Jika nanti sudah memasuki masa panen, maka siswa disilakan untuk memilih ke mana jalan masa depan yang ingin mereka tempuh. Ibaratkan tanaman yang berkualitas tinggi, akan banyak agen atau tawaran yang datang. Meningkat kualitas, maka meningkat pula harganya.
Namun, sudah hampir dua bulan ini kisah perjalanan guru seakan berubah drastis. Imbas virus ganas bernama Covid-19, sistem pembelajaran berpindah dari tatap muka langsung di sebidang kelas menjadi tatap muka di media ataupun tatap tugas di rumah.
Ada rasa yang berbeda karena kali ini guru tidak lagi leluasa untuk bercocok tanam. Guru belum bisa lagi sering-sering menatap siswa secara langsung karena semua kegiatan harus dilakukan dari rumah, dan di rumah saja.
Guru Serasa Mengajar di "Lahan Kontrakan"
Di sana guru memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk membentuk karakter serta mencurahkan butir-butir ilmu. Siswa-siswi sebagai tanaman di kelas akan tumbuh berbekal semangat diri dan motivasi langsung dari guru.
Di sana pula guru yang baik akan menerapkan SCL alias Student Centered Learning, sebuah sistem pembelajaran yang berpusat dan dibangun oleh siswa. sistem SCL Akan membuat lahan ajar lebih gembur, dan siswa yang tumbuh di dalamnya bisa makin subur.
Sekarang, lahan ajar itu berpindah ke rumah dan dunia maya. Rasanya mengajar jadi beda karena guru seakan-akan sedang ngontrak lahan.
Terang saja, jika menggelar pembelajaran online maka uang kontrakan berupa pulsa dan kuota. Jika belajar di rumah via TVRI maka guru juga seakan sedang mengontrak televisi.
Apa jadinya jika guru telat bayar uang kontrak lahan ajar?
Apa jadinya jika lahan kontrakan itu tak layak tanam?
Apa jadinya jika keterbatasan menjadikan guru tak punya lahan ajar sama sekali?