Panjang, kan kisahnya? Aku kira memang harus begitu. Mengenalkan ibadah serta hal-hal yang wajib kepada siswa maupun siswi di sekolah itu harus pelan-pelan, sabar, dikit demi sedikit, menekankan pembiasaan, kesadaran, serta dengan teladan.
Tidak bijak kiranya mengenalkan jilbab kepada siswi dengan dalil bahwa siswi yang tak berjilbab dicap auto kafir, auto masuk neraka, serta auto-auto lainnya. Bukannya takut terhadap hukuman Allah, siswi bisa-bisa malah enggan menaruh perhatian terhadapnya.
Beda dengan siswi yang sudah istiqomah mengenakan jilbab yang sesuai syariat. Penguatan pengetahuan melalui nash malah bagus untuk meningkatkan derajat keistiqomahan mereka.
Ya, setidaknya siswi yang sudah teguh tidak merasa bahwa dirinya sudah aman dari dosa, juga tidak merasa bahwa dirinya sudah "lurus" sehingga berhak mengucilkan teman sebayanya yang belum mengenakan jilbab.
Sebagai guru di sekolah, pemahaman tersebut penting untuk ditularkan kepada siswi dan seluruh pelajar pada umumnya.
Jilbab merupakan salah satu sarana bagi para perempuan muslim untuk menyelamatkan dirinya, menyelamatkan keluarganya, serta meningkatkan ketaatan beribadah. Bukan untuk dijadikan tameng ploklamir diri bahwa seseorang sudah taat. Bahaya, itu penyakit "merasa" namanya.
Maka dari itulah, jikalau ada orang yang mengatakan bahwa seorang perempuan harus sudah benar dan lurus terlebih dahulu baru kemudian mengenakan jilbab, argumen tersebut harus kita bantah.
Tidak harus menunggu baik baru kemudian berjilbab, tidak harus menunggu sadar baru kemudian menutup aurat, juga tidak harus menunggu hidayah baru kemudian berbenah. Apalagi untuk perkara yang wajib.
Sangat baik jika jilbab dikenalkan dan dibiasakan sejak dini kepada anak-anak perempuan kita. Soalnya hal tersebut juga merupakan tanggung jawab orangtua, tanggung jawab guru, sekaligus amanat yang harus dilaksanakan.
Salam.
Taman baca: