Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tidak Perlu Malu Jikalau Harus Pilih Sekolah di Desa Sendiri

11 Januari 2021   20:48 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:04 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah di desa sendiri. Dok. Ozy V. Alandika (2020)

Di negeri ini terhampar begitu banyak sekolah yang bagus. Entah mau pilih sekolah negeri maupun swasta, masing-masing darinya tentu berawal dari beragam pertimbangan. Pertimbangan yang aku maksud bisa dari jarak tempuh, biaya, keamanan, mutu bin kualitas, hingga popularitas.

Bersandar dari sana, alhasil tidak sedikit keluarga yang rela "pindah KK" demi merengkuh sekolah yang mereka impikan.

Ya, sudah pasti biaya tidak menjadi masalah. Bahkan, aku kira mayoritas orangtua tak pernah berpikiran terlalu dalam tentang uang. Nantilah, yang penting anaknya bisa bersekolah dan bahagia.

Meski begitu, orangtua yang anak-anaknya memiliki segudang prestasi di jenjang sekolah sebelumnya boleh dikatakan sangat beruntung. Kehadiran sertifikat juara nasional serta juara internasional di bidang akademik maupun bakat dan minat sangat membantu.

Dengan adanya sertifikat tersebut, seorang siswa mampu "menerobos" masuk ke sekolah negeri daerah lain tanpa harus "pindah" maupun "numpang" KK.

Jika kita menilik aturan terbaru tentang PPDB dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2019, ada standar khusus bahwa kuota siswa yang mendaftar di sekolah negeri jalur zonasi minimal 50persen.

Syahdan, mengapa kita (sebagai orangtua maupun anak) tidak perlu malu jikalau harus pilih sekolah yang ada di desa sendiri?

Mendaftar di Sekolah yang Ada di Desa Sendiri Sama Halnya dengan Memajukan Desa

Hal ini telah aku rasakan betul setelah hampir dua tahun mengajar di SD Negeri. Di SD-ku siswanya sedikit. Begini detailnya. Kelas 1 ada 2 orang, kelas 2 ada 3 orang, kelas 3 ada 9 orang, kelas 4 dan 5 ada 15 orang, sedangkan kelas 6 ada 6 orang. Totalnya? 500 siswa. Eh, 50. Hehe

Mengapa sedikit sekali? Benar, seumur hidup, baru kali ini aku mengajar di sekolah negeri tapi berasa seperti guru private. Dua orang, Bro. Coba bayangkan!

Siswa kelas 1 kami kemarin ada 3. Di foto ada 2, satunya lagi ialah LCD Proyektor. Hihihi. Dok. Ozy V. Alandika (2020)
Siswa kelas 1 kami kemarin ada 3. Di foto ada 2, satunya lagi ialah LCD Proyektor. Hihihi. Dok. Ozy V. Alandika (2020)

Meski demikian, aku menganggap hal tersebut adalah wajar. Di desa tempatku mengajar, penduduknya masih sedikit dan di desa sebelah sudah ada MI (Madrasah Ibtidaiyah). Kebanyakan siswa baru ingin bersekolah di sana, dan hebatnya, MI tak pakai aturan zonasi.

Jadi, ya, bukanlah sebuah keanehan ketika ada siswa di desa yang ingin bersekolah di desa lain. Secara, derajat popularitas MI lebih tinggi daripada SD, terlebih lagi ada materi agama tambahan.

Padahal, di SD kami juga tak kalah hebat. Walaupun dirundung kompleksnya keterbatasan, kami juga punya program unggulan layaknya sekolah eksklusif. Seragam sekolah? Gratis. Materi agama? Di sekolah kami sudah ada kegiatan sholat Dhuha rutin. Pun dengan program lainnya.

Bahkan, andai corona segera berlalu, aku sudah punya program khusus agar anak-anak di SD-ku mampu mengisi kegiatan keagamaan di desa. Bukankah hal-hal yang aku ceritakan ini adalah demi kemajuan desa?

Itulah guna kehadiran sekolah negeri di desa, apa lagi bagi desa yang baru saja berkembang. Guru senior di SD kami pernah berkata bahwa, "kalau SD ini tutup (regrup), bisa jadi desa kita yang belum terlalu lama mekar akan kembali bergabung dengan desa sebelah." Hemm

Hemat

Persoalan biaya, boleh dibilang tidak terlalu penting di awal, tapi saat perjalanannya, masalah biaya jadi hal yang sangat krusial. Benar. Tidak cukup dengan gengsi untuk membeli berbagai kebutuhan anak. Bahkan, mencari ongkos angkot/ojek untuk sekolah saja begitu susah.

Iya, benar. Bahwa tidak semua anak lahir dari keluarga kaya, dan tidak semua dari mereka yang punya segudang prestasi.

Dulu, sewaktu bersekolah di SMP, aku sejatinya cukup kesusahan dari segi biaya. Terang saja, SMP yang paling dekat dari desa ternyata cukup jauh dari rumahku (7 KM).

Gara-gara jauh, beberapa kali aku sempat jalan sejauh 2 KM demi mendapatkan angkot. Sedangkan pulang sekolah, aku rela naik ojek dengan bonceng 3 dengan 2 orang temanku. Ya, biar hemat, kan? Walaupun kesannya berbahaya, tapi kita semua ingin bersekolah.

Lebih dari, itu, sewaktu SMP uang sakuku sangat minimum. Hanya dapat membeli 2 potong pempek atau bakwan saja. Kalau aku ingin jajan lebih, biasanya aku bersama temanku harus rela pulang jalan kaki sejauh 7 Km.

Jika aku ingat-ingat lagi, rasanya aku pernah malu di saat itu. Tapi, faktanya, aku belum pernah bolos sekolah gegara persoalan kurang uang jajan. Maka dari itulah, unsur biaya bagi banyak anak sepertiku memang menjadi pertimbangan yang krusial.

Sekolah Favorit Maupun Sekolah Populer Tidak Selalu Menjamin Kualitas Anak Didik

Benar, begitu, kok. Aku sudah mengalaminya sendiri. Nah, izinkan aku bercerita kembali.

Tahun kemarin (2020), di SD-ku ada 2 orang siswa baru pindahan dari sekolah sebelah. Dua orang siswa inilah yang menggenapkan jumlah siswa di SD kami hingga merengkuh angka 50 orang. Hahaha.

Tapi, ada keheranan tersendiri bagi aku dan rekan guru di SD, terutama tentang alasan kepindahan mereka. Nah, setelah diceritakan oleh orangtua siswa, ternyata 2 anak ini kurang mendapat perhatian ketika belajar di sekolah lamanya.

Selain itu, faktor banyaknya siswa dalam satu kelas telah menjadikan 2 anak ini "tersudutkan" oleh guru.

Aku cukup miris, sih. Soalnya, sekolah mereka sebelumnya sudah dicap favorit bin populer oleh warga desa. Tapi ternyata, tidak ada jaminan khusus bahwa sekolah yang favorit bakal mampu mencetak anak yang favorit pula.

Jadi, kita tak perlu malu kan bila harus memilih sekolah yang ada di desa sendiri?

Orangtua Adalah Kunci

Terakhir, perlu kembali ditegaskan bahwa orangtua adalah kunci. Akan percuma rasanya jikalau anak belajar di sekolah favorit bin unggul namun tiada perhatian yang maksimal dari orangtuanya.

Sama saja bohong. Yang namanya belajar itu harus diulang-dikaji-diulang lagi di rumah. Jika tidak diulang, maka konsekuensinya adalah lupa. Untuk mengatasi kelupaan ini, itulah gunanya orangtua di rumah.

Ketika orangtua menyempatkan dirinya untuk menemani anak belajar di rumah, ketika orangtua konsisten membantu anak menyelesaikan permasalahan belajar di sekolah, maka ketika itu pula orangtua telah membuka pintu kesuksesan untuk anaknya.

Sudah banyak bukti, dan pembuktian ini sering muncul di dekat kita. Misalnya, ada sekolah yang tidak populer namun siswanya mampu mendulang prestasi hebat di bidang akademik maupun non-akademik. Adakah yang seperti ini? Banyak! Pasti begitu.

Jadi, tidak melulu sekolahnya harus favorit bin super unggul untuk menciptakan siswa yang unggul.

Secara teori, barangkali korelasi antara sekolah unggul dan peningkatan kualitas siswa menunjukkan pengaruh yang signifikan. Alasannya ialah, anak-anak di sekolah tersebut begitu kompetitif, didukung oleh guru yang hebat-hebat, serta beragam fasilitas lainnya.

Meski demikian, bukan berarti anak-anak kita yang bersekolah di desa sendiri yang sekolahnya biasa-biasa saja tidak mampu mendulang prestasi. Maka dari itulah, sekali lagi kita katakan bahwa, orangtua adalah kunci.

Alhasil, tidak perlu malu jikalau harus pilih sekolah yang ada di desa sendiri. Semua anak yang belajar di sekolah manapun berhak mendulang segunung prestasi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun