Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bahagia yang Sesederhana Itu

27 Juli 2021   17:55 Diperbarui: 27 Juli 2021   18:14 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu saling berpadu dalam satu rasa. Aku berkisah dan kau mendengarkan. Kita tidak perlu lagi bercerita tentang nostalgia.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu boleh mendirikan tenda. Kita boleh berpesta. Resepsi. Dan kau akan senang karena tamu yang diundang adalah raja-raja.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu bersama-sama datang ke rumah ibadah. Kau datang rapi dengan sarung. Lalu kita bermunajat kepada Ilahi dengan setulus rela.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu selalu bangun lebih awal daripada fajar. Kau sibuk menggelar tikar. Melayani pelanggan. Lalu kita berdebat damai tentang cita-cita anak bangsa.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu boleh duduk bersama di bangku sekolah. Ada guru tapi terkadang jam kosong. Sedikit tugas. Lalu kita tertawa gembira.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu sama-sama mendapatkan kontrak kerja. Kita bisa memberikan Emak sembako. Bukan dari bansos pemerintah. Bukan pula dari sisa bantuan kuota.

Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu bebas bertamasya. Kita pergi ke luar daerah. Bermain pasir asmara. Duduk bersandar di gubuk tua sembari meminum air kelapa muda.

Kini bahagianya kita tidak lagi sederhana. Bahagia yang sesederhana itu telah berganti dengan syair-syair ratapan.

Kini tukang siomay sudah pandai berpuisi. Mereka kesal dengan gerbang sekolah yang berlumut. Terus-menerus mengusik harapan.

Kini tukang organ tunggal juga semakin pandai bersajak. Mereka tak lagi mampu membayar uang bensin truk. Pengeras suara sudah melempem. Terlalu lama jadi pajangan.

Yang lain juga begitu. Bahagia yang sesederhana itu, kini tidak lagi terdengar sederhana.

Sinar Gunung, 27 Juli 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun