Menyuguh Tamu Sesuai Kemampuan
"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah tamu Ibrahim yang dimuliakan. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, 'Salamun', Ibrahim menjawab 'Salamun', kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar) lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata, 'Silakan kamu makan'" (QS. Adz-Dzariyat: 24-27).
Di antara adab terhadap tamu adalah memberikan hidangan atau suguhan sesuai kemampuan tuan rumah. Nabi Ibrahim memberikan hidangan istimewa, anak sapi panggang. Bahkan anak sapinya gemuk. Ini sebuah penghormatan kepada tamu, namun sekaligus sesuai kondisi keluarga Nabi Ibrahim.
Ungkapan ayat "faragha ila ahlihi", maksudnya adalah Ibrahim pergi dengan diam-diam menemui keluarganya. Saat tamu dipersilakan duduk, Ibrahim segera masuk ke bagian dalam rumah menemui istrinya, lalu menyiapkan sapi panggang. "Fa ja-a bi 'ijlin samin", maksudnya kemudian Ibrahim kembali menemui tamu sambil membawanya daging anak sapi gemuk.
Dalam surat Hud ayat ke 69, menggunakan teks "fama labitsa an ja-a bi 'ijlin hanidz", maksudnya, "tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang". Maka yang disuguhkan oleh Nabi Ibrahim kepada tamunya adalah daging anak sapi gemuk yang sudah dipanggang atau dibakar.
Kelas kami tentu sangat berbeda dengan Nabi Ibrahim. Dalam segala hal. Bukan hanya dalam konteks kenabian dan kualitas kepribadian. Bahkan dalam hal kualitas suguhan. Jika Nabi Ibrahim menyuguhi tamu dengan daging anak sapi gemuk yang dipanggang, kami hanya menyuguhi tetamu dengan air mineral dan rengginang goreng.
Karena minyak goreng mahal, kami sempat berpikir untuk mengukus atau merebus rengginang sesuai saran ibu Megawati. Namun niat itu kami urungkan, karena khawatir rengginang jadi tidak renyah. Akhirnya tetap kami goreng.