Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuota Belajar dan Belajar "Menghabiskan" Kuota

2 Oktober 2020   20:38 Diperbarui: 3 Juni 2021   13:45 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang tua siswa membimbing anaknya belajar daring memanfaatkan jaringan internet gratis di kolong rel kereta api Mangga Besar, Jakarta, Rabu (26/8/2020). Fasilitas internet gratis menggunakan modem WiFi yang disediakan oleh warga setempat yang lebih mampu itu bertujuan untuk membantu kelancaran proses belajar daring siswa yang tidak mampu membeli paket kuota internet selama pandemi COVID-19 (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Selama ini, aplikasi pembelajaran yang sering mereka gunakan adalah Google Classroom, Google Meet, Microsoft Teams, Whatsapp, dan sesekali menggunakan Zoom.

Olahan Tangkapan layar Whatsapp berisikan dialog dengan siswa terkait penggunaan kuota belajar (Dok. Ozy V. Alandika)
Olahan Tangkapan layar Whatsapp berisikan dialog dengan siswa terkait penggunaan kuota belajar (Dok. Ozy V. Alandika)
Bahkan, segelintir murid saya ini pun juga menerangkan bahwa mereka belum pernah menggunakan aplikasi belajar yang disinyalir berbayar seperti Quipper, Zenius, Ruang Guru, Hingga Sekolah.Mu.

Artinya, fakta ini sekaligus membantah ketakutan Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji yang menerangkan kesan bahwa kesan bahwa pemerintah memberikan gimmick agar masyarakat berlangganan aplikasi belajar.

Tentu saja masyarakat lebih memilih aplikasi belajar gratisan, kan? Alhasil, seperti yang saya katakan tadi, hal ini kembali lagi kepada kebijaksanaan pelaku pendidikan.

Guru misalnya. Guru lebih tahu tingkat kemampuan siswa dari berbagai sisi. Tidak tega lah rasanya jika guru mau menggiring siswanya untuk berlangganan aplikasi belajar A, B, C dan Z. Bukannya memudahkan untuk menghabiskan kuota belajar, ini malah bayar dobel.

Tidak hanya sampai di situ, pengalaman belajar yang sempat diutarakan oleh siswa saya tadi (menggunakan aplikasi GCR, Teams, Meet, Whatsapp dan Zoom) rasanya juga sekaligus membantah pernyataan yang digaungkan oleh FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia).

Terang saja, berdasarkan penelusuran FSGI melalui Google Play Store, dari 19 aplikasi yang tersedia pada kuota belajar, setidaknya ada lima aplikasi yang diragukan eksistensi dan kapasitasnya sebagai aplikasi yang akan digunakan di seluruh Indonesia.

Atas dasar ini, FSGI kemudian menuangkan anggapan gagasan bahwa Kemendikbud seakan mengarahkan siswa dan guru untuk memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan pengembang aplikasi.

Tapi, kenyataannya, siswa dan guru tentu saja enggan menggunakan aplikasi belajar yang diragukan eksistensinya sebagaimana yang diungkapkan oleh FSGI tadi. Mengapa kok enggan?

Sederhana saja jawabannya, sudah tahu aplikasi belajar itu kurang populer, guru dan siswa mana yang mau mencobanya. Setidaknya, kalau sudah mencoba aplikasi baru, kita perlu beradaptasi lebih lama, kan?

Baca juga: Apakah Mubazir Kuota Belajar dari Pemerintah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun