mengapa reaksi suaminya biasa saja, bahkan tampak menikmati kopi istimewa racikannya? Pak Haji tidak menampakkan respons kaget dan marah, malah tampak santai saja. Kopi itu diminum berkali-kali oleh Pak Haji, tinggal seperempat gelas lagi. Tanpa reaksi yang negatif atas keanehan rasa kopi.

Bu Siti menjadi sangat penasaran, mengapa reaksi suaminya biasa saja? Jangan-jangan ia keliru memasukkan gula, bukan garam seperti yang direncanakannya. Ia tak habis mengerti, mengapa respons suami tidak seperti yang dibayangkannya. Mengapa tampak tenang saja....

Saat Pak Haji beranjak dari tempat duduk untuk mengambil remot televisi, diam-diam Bu Siti mendekati kopi yang masih tersisa dan tanpa berpikir panjang segera meminumnya.

Betapa terkejut Bu Siti dengan rasa kopi yang baru saja diminumnya. Ia segera memuntahkan kopi tersebut dengan perut yang terasa mual-mual.

“Hueeeekkkks...... Hueeekkkkss...” Bu Siti memuntahkan kopi yang masih tersisa di dalam mulut. Perut Bu Siti serasa diaduk-aduk hingga membuatnya ingin muntah.

Melihat kejadian itu Haji Karim tidak tahan menahan geli. Segera meledak suara tertawa Pak Haji tanpa bisa ditahan lagi.

“Huaaa ha ha ha ha ha.... Naaah rasain sendiri kopi racikanmu...,” ujar Pak Haji.

“Kalau tadi aku memuntahkan kopi, pasti kamu tidak akan ikut meminumnya. Sekarang kita berdua minum kopi istimewa... Hahahaha....” Pak Haji masih merasa sangat geli.

“Bapak jahaaaat..... Teganya sama aku... Awas kamu ya...,” teriak Bu Siti sambil mengejar Pak Haji.

Suasananya sudah bukan kemarahan lagi. Bukan suasana perang, namun suasana kemanjaan suami-istri. Bu Siti mengejar Pak Haji yang berlari masuk ke dalam kamar. Setelah Bu Siti masuk, kamar pun dikunci. Maka “perang”pun dilanjutkan dalam bentuk yang berbeda lagi.....

Redakan Ketegangannya dengan Ketenangan

Nah, kemarahan, ketegangan, pertengkaran atau “peperangan” antara suami dan istri itu adalah hal lumrah saja. Yang penting masing-masing mampu bersikap dewasa, bersikap tenang dan bijaksana. Jangan menuruti emosi, jangan menyimpan dendam di dalam hati.

Selama mampu menghadapi “perang” dengan sikap tenang, suasana akan mudah terkendali. Tidak akan melebar dan meluas menjadi konflik yang membahayakan keutuhan hidup berumah tangga.

**********

*) Kisah Haji Karim dan Bu Siti diolah kembali dari kiriman Adinda Musaddar Mappasomba melalui akun fesbuknya.

**) Karim dan Siti bukan nama sebenarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun