Palembang selalu panas. Tapi pagi itu lebih panas dari biasanya. Bukan karena matahari, tapi karena dendam yang sudah diasinkan selama enam tahun dan kini menggelegak seperti wajan penuh minyak goreng dan rahasia lama.
Ahmad Handa berdiri di samping mobil pengantin, masih mengatur napas dan sarung, saat sebuah kapak jatuh dari langit.
Bukan metafora.
Benda itu benar-benar datang, membelah udara, disusul tiga lelaki dengan tatapan seperti kerbau yang dilepas dari kandang sempit: bengis, lapar, dan tahu arah.
**
Orang-orang bilang akad nikah itu sakral. Tapi di Palembang pagi itu, suara "qabiltu nikahahaa" diganti dengan "awas, awas, bacok, bacok!"
Tiga lelaki datang seperti adegan ulangan sinetron kriminal. Satu bawa sangkur, satu lagi bawa kapak, dan yang terakhir---ini bukan lelucon---bawa senpira.
"Pistol betulan, bang. Bukan buat syuting," kata Ahmad, saat diwawancarai di ranjang rumah sakit, tangannya diperban seperti anak SMA yang gagal demo masak.
**
Orang tak tahu bagaimana caranya cinta bisa jadi darah. Tapi Ahmad tahu: cukup dengan satu tuduhan enam tahun lalu, satu panggilan "cepu!" di atas Jembatan Kertapati, dan satu momen yang tepat---yakni hari pernikahannya.