Sejak saat itu Ana rajin mengikuti kelas-kelas pranikah, baik online maupun offline. Ia rajin membaca buku, mengikuti seminar keluarga sakinah, dan membangun silaturahim dengan orang-orang salih salihah yang ada di sekitarnya.
Sampai usia ke 28, jodoh itu tak juga ketemu. Ia sudah membaca sangat banyak buku. Ia sudah memperbaiki tilawah Qur'an. Ia sudah belajar melalui majelis taklim secara rutin. Ia sudah mengikuti banyak kelas pembelajaran pranikah dan keluarga sakinah. Kurang apalagi?
"Coba kamu ikhtiar, melalui biro jodoh yang terpercaya," saran teman kerjanya.
Ana segera searching, mencari biro jodoh online. Ada sangat banyak tawaran. Ia memilih lembaga perjodohan yang terpercaya. Segera ia mendaftar dan mengikuti program perjodohan tersebut. Dibina oleh seorang ustadz ternama, ia semakin yakin dan percaya.
Programpun berakhir. Sebuah kesempatan taaruf ia dapatkan. Biro jodoh tersebut memberikan sebuah biodata seorang lelaki. Dari biodata yang ia terima, rasanya sangat jauh dari harapan. Ana memutuskan menolak untuk melakukan taaruf.
Usia Ana bertambah lagi. Sekarang genap 29 tahun. Jodoh salih yang didamba belum juga tiba. Doa selalu ia munajatkan. Usaha memperbaiki diri terus dilakukan. Namun rasanya hati semakin hampa.
"Cobalah ikuti biro jodoh ABCD, ini lebih kredibel," ujar seorang sahabat lama, mengenalkan biro jodoh yang dulu ia ikuti. Sahabat lama ini bertemu jodoh di biro ABCD tersebut.
Ana tidak berputus asa. Ia segera mendaftar menjadi member premium biro ABCD. Berbagai persyaratan  dipenuhi. Berbagai saran dilakukan. Ia benar-benar berharap, melalui biro ABCD ini akan bertemu jodoh salih.
Usia Ana 30 tahun saat biro jodoh ABCD menawarinya untuk taaruf dengan seorang lelaki. Lagi-lagi, lelaki yang ia baca melalui biodata tersebut, masih sangat jauh dari ekspektasi. Ia memilih untuk tidak menindaklanjuti.
"Kamu terlalu memilih-milih, Ana", ujar sang Ayah.
"Apa aku tak boleh memilih, Ayah?" tanya Ana.