Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuota Belajar dan Belajar "Menghabiskan" Kuota

2 Oktober 2020   20:38 Diperbarui: 3 Juni 2021   13:45 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang tua siswa membimbing anaknya belajar daring memanfaatkan jaringan internet gratis di kolong rel kereta api Mangga Besar, Jakarta, Rabu (26/8/2020). Fasilitas internet gratis menggunakan modem WiFi yang disediakan oleh warga setempat yang lebih mampu itu bertujuan untuk membantu kelancaran proses belajar daring siswa yang tidak mampu membeli paket kuota internet selama pandemi COVID-19 (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Kuota belajar dari Kemendikbud, Anda sudah dapat? Barangkali sudah, ya. Baik pelajar maupun pendidik secara bertahap sudah dikirimi bantuan kuota internet untuk belajar dari Kemendikbud di bawah naungan Mas Mendikbud Nadiem.

Bagi yang belum? Agaknya kita perlu bersabar. Soalnya, saya juga belum dapat. Hahaha

Barangkali syarat untuk mendapatkan kuota yang disetor ke Data Pokok Pendidikan dan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi baru selesai diverifikasi serta baru menuju ke tahap validasi. Kalaupun sudah lolos bulan September kemarin, maka penyaluran kuota dilakukan pada bulan Oktober 2020.

Kok begitu? Sudah ketentuannya begitu. Silakan cek di laman kuota-belajar.kemdikbud.go.id untuk informasi yang lebih detail. Pada intinya, Kemendikbud ingin agar penyaluran kuota kepada siswa maupun guru itu benar-benar transparan dan tepat sasaran.

Terang saja, jumlah kuotanya cukup banyak, kan? Kalau tidak salah, sebulan yang lalu Mas Nadiem sempat menegaskan bahwa pihaknya akan menggelontorkan Rp7,2 triliun untuk subsidi kuota dan Rp1,7 triliun untuk tunjangan para pendidik. Jadi, totalnya adalah Rp8,9 triliun.

Kuota Belajar Kemendikbud (Olahan Tangkapan layar Smartphone. Dok. Khairia Nurlita)
Kuota Belajar Kemendikbud (Olahan Tangkapan layar Smartphone. Dok. Khairia Nurlita)
Banyak, ya. Bayangkan saja bila kemudian dana ini tak sampai ke tangan siswa atau dipersalahgunakan di tengah jalan, maka rugilah negara. Masa iya, negara rela buang-buang duit demi kegiatan yang kurang optimal.

Baca juga: Cara Mengubah Kuota Belajar Menjadi Kuota Utama

Meski begitu, hadirnya subsidi kuota itu sangat penting, kan? Kuota memang tak menyentuh esensi pembelajaran secara langsung, tetapi, bagi kebanyakan orangtua, bantuan kuota sangat diharapkan demi kelancaran pembelajaran daring.

Lihat saja jumlah kuotanya, cukup besar, terutama bagi guru maupun siswa yang tidak terlalu doyan menjelajah internet. Peserta didik jenjang PAUD dapat 20Gb/bulan, SD-SMP-SMA sederajat dapat 35Gb/bulan, para pendidiknya dapat 42Gb/bulan, sedangkan dosen dan mahasiswa dapat 50Gb/bulan.

Tangkapan layar laman kuota-belajar (Dok. kemdikbud.go.id)
Tangkapan layar laman kuota-belajar (Dok. kemdikbud.go.id)

Perbulan loh, bayangkan! Sudah kurang baik apalagi pemerintah dalam menunjang pembelajaran. Minimal, pemerintah tidak PHP kepada rakyatnya.

Memang, lagi-lagi saya tekankan bahwa subsidi kuota bukanlah jalan yang mampu menyentuh esensi belajar secara langsung. Tetapi, paling tidak, dari segi ekonomi, pelaku pendidikan dapat sedikit lebih ngirit.

Bahkan, dampak yang sebenarnya kurang tampak di pelupuk mata kita adalah, pendidikan di era pandemi ini semakin mendekatkan para pelakunya menuju digitalisasi.

Barangkali ada pula sebagian orang yang menganggap bahwa Kemendikbud seperti "calo" aplikasi belajar online. Tapi, berbagai aplikasi online yang dihadirkan oleh Kemendikbud kan hanyalah opsi. Toh, tidak semuanya harus berbayar, kan?

Maka dari itulah, seiring dengan telah dihadirkannya bantuan kuota, implementasinya di lapangan dikembalikan lagi kepada kebijaksanaan para penggunanya. Baik guru, siswa, mahasiswa hingga dosen tentu bisa lebih arif dalam mengelola subsidi kuota tersebut.

Kuota Belajar dan Belajar Menghabiskan Kuota

Kalau kuota internet umum, mudah saja menghabiskannya. Siapapun penjelajah internet bisa sering-sering nonton YouTube, mengunduh film, hingga unggah foto maupun video di dunia medsos. Tapi, kalau kuotanya adalah kuota belajar, bagaimana?

Semisal, kita fokus saja kepada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kuota belajar yang diberikan oleh Kemendikbud totalnya adalah 30 Gb, sedangkan kuota umum ada 5 Gb. Tidak masalah yang kuota umum, kita bahas saja bayangan penggunaan kuota yang 30 Gb.

Karena saya sendiri belum dapat subsidi kuota dan di sekolah kami juga belum ada dukungan sinyal, maka saya mencoba untuk berdialog dengan murid-murid lama di sebuah grup WhatsApp. 

Saya periksa, ternyata siswa SMP dan SMA yang pernah saya ajar ini seluruhnya sudah mendapatkan bantuan kuota yang dikirim oleh Kemendikbud pada akhir September kemarin.

Lalu, apakah saya menanyakan bantuan itu cukup atau tidak? Agaknya, jawaban "Alhamdulillah sudah dapat, Pak" sudah cukup untuk menjawab pertanyaan saya. Toh, syukur adalah perwujudan dari kecukupan atas sesuatu, kan?

Baca juga: Proses Panjang Mendapatkan Bantuan Kuota Belajar Kemendikbud

Syahdan, tidak hanya tentang kuota belajar, saya pun menanyakan kepada mereka mengenai aplikasi pembelajaran apa saja yang biasa dipakai oleh guru. Jawabannya?

Selama ini, aplikasi pembelajaran yang sering mereka gunakan adalah Google Classroom, Google Meet, Microsoft Teams, Whatsapp, dan sesekali menggunakan Zoom.

Olahan Tangkapan layar Whatsapp berisikan dialog dengan siswa terkait penggunaan kuota belajar (Dok. Ozy V. Alandika)
Olahan Tangkapan layar Whatsapp berisikan dialog dengan siswa terkait penggunaan kuota belajar (Dok. Ozy V. Alandika)
Bahkan, segelintir murid saya ini pun juga menerangkan bahwa mereka belum pernah menggunakan aplikasi belajar yang disinyalir berbayar seperti Quipper, Zenius, Ruang Guru, Hingga Sekolah.Mu.

Artinya, fakta ini sekaligus membantah ketakutan Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji yang menerangkan kesan bahwa kesan bahwa pemerintah memberikan gimmick agar masyarakat berlangganan aplikasi belajar.

Tentu saja masyarakat lebih memilih aplikasi belajar gratisan, kan? Alhasil, seperti yang saya katakan tadi, hal ini kembali lagi kepada kebijaksanaan pelaku pendidikan.

Guru misalnya. Guru lebih tahu tingkat kemampuan siswa dari berbagai sisi. Tidak tega lah rasanya jika guru mau menggiring siswanya untuk berlangganan aplikasi belajar A, B, C dan Z. Bukannya memudahkan untuk menghabiskan kuota belajar, ini malah bayar dobel.

Tidak hanya sampai di situ, pengalaman belajar yang sempat diutarakan oleh siswa saya tadi (menggunakan aplikasi GCR, Teams, Meet, Whatsapp dan Zoom) rasanya juga sekaligus membantah pernyataan yang digaungkan oleh FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia).

Terang saja, berdasarkan penelusuran FSGI melalui Google Play Store, dari 19 aplikasi yang tersedia pada kuota belajar, setidaknya ada lima aplikasi yang diragukan eksistensi dan kapasitasnya sebagai aplikasi yang akan digunakan di seluruh Indonesia.

Atas dasar ini, FSGI kemudian menuangkan anggapan gagasan bahwa Kemendikbud seakan mengarahkan siswa dan guru untuk memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan pengembang aplikasi.

Tapi, kenyataannya, siswa dan guru tentu saja enggan menggunakan aplikasi belajar yang diragukan eksistensinya sebagaimana yang diungkapkan oleh FSGI tadi. Mengapa kok enggan?

Sederhana saja jawabannya, sudah tahu aplikasi belajar itu kurang populer, guru dan siswa mana yang mau mencobanya. Setidaknya, kalau sudah mencoba aplikasi baru, kita perlu beradaptasi lebih lama, kan?

Baca juga: Apakah Mubazir Kuota Belajar dari Pemerintah?

Meski begitu kenyataannya, tetap saja hal ini bisa menjadi masukan untuk Kemendikbud.

Saya kira, beragamnya pilihan aplikasi belajar online itu bagus untuk memudahkan guru dan siswa. Tapi, kecenderungan akan pilihan aplikasi belajar tertentu pasti ada sehingga lebih bijak kiranya jika Kemendikbud berfokus terhadap kecenderungan tersebut.

Semisal, guru dan siswa sudah terbiasa menggunakan aplikasi belajar A, B, dan C. Daripada mereka harus bersusah payah untuk adaptasi menggunakan aplikasi belajar Z yang belum tahu kadar eksistensinya, lebih baik guru dan siswa tadi memantapkan gaya belajar-mengajar menggunakan aplikasi A, B, dan C saja.

Dengan cara ini, berarti guru maupun siswa telah menghabiskan kuota menuju ke arah peningkatan efektivitas pembelajaran.

Meski demikian, tak hanya guru dan siswa saja yang perlu bijak dalam urusan menghabiskan kuota. Kemendikbud dari jajaran pusat hingga dinas pendidikan daerah juga perlu mengawasi dan mengevaluasi pembelajaran daring secara berkala.

Hal ini penting dilakukan bukan hanya untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran di era pandemi, melainkan juga untuk menutup celah-celah "kuota nyasar" yang mungkin dikhawatirkan oleh banyak orang.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun