Guru harus senantiasa mengikuti sistemnya, karena selain menjadi pelayan publik guru juga pelaksana kebijakan. Seminar, diklat, workshop, serta pelatihan-pelatihan sejenis mereka ikuti. Bahkan guru-guru umur 50tahun ke atas saja masih rela berpusing-pusing ria sebagai peserta seminar. Hal-hal yang tidak tampak seperti ini seharusnya mendapat apresiasi lebih.
Pemerintah Tidak Konsisten?
Perihal wajar kiranya jika pergantian UN dengan Asesmen Kompetensi dikaitkan dengan pemerintah yang tidak konsisten. Terang saja, pergantian seperti ini bukanlah perihal sepele. Bagaimana nasib bimbel UN, lembaga-lembaga bertajuk lulus UN 100%, hingga aplikasi/operator UN? Itu perlu dipikirkan dan jadi bahan pertimbangan.
Selain itu, negeri itu sudah berkali-kali ganti kurikulum hingga menebak penghapusan UN juga akan percuma. Sudah begitu banyak rasanya, mulai dari kurikulum tahun 1947 (Rentjana Pelajaran), 1952, 1964, 1968, 1975, 1984 (CBSA), 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), dan sekarang  kurikulum 2013. Jika nanti tanpa UN, entah apa namanya.
Jika kita ibaratkan sistem permainan dalam sepakbola, pergantian 1 atau 2 pemain saja sudah bisa mengubah jalannya pertandingan secara signifikan. Lah, kalau sudah 10 kali ganti? Berarti uji coba namanya. Hmmm
Uji coba pemain akan wajar kiranya jika pelatih ingin meramu tim berikut dengan kurikulum permainan terbaik yang ia harapkan. Tapi jika sudah berkali-kali ganti masih tetap kalah? Bukan lagi salah pemainnya, melainkan pelatih atau perekrutnya.
Bisa jadi pelatihnya tidak digaji, atau diperlakukan dengan baik oleh manajemen. Bisa pula para pemain tidak seirama dengan pelatih hingganya angin-anginan dalam bermain. Atau, bisa saja perekrutnya yang tidak konsisten untuk ingin menang.
Begitulah kiranya keadaan UN saat ini. Lumrah kiranya jika Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal menilai bahwa pemerintah bersikap tidak konsisten terkait UN. Pemerintah merekrut UN, tapi tidak benar-benar mengakui hasilnya.
Iqbal menambahkan:
Nilai UN termasuk dalam rapor, namun sayangnya rapor itu tidak bisa dipakai untuk melamar ke perguruan tinggi favorit. Memang benar bahwa kebanyakan siswa yang meraih UN tertinggi tingkat nasional sering mendapat beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana dengan mereka yang hasil UN-nya bukan tertinggi?
Nilai UN yang barangkali hanya kalah nol koma sekian dari mereka yang berpredikat UN tertinggi malah menginap di dalam rapor, tanpa bisa dijadikan pertimbangan masuk perguruan tinggi. Artinya sebelah mata, setengah hati, dan tidak konsisten.