Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika AI Bisa Menjawab PR, Tapi Tak Pernah Menangis

30 Mei 2025   20:19 Diperbarui: 30 Mei 2025   20:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Apa kabar pendidikan? Barangkali sedang gelisah. Bukan karena murid-murid makin banyak yang bolos, tapi karena murid-murid makin canggih, makin melek teknologi, dan makin tak butuh guru.

Mari kita mulai dari kekhawatiran yang jamak dibisiki oleh para pendidik zaman ini:

"Kalau semua bisa dijawab oleh AI, lalu kita ini siapa?" Ini bukan soal gelar, bukan soal sertifikasi guru, atau pangkat kepala sekolah. Ini soal relevansi. Sekolah yang dulu tempat bertanya, sekarang jadi tempat cari WiFi gratis. Murid-murid tak lagi bertanya pada guru, mereka bertanya pada ChatGPT, pada Bard, pada Claude. Siang malam mereka di atas motor, mengetikkan soal Ujian Nasional sambil menyeruput kopi sachet. Seperti disoroti oleh Luckin et al. (2016) dalam "Intelligence Unleashed", potensi AI untuk mendampingi pendidikan memang besar, tapi bukan tanpa ancaman.

Tentu kita tak sedang melawan kemajuan. AI punya tempatnya. Ia cepat, ia efisien, ia menjawab dengan taktis. Tapi justru di situlah kengerian mulai menjelma. AI bisa mengajari anak membuat puisi, tapi tak pernah jatuh cinta. AI bisa merancang kurikulum, tapi tak pernah mengajari sabar. AI bisa menjelaskan moral, tapi ia sendiri tak punya luka. Dalam studi Seldon & Abidoye (2018) di "The Fourth Education Revolution", pendidikan yang hanya diserahkan pada teknologi berisiko menanggalkan sisi manusiawi.

Dalam 10 tahun ke depan,

atau bahkan lebih cepat dari waktu itu, kita akan menyaksikan kelas-kelas yang tak lagi dipenuhi suara guru, tapi suara sistem. Akan ada lembaga pendidikan yang seluruh silabusnya dirancang oleh algoritma, ditinjau oleh jaringan neural, dan dieksekusi oleh suara buatan yang lebih tenang daripada guru paling sabar sekalipun. Heffernan (2019) dalam "The AI Classroom" mengingatkan bahwa sekolah perlu mengembangkan kebijakan etis sebelum sepenuhnya mengadopsi otomatisasi.

Namun di titik ini, pertanyaan paling besar justru muncul: siapa yang akan mengajari anak-anak kita tentang kejujuran? Siapa yang akan menghibur anak didik yang diam-diam ditinggal ayahnya semalam? Siapa yang akan berkata, "Nak, nilai rapormu boleh merah, tapi kamu tetap manusia yang layak dicintai"? Menurut Holmes et al. (2021) dalam "Ethics and AI in Education", hanya manusia yang mampu menanamkan nilai-nilai etis melalui relasi langsung dan keteladanan.

Tugas pendidikan sejatinya bukan sekadar menyampaikan materi, tapi menyulam makna. Dan AI, betapa pun canggihnya, tidak pernah mengaji di langgar kecil, tidak pernah mencium tangan ibunya saat pergi sekolah, tidak pernah menangis diam-diam karena dimarahi guru BP. Williamson & Eynon (2020) dalam "Historical Threads in AI and Education" mengkritisi bagaimana narasi efisiensi telah menggerus makna kemanusiaan dalam pendidikan.

Ada yang tak bisa diajarkan oleh mesin, meskipun diberi ribuan dataset: kehadiran. Anak-anak hari ini butuh kehadiran. Bukan hanya kehadiran absensi, tapi kehadiran yang mengandung empati. Guru yang hadir bukan hanya untuk mengoreksi salah, tapi untuk mendampingi resah. Pendidikan, dalam bentuk paling hakikinya, adalah relasi. Dan relasi itu bukan cuma soal input dan output. Ia butuh ragu, butuh diam, butuh air mata. Dalam "Human Learning in the Digital Age" oleh Selwyn (2019), ditegaskan bahwa proses pembelajaran yang sejati mengandung momen-momen tidak pasti yang tak bisa diprediksi oleh mesin.

Cobalah baca ulang refleksi para ahli dari jurnal-jurnal besar dunia: mereka menyebut perlunya "Human-Centered AI". Betapa pun canggihnya teknologi, tetap harus ada poros manusia yang tak tergantikan. Kita bisa mengizinkan AI membantu, tapi tak bisa membiarkannya menggantikan. Sebab, AI tak tahu rasanya dipeluk murid setelah berhasil menyelesaikan perkalian dua digit. Belandia (2021) dalam "AI and the Affective Dimension of Teaching" menyoroti absennya dimensi emosional dalam sistem berbasis AI.

Saya jadi ingat kutipan dalam film The Matrix yang melegenda: "What is real? How do you define 'real'?". Pertanyaan itu bukan untuk Neo semata, tapi juga untuk kita yang hari ini sedang mabuk kecanggihan. Apa yang nyata dalam pendidikan? Apakah nilai sempurna dari mesin, atau nilai hidup yang tumbuh dari kegagalan dan keteguhan? Dalam "Real World AI and the Classroom" (Smith, 2022), dipaparkan bahwa pendidikan yang terlalu steril dari pengalaman nyata akan kehilangan konteks sosial yang membentuk karakter.

Mari kita jujur.

Banyak guru yang juga mulai lelah. Banyak sekolah yang mulai gamang. Tapi justru di saat inilah kita harus kembali pada pertanyaan paling mendasar: untuk apa pendidikan diciptakan? Bila hanya untuk mencetak angka, maka AI bisa. Tapi bila untuk mencetak jiwa, kita harus hadir. Manusia harus hadir. Selaras dengan itu, Knox (2020) dalam "Artificial Intelligence and Inclusive Education" mengingatkan bahwa inklusi pendidikan tak bisa dijamin oleh data, tapi oleh manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun