Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketika Ekonomi Didorong Pakai Angin

5 Mei 2025   18:36 Diperbarui: 11 Mei 2025   14:58 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Indonesia, negeri yang pertumbuhan ekonominya kini ibarat layangan putus: masih terbang, tapi benangnya dipegang harapan. Di kuartal pertama 2025, angka pertumbuhan ekonomi tetap tercatat, katanya, meski tekanan global menebar risiko seperti popcorn dalam microwave: meletup satu-satu tanpa peringatan.

Menurut Kementerian Keuangan, struktur ekonomi kita kokoh---karena ditopang oleh konsumsi domestik. Ini menarik, karena konsumsi domestik itu seperti pesta pernikahan kampung: selalu ada, selalu ramai, walau kadang hasilnya ngutang. Jadi, ketika negara-negara lain menggigil karena krisis global, kita tenang saja... karena rakyat tetap beli kopi sachet, ayam geprek, dan kuota 10GB per minggu.

Menteri Sri Mulyani, bilang bahwa ketahanan kita itu "bantalan". Istilah yang terdengar empuk, padahal bantalan ekonomi itu kadang seperti bantal kamar kos---tipis, berdebu, tapi tetap dipeluk saat mimpi buruk.

Namun, dunia tidak sekadar gelombang lokal.

 Ada Trump, ada tarif, ada dagang yang direvisi setiap kali ia mengganti dasi. Di tengah ancaman kembalinya kebijakan isolasionis dari negeri Paman Sam, Indonesia tetap mesra berdagang. Bayangkan saja, pada 2024 ekspor kita ke AS tembus 26,3 miliar dolar. Angka yang besar, walau masih kalah dari angka utang orang yang beli iPhone pakai cicilan.

Lalu datanglah angka paling flamboyan: target pertumbuhan 8 persen di tahun 2029, dari pemerintah yang baru saja menguatkan jabat tangan dengan waktu dan ambisi. Ini seperti kita duduk di warung kopi, baru saja diberi tahu kalau tukang gorengan ingin jadi astronaut dalam lima tahun. Hebat? Bisa jadi. Mungkin dia serius. Tapi apakah bumi mendukung gravitasi cita-cita itu?

Ekonom bilang, untuk mencapai 8 persen butuh investasi jumbo, stabilitas politik, dan reformasi struktural. Tapi kita semua tahu, yang sering dibenahi justru struktur konten di TikTok dan wacana pindah ibukota yang muncul setiap kali debat publik mulai sepi.

Di sinilah humor ekonomi Indonesia muncul: bukan di angka, tapi di cara kita menanggapi angka. Di negeri ini, angka bukan lagi hasil, tapi alat: untuk meyakinkan, untuk menenangkan, kadang juga untuk meninabobokan.

Tapi tunggu dulu, belum selesai. Di balik semua itu, ada rakyat yang tetap antre minyak goreng, sambil sesekali scrolling berita pertumbuhan ekonomi dengan senyum miring. "Wah, ekonomi tumbuh, ya? Tapi kenapa warung sebelah tutup?"

Kalimat itu mungkin tak tercatat di riset Bank Dunia atau grafik BI, tapi justru menjadi indikator paling jujur dalam ekosistem ekonomi rakyat. Sebab pertumbuhan, di mata mereka, bukan angka, melainkan aroma dapur yang tetap hidup dan cicilan yang tetap lunas. Sayangnya, kadang yang tumbuh hanya daftar jargon, bukan daya beli.

Sementara itu, para ekonom di bilik pendingin menari dengan istilah seperti stimulasi fiskal, pembenahan birokrasi, atau diversifikasi ekspor. Tapi ibu-ibu di pasar lebih mengerti istilah harga cabai merah naik lagi.

Mari kita bayangkan ekonomi sebagai orkestra:

 satu pihak meniup seruling optimisme, satu lagi menabuh genderang pertumbuhan, tapi suara paling nyaring tetap datang dari rakyat yang berdendang di warung nasi kuning sambil mengeluh, "Tahun ini katanya tumbuh 5 persen, tapi kenapa gaji saya tetap flat seperti tembok bata?"

Lalu muncul pernyataan klasik: "Kita harus optimis!" Tentu, optimisme penting. Tapi jika optimisme tidak disertai reformasi struktural, ia akan menjadi seperti balon helium---naik tinggi, tapi mudah meletus jika terkena realita.

Dan itulah kenapa, di negeri ini, setiap angka perlu diberi ruang untuk ditertawakan. Bukan karena kita anti-maju, tapi karena kita sudah terlalu lama disuruh tersenyum oleh iklan ekonomi, padahal gigi sudah tanggal satu-satu oleh beban hidup.

Dan inilah kita sekarang:

berdiri di tengah grafik pertumbuhan yang naik-turun seperti detak jantung pasar, sementara suara buruh, petani, pedagang kaki lima, dan guru honorer mengambang seperti kabut subuh yang luput dari radar menteri.

Kita menyebutnya pertumbuhan inklusif, padahal dalam praktiknya, yang tumbuh hanyalah orang-orang yang sudah lama duduk di kursi empuk. Data dari BPS menyebutkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan, sekitar 52,4 persen. Tapi angka itu, seperti janji diskon toko daring, terlihat manis sampai tagihan datang di akhir bulan.

Yang tak disebut di laporan ekonomi itu adalah berapa jumlah orang yang memilih puasa bukan karena iman, tapi karena dompet tak kuasa. Bahwa konsumsi itu bukan tanda daya beli, tapi bukti keterpaksaan. Mereka tetap belanja, iya---karena lapar tidak mengenal analisis makroekonomi.

Di sisi lain, pemerintah terus mendendangkan simfoni kerja sama regional. ASEAN ini, blok itu, sinergi ke sana, kolaborasi ke sini. Seolah-olah ekonomi rakyat bisa diselamatkan oleh salam-salaman pejabat dalam konferensi berpendingin ruangan. Tapi rakyat lebih akrab dengan AC rusak di angkot yang jendelanya macet.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan 8 persen, dan publik disodori peta menuju angka itu. Tapi jangan lupa, peta tak menjamin kita tahu jalan. Terlalu sering kita melihat pembangunan seperti maket yang dipamerkan dalam peresmian, megah tapi tak bisa diinjak.

Yang tumbuh cepat memang ada:

harga tanah, biaya sekolah, utang pribadi, dan kesenjangan pendapatan. Tapi semua itu jarang masuk siaran pers. Karena statistik, seperti kamera CCTV, bisa diputar ke arah yang paling aman dari aib.

Tapi kita tak bisa hidup dari eufemisme. Kita tak bisa terus menambal derita dengan pidato. Sebab perut tak bisa diberi makan dari "optimisme" dan "proyeksi positif". Ia hanya kenyang oleh nasi, bukan narasi.

Dan ketika rakyat mulai bertanya, "Mengapa ekonomi terasa seperti sarkasme?"---itulah saatnya kita berhenti menutupi lubang dengan kertas grafik. Mulailah bicara dengan bahasa yang bisa dijangkau perut dan dicerna harapan.

Data Bank Dunia (2025) mencatat bahwa hampir 60% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Sektor ini adalah tulang rusuk perekonomian rakyat---tanpa asuransi, tanpa jaminan hari tua, tanpa kepastian harga beras esok hari. Tapi entah kenapa, dalam narasi negara, mereka kerap dilukiskan sebagai "penopang ketahanan ekonomi" alih-alih disebut "yang paling rapuh di tengah badai".

Pada saat yang sama, indeks ketimpangan atau Gini Ratio Indonesia masih stagnan di angka 0,384. Artinya, segelintir orang bisa mencetak laba dari ketidakpastian, sementara mayoritas hanya bisa mencetak senyum saat melewati rak promo di swalayan.

Kita juga tak lupa soal utang. Menurut Kementerian Keuangan, total utang pemerintah per April 2025 telah mencapai lebih dari Rp8.000 triliun. Angka itu terlalu besar untuk dibayangkan, apalagi untuk dilunasi lewat sedekah kotak amal atau celengan ayam. Tapi tenang, kata negara, utang itu produktif---seperti motor kreditan yang belum lunas tapi sudah dipakai bonceng gebetan ke mana-mana.

Maka tak heran bila publik makin piawai membaca "bahasa ekonomi".

Mereka tahu, jika pemerintah mulai sering menyebut kata "transformasi digital", biasanya berarti pemutusan hubungan kerja sudah di ujung pintu. Jika pejabat bicara tentang "efisiensi anggaran", itu pertanda makan siang di kantin akan segera terasa lebih hambar.

Dan kita tahu, di balik semua slogan, rakyat masih menyisihkan receh untuk anak sekolah, meski inflasi menyusup seperti semut di balik gorden: tak terlihat, tapi terasa gigitannya.

Sebagaimana ditulis oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations, Book V, Chapter 1, halaman 709:

"Wherever there is great property, there is great inequality. For one very rich man, there must be at least five hundred poor, and the affluence of the few supposes the indigence of the many."

"Di mana pun terdapat kekayaan besar, di sana pula terdapat ketimpangan besar. Untuk satu orang yang sangat kaya, setidaknya harus ada lima ratus orang miskin, dan kemakmuran segelintir orang mengandaikan kemelaratan banyak orang."

Begitulah ekonomi tanpa etika. Begitulah pembangunan tanpa kemanusiaan. Dan begitulah negara yang tumbuh sendirian, sementara rakyatnya dibiarkan menjadi statistik yang tak bisa bicara.

***

Makassar. 05/05/2025

Referensi:

- Badan Pusat Statistik. (2024). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulanan.

- Badan Pusat Statistik. (2025). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I.

- Bank Dunia. (2025). Laporan Sektor Informal di Asia Tenggara.

- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Rilis Ekonomi Kuartal I.

- Kementerian Keuangan RI. (2025). Statistik Utang Pemerintah.

- Kompas.com. (2025). Indonesia Masih Catat Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2025, di Tengah Tekanan Global dan Risiko Tarif Trump.

- OECD. (2022). Economic Outlook Southeast Asia, China and India 2022.

- Smith, A. (1776). The Wealth of Nations, Book V, Chapter 1.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun