Saya tak tahu siapa namanya. Tapi ia telah menjadi guru dalam perjalanan saya hari itu. Guru yang tak bersuara, tapi menampar saya pelan dengan gerakan sujud.
Dan saya, yang merasa paling tahu, akhirnya tunduk dalam diam.
Sejak kejadian itu, saya jadi lebih waspada. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap kecenderungan diri sendiri yang terlalu cepat menghakimi. Terlalu mudah menyimpulkan kadar iman orang hanya dari warna bajunya, model rambutnya, atau kerudung yang belum dipakai.
Saya mulai berpikir, barangkali sebagian dari kita---yang sibuk mengajari orang lain---sebenarnya lebih membutuhkan pelajaran. Kita terlalu sering mengira bahwa pendidikan adalah sesuatu yang linier: dari guru kepada murid, dari dosen kepada mahasiswa, dari ustaz kepada jamaah. Padahal kadang, arusnya justru terbalik.
Kita disadarkan oleh mereka yang kita kira tak paham agama. Kita diingatkan oleh yang tak punya gelar. Kita ditegur oleh yang kita anggap "tak layak" menjadi teladan.
Bukankah itu bukti bahwa pendidikan, seperti kata Ibnu Khaldun, adalah proses yang tidak bisa dipisahkan dari pengalaman hidup?
Manusia adalah makhluk yang hidup dalam kebudayaan, kata beliau. Ia membentuk nilai, menyerap nilai, dan mempertahankan nilai-nilai itu melalui tindakan konkret dalam hidup sehari-hari. Dan di zaman yang serba cepat ini, kualitas manusia tidak bisa hanya diukur dari seberapa banyak ia tahu, tapi seberapa banyak ia mampu berlaku benar---dalam kesunyian, dalam keterbatasan, dan dalam konsistensi.
Ibu petugas pom bensin itu bisa saja adalah satu dari banyak potret pendidikan tak formal yang hari ini kita abaikan. Ia mungkin tak lulus pesantren, mungkin tak paham makna ijtihad atau tafsir isyari, tapi ia menunjukkan bahwa kualitas spiritual dan kesadaran moral tidak memerlukan deklarasi besar-besaran.
Ia cukup datang sebagai dirinya, menunaikan shalat dengan tenang, dan pergi tanpa perlu penjelasan.
Momen itu menjadi bahan perenungan berhari-hari. Saya membawanya ke ruang kelas. Saya bicarakan secara tersirat kepada mahasiswa saya. Saya sisipkan dalam narasi khutbah berikutnya, tak lagi sekeras sebelumnya. Kini saya lebih paham bahwa terkadang yang keras bukan harus suara, tapi kesadaran.
Kesadaran bahwa pendidikan bukan sekadar upaya mencerdaskan,
tapi juga menyadarkan. Ia adalah proses memanusiakan manusia---yang memahami diri, lingkungan, dan Tuhannya.