Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukannya Guru Benci UN, tapi Pemerintah yang Tidak Konsisten

15 Desember 2019   00:42 Diperbarui: 15 Desember 2019   00:44 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar koran tempo. (Sumber: rukim.id)

Wacana penghapusan UN terus menggeleser. Bumi Indonesia seakan heboh dengan pemberitaan tentang UN, bahkan negara tetangga pun nimbrung berkomentar. Judul tepatnya memang bukan penghapusan UN, melainkan pergantian sistem ujian bernama "Asesmen Kompetensi".

Mas Nadiem pula sudah mengklarifikasikan itu, namun pemberitaan media serta teriakan sana-sini masih tentang penghapusan UN. Apa segitu bencinya dengan UN? Atau segitu berharapnya UN agar dihapus dari orbit pendidikan kita?

Terbaru, Sabtu, 14 Desember 2019 ada sekitar 12.000 guru melakukan aksi apel akbar di Universitas Jember sekaligus menyatakan sepakat dengan penghapusan UN. Apel akbar yang beriringan dengan pelaksanaan peringatan HGN ke-74 itu menganggap bahwa UN adalah beban.

"Saya tangkap dari kepala-kepala sekolah, UN menjadi beban, sekolah takut jelek. Akhirnya guru ditekan, siswa juga ditekan". Begitu pernyataan Supriyono, Ketua PGRI Kabupaten Jember.

Pernyataan ini seirama dengan sebagian besar guru di Indonesia, termasuk juga di grup Facebook Forum Guru Republik Indonesia yang beranggotakan lebih dari 375.000 orang. 

Saya amati berbagai komentarnya, terkuak harapan bahwa guru ingin menuntut hak prerogatifnya dalam menentukan kelulusan siswa agar MGMP, KKG, dan rapat dewan guru di sekolah lebih bermaslahat.

Di lain sisi banyak pula yang mengutarakan kekesalan berlebihan alias kebencian dengan UN. Mulai dari menganggap ada UN atau tidak bukan urusan mereka, menganggap pemberitaan ini bagian dari proyek, cuma ganti baju, hingga kembali menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan.

Belum lagi jika wacana penghapusan UN ini dihubung-hubungkan dengan kualitas guru, agaknya itu meremehkan guru. Realitanya, guru yang memiliki kewenangan untuk meluluskan siswa. Jika guru tidak setuju dengan pelaksanaan UN, berarti ada masalah dengan UN.

Barangkali UN selama ini malah menyusahkan atau menghambat siswa untuk mendapat predikat lulus dari guru. Terang saja, guru yang sebenarnya mencintai siswa yang belajar dengan proses akan berat hati meminta siswa untuk mengganti proses itu dengan hafalan.

Memang tidak terpungkiri bahwa ketika siswa nilainya rendah, siswa tidak lulus, atau bahkan siswa kurang beradab, yang disalahkan adalah guru, kepala sekolah, serta sekolahnya. Jarang terdengar yang salah adalah sistemnya, karena guru yang mengajar dan guru pula yang menjalankan sistem.

Tapi, jika sistem itu memaksa siswa untuk bernilai rendah (orientasi kognitif) bagaimana? Itulah mengapa Mas Nadiem menulis "tugas guru adalah termulia sekaligus tersulit" pada naskah pidato HGN 2019 kemarin.

Guru harus senantiasa mengikuti sistemnya, karena selain menjadi pelayan publik guru juga pelaksana kebijakan. Seminar, diklat, workshop, serta pelatihan-pelatihan sejenis mereka ikuti. Bahkan guru-guru umur 50tahun ke atas saja masih rela berpusing-pusing ria sebagai peserta seminar. Hal-hal yang tidak tampak seperti ini seharusnya mendapat apresiasi lebih.

Pemerintah Tidak Konsisten?

Perihal wajar kiranya jika pergantian UN dengan Asesmen Kompetensi dikaitkan dengan pemerintah yang tidak konsisten. Terang saja, pergantian seperti ini bukanlah perihal sepele. Bagaimana nasib bimbel UN, lembaga-lembaga bertajuk lulus UN 100%, hingga aplikasi/operator UN? Itu perlu dipikirkan dan jadi bahan pertimbangan.

Selain itu, negeri itu sudah berkali-kali ganti kurikulum hingga menebak penghapusan UN juga akan percuma. Sudah begitu banyak rasanya, mulai dari kurikulum tahun 1947 (Rentjana Pelajaran), 1952, 1964, 1968, 1975, 1984 (CBSA), 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), dan sekarang  kurikulum 2013. Jika nanti tanpa UN, entah apa namanya.

Jika kita ibaratkan sistem permainan dalam sepakbola, pergantian 1 atau 2 pemain saja sudah bisa mengubah jalannya pertandingan secara signifikan. Lah, kalau sudah 10 kali ganti? Berarti uji coba namanya. Hmmm

Uji coba pemain akan wajar kiranya jika pelatih ingin meramu tim berikut dengan kurikulum permainan terbaik yang ia harapkan. Tapi jika sudah berkali-kali ganti masih tetap kalah? Bukan lagi salah pemainnya, melainkan pelatih atau perekrutnya.

Bisa jadi pelatihnya tidak digaji, atau diperlakukan dengan baik oleh manajemen. Bisa pula para pemain tidak seirama dengan pelatih hingganya angin-anginan dalam bermain. Atau, bisa saja perekrutnya yang tidak konsisten untuk ingin menang.

Begitulah kiranya keadaan UN saat ini. Lumrah kiranya jika Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal menilai bahwa pemerintah bersikap tidak konsisten terkait UN. Pemerintah merekrut UN, tapi tidak benar-benar mengakui hasilnya.

Iqbal menambahkan:

"Bayangkan kita habiskan uang ratusan miliar untuk ujian nasional, tapi ketika masuk SMNPTN orang harus tes lagi. Artinya Pemerintah sendiri tidak mengakui kualitas hasil ujian yang dibuatnya sendiri."

Nilai UN termasuk dalam rapor, namun sayangnya rapor itu tidak bisa dipakai untuk melamar ke perguruan tinggi favorit. Memang benar bahwa kebanyakan siswa yang meraih UN tertinggi tingkat nasional sering mendapat beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi. Tapi bagaimana dengan mereka yang hasil UN-nya bukan tertinggi?

Nilai UN yang barangkali hanya kalah nol koma sekian dari mereka yang berpredikat UN tertinggi malah menginap di dalam rapor, tanpa bisa dijadikan pertimbangan masuk perguruan tinggi. Artinya sebelah mata, setengah hati, dan tidak konsisten.

Bahagia bagi mereka yang nilai UN-nya tertinggi hingga bisa dapat beasiswa prestasi. Tapi bukankah ini orientasi kognitif belaka? Pendidikan kita semakin tereduksi.

"Pendidikan direduksi menjadi sekolah, sekolah direduksi menjadi UN."

Begitulah kata salah seorang pakar pendidikan Muhammad Zuhdi. Beliau menganggap UN adalah salah satu ukuran keberhasilan pendidikan bagi sekolah dan otoritas pendidikan. Hal itu membuat tenaga sivitas akademika dikerahkan pada pada mata pelajaran yang dievaluasi dalam UN saja sehingga menjadi tereduksi.

Masih banyak mata pelajaran lain yang juga tidak kalah saing dalam menunjang masa depan seorang siswa. Olahraga misalnya, jika ditekuni hingga jadi atlet internasional atau bahkan Menteri Olahraga. Agama misalnya, jika ditekuni, bisa jadi ulama atau Menteri Agama. Begitu pula dengan mata pelajaran lain seperti seni budaya, PKN, maupun muatan lokal.

Jika pemerintah konsisten dengan UN, agaknya pendidikan kita akan lebih mengalir dan lebih bersaing. Siswa akan berlomba untuk fokus dan giat belajar agar dapat nilai UN tertinggi, karena makin tinggi nilai UN makin besar peluang untuk masuk ke perguruan tinggi favorit.

Tapi, sayangnya UN malah menghasilkan siswa pintar menghafal dan bernilai UN tinggi. Afektif? Entahlah. Maknanya siswa belum pintar, hanya tinggi nilai UN-nya saja.

Selanjutnya, UN juga akan menjadi "musuh dalam selimut" bagi kurikulum. Dengan sendirinya, UN dapat menghancurkan kurikulum terutama bagi siswa yang duduk di kelas 6, 9, dan 12. Mereka akan terfokus pada mata pelajaran UN yang semakin membelenggu pikir.

Sebaiknya, pemerintah harus segera fokus dan dapat memberikan pemahaman tentang evaluasi secara lebih luas. Bukan sekadar kognitif, melainkan sikap (spiritial, sosial) dan keterampilan juga dimasukkan dalam penilaian.

Tidak mesti harus menghapus UN, karena sejatinya pemerintah juga butuh evaluasi secara nasional terutama untuk memetakan pendidikan serta mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia.

Konsisten dengan pendidikan jangan setengah-setengah, karena pendidikan adalah investasi masa depan, investasi negeri ini.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun