"Katanya aku maling, padahal cuma bawa motor boncengan," cerita Ahmad. Waktu itu tahun 2019. Tapi luka sosial punya jam biologis sendiri. Kadang tidur, kadang terbangun sambil memegang kapak.
JN, pelaku yang membawa pistol, menembak dua kali.
Pertama meleset, kedua ke atas. Mungkin sebagai pengingat bahwa Tuhan pun tak ingin terlibat dalam adegan ini.
**
Di pelaminan, musik orgen tunggal masih berbunyi. Lagu Akhir Sebuah Cerita mendadak jadi terlalu pas untuk suasana. Ibu-ibu berkain batik menjerit, bapak-bapak lari sambil tetap bawa kotak berisi amplop. Tak ada yang ingin kehilangan dua hal sekaligus: nyawa dan angpao.
Pengantin wanita, Siti Maemunah, menangis. Tapi tidak histeris. Tangisnya seperti seseorang yang menonton pertandingan sepak bola di mana timnya kalah penalti---penuh penyesalan yang tidak bisa diulang.
"Saya hanya ingin menikah. Tapi malah jadi korban episode dendam," katanya.
Ia tak tahu, cinta di negeri ini seringkali kalah dari dendam yang dijaga seperti tanaman bonsai: dirawat pelan-pelan, lalu ditebas di hari bahagia.
**
Kabar menyebar cepat. Seperti biasanya. Ada yang bilang Ahmad tewas. Ada yang bilang itu perang antar keluarga. Ada pula yang menyebar video rekaman---blur dan penuh teriakan---dengan caption: "Hati-hati nikah, bisa ditebas mantan."
Tapi polisi berkata tenang: pelaku sedang diburu, mobil diamankan, senjata tajam dan HP ditemukan. Semuanya prosedural. Semua biasa.