Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Beginilah Akibatnya, Jika Menikah Hanya Mengandalkan Rasa

6 Februari 2019   16:51 Diperbarui: 14 Juni 2020   12:58 3198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang istri menangis, menuturkan perasaannya terhadap suami. "Saya sudah tidak punya rasa cinta lagi kepada dia. Saya sudah mati rasa. Saya sudah tidak ingin ketemu dia lagi," ujarnya. 

Di kesempatan lain, seorang suami menceritakan perasaannya terhadap sang istri. "Sudah hilang rasa cinta saya kepada dia. Sekarang sudah tidak ada rasa apa-apa lagi kepadanya. Saya akan menceraikan dia", ujarnya.

Ungkapan serupa dan senada dengan itu banyak dijumpai di ruang konseling. Perempuan yang mati rasa, tak lagi memiliki cinta terhadap suami. Lelaki yang kehilangan rasa, tak lagi memiliki rasa cinta terhadap istri.

Mereka berada dalam suasana tak merasakan apa-apa lagi terhadap pasangannya. Rasa cinta yang dulu sempat dimiliki, kini hilang tanpa bekas sama sekali.

Mengagungkan Perasaan
Begnilah yang terjadi apabila pernikahan hanya mengandalkan rasa. Ketika rumah tangga mengandalkan pada hadirnya rasa cinta. Padahal rasa itu fluktiatif. Berubah-ubah dengan sangat cepat. 

Bergolak, tak pernah tetap. Hari ini rasa itu muncul, bahkan kuat, besok rasa itu bisa hilang. Hari ini tak ada rasa, besok pagi rasa itu bisa jadir kembali. Begitulah sifat rasa, sangat cepat berubah. Maka tidak bisa dijadikan ikatan yang kuat.

Tentang rasa cinta, kenapa anda menuhankannya? Hanya karena anda sudah tidak punya rasa cinta kepada suami, lalu anda merasa berhak untuk meninggalkannya.

Demikian pula tentang mati rasa, kenapa anda harus mengagungkan rasa? Hanya karena anda sudah tidak ada rasa terhadap istri, lalu anda merasa berhak untuk menjauh darinya bahkan menceraikannya?

Dalam Kelas Menulis Online yang saya asuh, sering muncul pertanyaan terkait mood. Banyak penulis pemula yang mengeluhkan tentang mood. Mereka mengaku tidak bisa menulis karena kehilangan mood, atau tidak punya mood.

Saat sedang mood, menulis menjadi mudah dan lancar. Saat kehilangan mood, tidak lagi bisa menulis. Beginilah akibatnya kalau menulis itu mengandalkan mood. Maka di Kelas Menulis Online, saya selalu mengajarkan agar menulis tidak karena mood. Tapi, menulislah karena anda punya tujuan.

Mood dalam dunia menulis, serupa dengan rasa cinta dalam kehidupan pernikahan. Pasangan suami istri yang mengandalkan kehadiran rasa cinta dalam menjalani kehidupan berumah tangga, akan mengalami pasang surut yang sangat ekstrem.

Pada saat rasa cinta hadir, maka interaksi di antara mereka tampak begitu roimantis dan mesra. Seakan dunia milik mereka berdua.

Namun saat rasa itu tenggelam, berkurang bahkan hilang, seakan mereka adalah dua orang musuh bebuyutan. Sejak saling mendiamkan, hingga saling menyalahkan dan saling melukai.

Oleh karena itu, menikah dan hidup berumah tangga tidak bisa mengandalkan rasa cinta semata. Rasa itu sesuatu yang sangat abstrak dan fluktuatif. Timbul tenggelam. Antara ada dan tiada. Sangat mudah hadir dan sangat mudah hilang.

Kehidupan berumah tangga akan terombang-ambing dalam ketidakpastian apabila mengagungkan rasa cinta sebagai pengikat di antara semua anggota keluarga.

Menikahlah Karena Anda Memiliki Tujuan
Dalam Kelas Menulis Online, selalu saya ajarkan, jangan menulis karena mood. Tapi menuliskah karena anda memiliki tujuan. Dengan anda memiliki tujuan yang jelas, maka anda akan selalu termotivasi untuk selalu menulis dan menghasilkan karya, tanpa menunggu kehadiran si mood.

Dengan memiliki tujuan yang mulia, tujuan yang ideal dan besar, maka anda selalu asyik menulis walaupun mood itu tidak pernah datang. Setiap hari anda akan selalu merasakan kemudahan dalam menulis, sehingga anda merasakan menulis semudah bernafas, karena anda memiliki tujuan.

Demikian pula dalam kehidupan berumah tangga. Saat seorang lelaki lajang menikah dengan perempuan lajang, milikilah tujuan yang jelas, tujuan yang mulia, tujuan yang ideal dan besar. Menikahlah karena anda memiliki tujuan, dengan demikian anda akan selalu termotivasi untuk menjalani setiap renik kesulitannya. 

Walaupun rasa cinta itu bercorak fluktuatif, namun anda tetap bersemangat menjalani kehidupan berumah tangga karena adanya sejumlah tujuan mulia dari pernikahan yang anda jalani. Walaupun rasa cinta mudah datang dan pergi, namun anda selalu memiliki energi untuk menjalani hari-hari dalam kehidupan pernikahan.

Tujuan mulia, tujuan ideal dan besar, dalam istilah yang umum disebut sebagai visi. Sedangkan greget untuk mencapai visi tersebut, diistilahkan sebagai motivasi. Dalam bahasa agama disebut sebagai niat. 

Nah inilah dua faktor penting yang harus terus menerus anda hadirkan dan anda kuatkan dalam kehidupan berumah tangga, yaitu niat atau motivasi, dan tujuan mulia atau visi. Niat menyangkut hal yang sangat mendasar dalam perspektif agama, menyangkut diterima atau tidaknya amal ibadah manusia. Sedangkan visi akan memandu arah perjalanan kehidupan.

Bagi manusia beriman, visi kehidupan yang sangat idal adalah menggapai surga bersama keluarga. Manusia beriman selalu ingin mendapatkan kebahagiaan dunia hingga akhirat. Mendapatkan surga dunia ---baiti jannati--- dan surga akhirat. Bukan hanya bersenang-senang di dunia dengan melupakan akhirat. 

Bukan hanya berpikir akhirat dengan melalaikan urusan dunia. Manusia beriman selalu seimbang dalam perhatian, selalu proporsional dalam kehidupan. Visi surga inilah yang sangat profan, sakral, dan bisa menjadi pengikat yang kuat.

Pada pasangan yang mudah mengambil keputusan untuk bercerai di saat menghadapi kehilangan rasa cinta, patut dipertanyakan, memangnya dulu menikah untuk tujuan apa? Apakah menikah hanya untuk bersenang-senang saja?

Lalu apa yang menjadi ikatan berumah tangga mereka selama ini? Apakah hanya mengandalkan kehadiran rasa? Jika demikian, wajar saja jika rumah tangga menjadi rapuh, mudah terombang-ambing dalam ketidakpastian, sebagaimana fluktuasi dari rasa itu sendiri.

Namun, apabila menikah dengan memiliki tujuan mulia, tujuan yang ideal dan besar, yang disebut sebagai visi, maka pernikahan akan kokoh. Jika menikah dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk beribadah, niat karena Allah, untuk melaksanakan syariatNya, maka kehidupan pernikahan akan sakinah.

Visi dan motivasi inilah yang bercorak kokoh dan profan. Tidak mudah berubah-ubah, karena berlandaskan kepada keyakinan iman. Bukan semata-mata soal rasa.

Maka rawatlah pernikahan dengan kekuatan visi dan motivasi. Ikat pasangan dengan kesamaan visi dan kekokohan motivasi. Jangan semata-mata mengandalkan hadirnya rasa cinta, karena kalaupun rasa itu sedang tiada, namun visi dan motivasi selalu anda miliki.

Mertosanan Kulon, 6 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun