satu pihak meniup seruling optimisme, satu lagi menabuh genderang pertumbuhan, tapi suara paling nyaring tetap datang dari rakyat yang berdendang di warung nasi kuning sambil mengeluh, "Tahun ini katanya tumbuh 5 persen, tapi kenapa gaji saya tetap flat seperti tembok bata?"
Lalu muncul pernyataan klasik: "Kita harus optimis!" Tentu, optimisme penting. Tapi jika optimisme tidak disertai reformasi struktural, ia akan menjadi seperti balon helium---naik tinggi, tapi mudah meletus jika terkena realita.
Dan itulah kenapa, di negeri ini, setiap angka perlu diberi ruang untuk ditertawakan. Bukan karena kita anti-maju, tapi karena kita sudah terlalu lama disuruh tersenyum oleh iklan ekonomi, padahal gigi sudah tanggal satu-satu oleh beban hidup.
Dan inilah kita sekarang:
berdiri di tengah grafik pertumbuhan yang naik-turun seperti detak jantung pasar, sementara suara buruh, petani, pedagang kaki lima, dan guru honorer mengambang seperti kabut subuh yang luput dari radar menteri.
Kita menyebutnya pertumbuhan inklusif, padahal dalam praktiknya, yang tumbuh hanyalah orang-orang yang sudah lama duduk di kursi empuk. Data dari BPS menyebutkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan, sekitar 52,4 persen. Tapi angka itu, seperti janji diskon toko daring, terlihat manis sampai tagihan datang di akhir bulan.
Yang tak disebut di laporan ekonomi itu adalah berapa jumlah orang yang memilih puasa bukan karena iman, tapi karena dompet tak kuasa. Bahwa konsumsi itu bukan tanda daya beli, tapi bukti keterpaksaan. Mereka tetap belanja, iya---karena lapar tidak mengenal analisis makroekonomi.
Di sisi lain, pemerintah terus mendendangkan simfoni kerja sama regional. ASEAN ini, blok itu, sinergi ke sana, kolaborasi ke sini. Seolah-olah ekonomi rakyat bisa diselamatkan oleh salam-salaman pejabat dalam konferensi berpendingin ruangan. Tapi rakyat lebih akrab dengan AC rusak di angkot yang jendelanya macet.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan 8 persen, dan publik disodori peta menuju angka itu. Tapi jangan lupa, peta tak menjamin kita tahu jalan. Terlalu sering kita melihat pembangunan seperti maket yang dipamerkan dalam peresmian, megah tapi tak bisa diinjak.
Yang tumbuh cepat memang ada:
harga tanah, biaya sekolah, utang pribadi, dan kesenjangan pendapatan. Tapi semua itu jarang masuk siaran pers. Karena statistik, seperti kamera CCTV, bisa diputar ke arah yang paling aman dari aib.
Tapi kita tak bisa hidup dari eufemisme. Kita tak bisa terus menambal derita dengan pidato. Sebab perut tak bisa diberi makan dari "optimisme" dan "proyeksi positif". Ia hanya kenyang oleh nasi, bukan narasi.
Dan ketika rakyat mulai bertanya, "Mengapa ekonomi terasa seperti sarkasme?"---itulah saatnya kita berhenti menutupi lubang dengan kertas grafik. Mulailah bicara dengan bahasa yang bisa dijangkau perut dan dicerna harapan.