Di peron nomor sembilan belas, Tokyo Station, seorang lelaki setengah baya berdiri membeku seperti patung batu yang menolak dijamah waktu. Namanya Tatsuya, pensiunan guru kesenian yang menganggap bunyi peluit kereta sebagai komposisi sonata paling jujur yang pernah diciptakan umat manusia.
**
Tatsuya sudah tiga kali bercerai. Istrinya yang terakhir kabur bersama penjual karpet keliling dari Nara. Tapi ia tidak pernah dendam. Baginya, semua hal bisa dimaafkan asal sempat membeli dua tiket Shinkansen---satu untuk dirinya, satu lagi untuk bayangan masa lalu yang tak kunjung reda.
**
Kereta peluru itu datang tanpa suara. Seperti janji-janji pemerintah, mulus, mengilap, dan kadang terlalu cepat untuk disesali. Jalur Tokaido seperti urat nadi Jepang yang ditarik paksa dari dada modernitas ke jantung purba Kyoto.
**
"Kalau hidup terlalu cepat, mampirlah ke Toyama," kata sopir taksi di stasiun berikutnya.
Tatsuya mampir. Spa air panas menyambutnya seperti pelukan ibu kandung yang lama hilang. Di onsen, ia duduk telanjang bulat dengan lelaki-laki aneh yang mendiskusikan pertumbuhan alga dan saham perusahaan kimchi Korea.
**
Toyama mengajarkan satu hal: tubuh manusia tidak dirancang untuk tergesa. Ia seperti barang antik, harus direndam dulu sebelum dipakai.