Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Catatan Akhir Tahun 2018, Belum Ada Perbaikan Ketahanan Keluarga

31 Desember 2018   10:25 Diperbarui: 31 Desember 2018   23:06 3965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera, adalah salah satu dambaan masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang religius, masyarakat kita menjunjung tinggi ajaran agama dan norma ---yang telah berlaku secara turun temurun dari waktu ke waktu. 

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia, dan jumlah umat Islam terbesar dunia, peristiwa pernikahan menjadi bagian yang penting dan sakral dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Prosesi pernikahan dilalui dengan penuh kesungguhan, dengan harapan bisa membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah.

Sayangnya, harapan tersebut masih banyak terkendala dalam pencapaiannya. Pesta pernikahan yang digelar dengan penuh kemeriahan, dihadiri sangat banyak tamu undangan, menghabiskan sangat banyak biaya, tak jarang berakhir dengan menyedihkan. 

Kelarga yang baru dibangun beberapa tahun bahkan beberapa bulan, harus berantakan dan berakhir, karena tidak ada kecocokan dan tidak ada keharmonisan di dalamnya. Impian tentang keluarga bahagia menjadi hancur berkeping, berubah menjadi kisah sedih yang penuh luka dan bahkan trauma.

Mencermati Tren Peningkatan Angka Perceraian Indonesia

Saya pernah membuat catatan di akhir tahun 2013 dengan mengutip pernyataan pejabat BKKBN, bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat perceraian tertinggi se Asia Pasifik. Saya juga pernah membuat catatan akhir tahun 2015, yang menyatakan bahwa angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Ternyata, catatan yang saya buat di akhir 2018 ini tidak menunjukkan kondisi ketahanan keluarga Indonesia yang semakin membaik, terutama jika dilihat dari masih terus meningkatnya angka perceraian.

Mari kita cermati pada kurun waktu tiga tahun saja, dari 2015 hingga 2017. Ternyata tren perkara putusan (inkracht) perceraian di Pengadilan Agama seluruh Indonesia dalam tiga tahun tersebut, tetap mengalami peningkatan. Jumlah perkara pengajuan cerai talak (suami) dan cerai gugat (istri) di 29 Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2015 sebanyak 394.246 perkara. 

Angka ini terdiri dari 113.068 cerai talak dan 281.178 cerai gugat. Sedangkan yang diputus pada tahun 2015 tersebut sebanyak 353.843 perkara, terdiri dari 99.981 cerai talak  dan 253.862 cerai gugat.

Pada tahun 2016, tercatat sebanyak 403.070 perkara, terdiri dari 113.968 cerai talak dan 289.102 cerai gugat. Sedangkan yang diputus di tahun 2016 sebanyak 365.654 perkara, terdiri dari 101.928 cerai talak  dan 263.726 cerai gugat. Pada tahun 2017, tercatat sebanyak 415.848 perkara, terdiri dari 113.987 cerai talak dan 301.861 cerai gugat. 

Yang diputus pada tahun 2017 sebanyak 374.516 perkara, terdiri dari 100.745 cerai talak dan 273.771 cerai gugat. Bisa kita lihat, tren perkara perceraian yang diputus dalam kurun tiga tahun itu angkanya 353.843 di tahun 2015, 365.654 di tahun 2016, dan 374.516 di tahun 2017.

Kita lihat angka perceraian di tahun 2015, sebesar 353.843 kejadian dalam setahun. Berarti rata-rata terjadi 29.487 perceraian tiap bulan, atau 983 perceraian tiap hari, atau 40,95 perceraian setiap jam. 

Pada tahun 2016 terjadi 365.654 perceraian setiap tahun. Berarti rata-rata terjadi 30.471 perceraian setiap bulan, atau 1.016 perceraian setiap hari, atau 42,32 perceraian setiap jam. Pada tahun 2017 terjadi 374.516 perceraian setiap tahun. Berarti rata-rata terjadi 31.209 perceraian setiap bulan, atau 1.040 perceraian setiap hari, atau 43,35 perceraian setiap jam.

Inilah kondisi ketahanan keluarga Indonesia, hingga tahun 2017 lalu. Kementrian Agama RI belum mengeluarkan data resmi angka perceraian di tahun 2018 ini. Namun jika melihat tren tiga tahun tersebut, patut diduga jumlah ini sudah meningkat lagi. 

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Abdul Manaf membenarkan tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama sejak terjadinya krisis ekonomi moneter 1997 - 1998 lalu, hingga saat ini yang berpengaruh pada tingkat angka perceraian di berbagai daerah.

Rekomendasi Penting

Melihat kecenderungan peningkatan angka perceaian tersebut, berbagai rekomendasi penting perlu kita ulang dan kita suarakan lagi di akhir 2018 ini.

Pertama, Keharusan Persiapan Menjelang Pernikahan

Sesungguhnya sudah ada nomenklatur program kursus calon pengantin yang dimiliki Kementrian Agama, akan tetapi pada praktiknya program ini tidak berjalan secara efektif. Program tidak terlaksana secara terstruktur, sistematis dan massif. Sangat banyak calon pengantin yang kurang pembekalan, kurang persiapan, kurang pengetahuan, dan kurang pemahaman. 

Dampak dari berbagai kekurangan sejak awal adalah, lemahnya pondasi hidup berumah tangga. Jika pondasi lemah, pasti bangunan yang berdiri di atasnya juga lemah. Kegiatan Sekolah Pranikah, Kuliah Pranikah, Seminar Pranikah, Pelatihan Pranikah, Kursus Calon Pengantin, dan yang semacam itu, dilakukan secara swadaya oleh kelompok masyarakat. 

Kelompok masyarakat penyelenggara kegiatan ini, tidak bisa memastikan semua calon pengantin telah mengikutinya, karena tidak ada kewajiban sertifikasi bagi calon pengantin. Padahal ada sangat banyak ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia, harmonis dan sejahtera.

Pemerintah harus menggandeng semua pihak untuk menjalankan program pembinaan menjelang pernikahan ini. Perkawinan akan bisa langgeng dan utuh apabila semua pihak mengerti dan mampu menjalani konsekuensi dari peran dan tanggung jawab sebagai suami, istri dan orangtua. 

Hal ini bisa diupayakan melalui pembinaan sejak dini, melalui bangku pendidikan formal, nonformal maupun informal. Tanpa program ini, dikhawatirkan angka perceraian akan semakin meningkat setiap tahunnya.

Kedua, Keharusan Pembinaan Keharmonisan Keluarga

Bukan hanya pembinaan pranikah yang tidak berjalan, pembinaan setelah menikah pun juga tidak berjalan. Padahal, pada setiap usia pernikahan selalu ada tantangan baru yang harus mereka hadapi. 

Berbeda kondisi antara pasangan pengantin baru yang masih melewati masa bulan madu, dengan pasangan yang sudah memiliki anak. Berbeda pula antara pasangan yang baru memiliki satu anak bayi dengan pasangan yang anak-anaknya sudah remaja dan dewasa.

Berbeda pula tantangan yang dihadapi saat anak-anak belum masuk sekolah dengan saat anak-anak mulai masuk bangku pendidikan. Berbeda lagi nanti saat anak-anak sudah bekerja dan menikah. 

Demikian seterusnya, hidup berumah tangga itu dinamis dan selalu ada tantangan baru yang harus dihadapi dengan bijak dan tepat. Untuk itu harus ada program pembinaan yang spesifik pada setiap fase kehidupan berumah tangga. Pihak pemerintah, swasta, kelompok masyarakat, tokoh agama, ormas, parpol, LSM, semua harus berperan dalam upaya pembinaan kehidupan berumah tangga.

Ketiga, Keharusan Mediasi Saat Menghadapi Konflik

Tingginya angka perceraian salah satunya disebabkan oleh kurang adanya pihak yang mampu menjadi mediator saat pasangan suami istri mengalami konflik. Perceraian banyak terjadi dalam situasi emosi, ego yang sangat tinggi, sehingga kurang kendali diri. 

Padahal apabila pasangan suami istri bersedia melakukan bimbingan, konseling atau mediasi, hal ini akan sangat membantu mereka untuk menemukan solusi. Budaya melakukan bimbingan, konseling dan mediasi ini belum terbentuk pada masyarakat kita, sehingga keputusan cerai seringkali bercorak terlalu sentimentil atau emosional.

Diperlukan pihak ketiga yang dipercaya untuk memediasi konflik mereka sehingga bisa menemukan jalan keluar yang bijaksana. Selain Pemerintah, diperlukan pula keterlibatan pihak swasta, ormas, LSM serta tokoh masyarakat untuk menjadi konselor sosial atau mediator yang terpercaya dalam membantu mengurai persoalan rumah tangga. 

Keberadaan lembaga konseling profesional belum cukup memadai dari segi jumlah maupun jangkauan area yang bisa ditangani. Rata-rata hanya ada di kota-kota besar. Itulah sebabnya diperlukan konselor sosial untuk membantu memediasi persoalan hidup berumah tangga.

Dengan tiga upaya ini, berbagai dinamika hidup berumah tangga diharapkan tidak akan membuat biduk keluarga menjadi pecah dan karam. Berbagai persoalan dan konflik mampu dicarikan jalan keluar dengan tepat dan bijak, bahkan mampu menjadi penguat keharmonisan rumah tangga. Semoga kita memasuki tahun baru 2019 dengan kondisi ketahanan keluarga yang semakin membaik.

Mertosanan Kulon, Yogyakarta, 31 Desember 2018

Bahan Bacaan:

hukumonline.com
kemenag.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun