Data Bank Dunia (2025) mencatat bahwa hampir 60% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Sektor ini adalah tulang rusuk perekonomian rakyat---tanpa asuransi, tanpa jaminan hari tua, tanpa kepastian harga beras esok hari. Tapi entah kenapa, dalam narasi negara, mereka kerap dilukiskan sebagai "penopang ketahanan ekonomi" alih-alih disebut "yang paling rapuh di tengah badai".
Pada saat yang sama, indeks ketimpangan atau Gini Ratio Indonesia masih stagnan di angka 0,384. Artinya, segelintir orang bisa mencetak laba dari ketidakpastian, sementara mayoritas hanya bisa mencetak senyum saat melewati rak promo di swalayan.
Kita juga tak lupa soal utang. Menurut Kementerian Keuangan, total utang pemerintah per April 2025 telah mencapai lebih dari Rp8.000 triliun. Angka itu terlalu besar untuk dibayangkan, apalagi untuk dilunasi lewat sedekah kotak amal atau celengan ayam. Tapi tenang, kata negara, utang itu produktif---seperti motor kreditan yang belum lunas tapi sudah dipakai bonceng gebetan ke mana-mana.
Maka tak heran bila publik makin piawai membaca "bahasa ekonomi".
Mereka tahu, jika pemerintah mulai sering menyebut kata "transformasi digital", biasanya berarti pemutusan hubungan kerja sudah di ujung pintu. Jika pejabat bicara tentang "efisiensi anggaran", itu pertanda makan siang di kantin akan segera terasa lebih hambar.
Dan kita tahu, di balik semua slogan, rakyat masih menyisihkan receh untuk anak sekolah, meski inflasi menyusup seperti semut di balik gorden: tak terlihat, tapi terasa gigitannya.
Sebagaimana ditulis oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations, Book V, Chapter 1, halaman 709:
"Wherever there is great property, there is great inequality. For one very rich man, there must be at least five hundred poor, and the affluence of the few supposes the indigence of the many."
"Di mana pun terdapat kekayaan besar, di sana pula terdapat ketimpangan besar. Untuk satu orang yang sangat kaya, setidaknya harus ada lima ratus orang miskin, dan kemakmuran segelintir orang mengandaikan kemelaratan banyak orang."
Begitulah ekonomi tanpa etika. Begitulah pembangunan tanpa kemanusiaan. Dan begitulah negara yang tumbuh sendirian, sementara rakyatnya dibiarkan menjadi statistik yang tak bisa bicara.
***
Makassar. 05/05/2025