Beberapa hari lalu, saya pulang dari khutbah Jumat di sebuah kampung pesisir. Suara saya masih serak-serak ustaz, dan baju koko saya masih basah oleh peluh. Jalanan dari Pangkep ke Makassar membentang panjang, seperti deadline hidup yang tak kunjung lunas. Motor saya mengeluh, bensinnya tinggal seujung harapan. Maka saya pun singgah di sebuah SPBU.
Sambil menunggu antrian, pandangan saya tertumbuk pada sosok ibu-ibu petugas pom bensin. Penampilannya mencolok. Tidak mengenakan kerudung, celananya ketat, make-up-nya tebal. Dalam hati, saya menggumam, "Ya Allah, ini kalau ikut ceramah saya tadi, mungkin langsung tertunduk." Tapi tentu, saya tak bilang begitu. Saya cuma duduk di pelataran musala pom bensin, pura-pura sibuk mengusap debu dari sandal.
Tapi kemudian, saat sedang menenggak air mineral dan berpikir soal khutbah barusan, saya menoleh ke musala. Dan saya seperti ditampar halus oleh tangan tak terlihat. Ibu-ibu yang tadi saya nilai habis-habisan dengan prasangka, sedang berdiri tegak menghadap kiblat. Ia shalat. Di musala kecil itu. Di tengah tugasnya. Khusyuk.
Saya tercekat. Terdiam.
Saat itu juga, saya merasa pendidikan saya---yang katanya tinggi itu---bergetar. Saya yang barusan mengajak jamaah bertakwa, justru takwa saya kalah jauh oleh seseorang yang saya remehkan hanya karena penampilannya.
Ibnu Khaldun menulis dalam Muqaddimah bahwa pendidikan adalah inti dari eksistensi manusia. Ia bukan sekadar hafalan, bukan juga formalitas gelar. Pendidikan, bagi Ibnu Khaldun, adalah proses pemahaman terhadap realitas kehidupan melalui daya akal dan pengalaman.
Dan ibu itu---tanpa tahu teori konstruktivisme atau filsafat pendidikan Timur Tengah---telah memberi saya pelajaran penting: bahwa makna iman, ketaatan, dan kualitas manusia tidak selalu datang dari tampilan luar, tapi dari konsistensi sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengembangkan diri, dan pendidikan adalah sarana transformasi nilai-nilai agar manusia dapat bertahan dan berkembang dalam perubahan zaman. Dalam konteks itu, perilaku ibu tadi bukan sekadar rutinitas, tapi cerminan dari seseorang yang, secara sadar atau tidak, tengah memelihara eksistensinya sebagai makhluk spiritual.
Ia sedang membangun integritas, bukan dengan suara, tapi dengan tindakan diam: menunaikan shalat, bukan untuk pamer, tapi sebagai bentuk penguatan nilai hidup. Sementara kita---terutama saya---kadang justru sibuk menilai kualitas iman dari tampilan luar: dari panjang kerudung, dari ceramah di feed Instagram, dari jumlah kutipan hadis di caption TikTok.
Padahal, kata Ibnu Khaldun, pendidikan adalah pengembangan potensi melalui pengalaman, pergaulan, sikap mental, dan kemandirian. Empat hal itu tak bisa diukur hanya lewat simbol atau gaya berpakaian, melainkan melalui kebiasaan dan pilihan dalam keseharian. Dan ibu tadi telah membuat saya sadar bahwa sumber daya manusia yang berkualitas tak selalu tampil Islami di permukaan, tapi nyata dalam komitmennya.
Hari itu saya belajar.
Belajar dari orang yang tak saya kenal, tak mengerti istilah epistemologi Islam, tapi justru mengajarkan nilai-nilai Islam yang paling dalam: keikhlasan, ketekunan, dan istiqamah.
Saya tak tahu siapa namanya. Tapi ia telah menjadi guru dalam perjalanan saya hari itu. Guru yang tak bersuara, tapi menampar saya pelan dengan gerakan sujud.
Dan saya, yang merasa paling tahu, akhirnya tunduk dalam diam.
Sejak kejadian itu, saya jadi lebih waspada. Bukan terhadap orang lain, tapi terhadap kecenderungan diri sendiri yang terlalu cepat menghakimi. Terlalu mudah menyimpulkan kadar iman orang hanya dari warna bajunya, model rambutnya, atau kerudung yang belum dipakai.
Saya mulai berpikir, barangkali sebagian dari kita---yang sibuk mengajari orang lain---sebenarnya lebih membutuhkan pelajaran. Kita terlalu sering mengira bahwa pendidikan adalah sesuatu yang linier: dari guru kepada murid, dari dosen kepada mahasiswa, dari ustaz kepada jamaah. Padahal kadang, arusnya justru terbalik.
Kita disadarkan oleh mereka yang kita kira tak paham agama. Kita diingatkan oleh yang tak punya gelar. Kita ditegur oleh yang kita anggap "tak layak" menjadi teladan.
Bukankah itu bukti bahwa pendidikan, seperti kata Ibnu Khaldun, adalah proses yang tidak bisa dipisahkan dari pengalaman hidup?
Manusia adalah makhluk yang hidup dalam kebudayaan, kata beliau. Ia membentuk nilai, menyerap nilai, dan mempertahankan nilai-nilai itu melalui tindakan konkret dalam hidup sehari-hari. Dan di zaman yang serba cepat ini, kualitas manusia tidak bisa hanya diukur dari seberapa banyak ia tahu, tapi seberapa banyak ia mampu berlaku benar---dalam kesunyian, dalam keterbatasan, dan dalam konsistensi.
Ibu petugas pom bensin itu bisa saja adalah satu dari banyak potret pendidikan tak formal yang hari ini kita abaikan. Ia mungkin tak lulus pesantren, mungkin tak paham makna ijtihad atau tafsir isyari, tapi ia menunjukkan bahwa kualitas spiritual dan kesadaran moral tidak memerlukan deklarasi besar-besaran.
Ia cukup datang sebagai dirinya, menunaikan shalat dengan tenang, dan pergi tanpa perlu penjelasan.
Momen itu menjadi bahan perenungan berhari-hari. Saya membawanya ke ruang kelas. Saya bicarakan secara tersirat kepada mahasiswa saya. Saya sisipkan dalam narasi khutbah berikutnya, tak lagi sekeras sebelumnya. Kini saya lebih paham bahwa terkadang yang keras bukan harus suara, tapi kesadaran.
Kesadaran bahwa pendidikan bukan sekadar upaya mencerdaskan,
tapi juga menyadarkan. Ia adalah proses memanusiakan manusia---yang memahami diri, lingkungan, dan Tuhannya.
Itulah yang saya pelajari dari Ibnu Khaldun.
Ia tak hanya menulis teori. Ia menuliskan realitas. Tentang bagaimana manusia berkembang lewat rangkaian kebiasaan, pergaulan, sikap, dan kemandirian. Dan semua itu, hari itu, saya saksikan dalam sosok seorang ibu yang sebelumnya saya ragukan, tapi akhirnya saya hormati.
***
Makassar. 05/05/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI