Bahkan "pinang dibelah dua" pun masih tampak berbeda, kan? Ya, setidaknya ada ketidakseimbangan ukuran ketika sebuah pinang dibelah. Kalaupun secara ukuran, pinangnya sama-sama besar, belum tentu berat maupun kandungan si pinang memiliki nilai gizi sama.
Seiras dengan pinang, agaknya siswa juga demikian. Dalam proses alias aktivitas belajar, siswa itu adalah seorang insan yang unik. Mengapa dikatakan unik? Karena siswa memiliki berbagai macam karakter yang tak bisa disamakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Setiap siswa memiliki perbedaan dan perbedaan itulah yang menjadi nilai lebih bagi mereka. Tidak terpungkiri memang, sukses atau macetnya aktivitas belajar bergantung pada kebijaksanaan guru dalam memahami bahwa setiap siswa itu berbeda.
Adalah kesalahan bila semua siswa dengan berbagai macam karakternya itu disamaratakan dari sisi penilaian, metode pengajaran, maupun pendekatan. Apalagi jika sandaran kepada siswa itu hanya didasari atas perbedaan fisik. Wah, jahat sekali kiranya. Hemm
Terang saja, penyamarataan antara siswa yang satu dengan siswa lainnya terkadang hanya akan membuat siswa merasa jenuh. Ada siswa yang cepat bosan dengan situasi belajar yang sama, ada siswa yang memang mau diperhatikan secara intens, bahkan ada pula siswa yang uring-uringan.
Dari perbedaan-perbedaan individual tersebut, akhirnya berbeda pula sudut pandang penilaian seorang guru. Dalam artian, guru tak bisa buru-buru menilai bahwa siswa A kurang menguasai materi A karena belum tentu siswa tadi nyaman dengan gaya mengajar sang guru.
Artinya, memahami esensi bahwa setiap siswa berbeda itu sangat penting dalam aktivitas belajar. Esensi bahwa setiap siswa itu berbeda bukan hanya mengarah kepada cara guru menilai siswa, melainkan juga untuk mengembangkan potensi-potensi yang terkandung dalam diri siswa.
Pahami Bahwa Perbedaan Setiap Siswa Menyangkut Seluruh Segi Aspek Kehidupan
Dengan keunikan yang ada, setiap siswa itu berbeda dari berbagai segi aspek kehidupan.
Secara jasmani, ada siswa yang fisiknya terbilang sempurna dan ada pula yang kurang.
Secara agama, ada siswa yang sudah dibina mental spiritualnya sejak kecil, ada pula yang kurang diperhatikan.
Secara intelektual, ada siswa yang cepat menanggapi dan memahami sebuah pengetahuan baru karena IQ-nya cukup superior. Tapi, banyak pula siswa lain yang ber-IQ di atas rata-rata, dan ber-IQ normal (rata-rata).
Secara sosial, ada siswa yang gemar berinteraksi kepada teman sebaya maupun guru secara aktif. Tapi, tidak sedikit pula siswa yang terkesan pasif karena memang jiwa sosialnya lebih "adem" dan mendambakan ketenangan. Ibarat kata, tak banyak ulah.