Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Standardisasi Bahagia, Adakah?

2 Desember 2019   23:36 Diperbarui: 5 Desember 2019   09:22 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebahagiaan. (Sumber: pixabay.com)

Kita sudah bahagia hari ini?

Bisa jadi ada yang sudah, ada yang sedang, ada yang telah, ada yang pura-pura, ada yang terpaksa, dan ada yang sudah terlewat bahagianya. Secara umum, tidak ada standar dan ukuran khusus tentang kebahagiaan karena itu persoalan diri.

Walau demikian, tampaknya beberapa orang lebih memandang bahagia itu dari apa yang tampak dan didapat oleh lain. Tetangga misalnya, punya harta bergelimang, warisan, rumah mewah, punya jabatan, dan banyak anak. Bahagia memang, tapi apakah mungkin kita mau memaksa diri hingga encok tulang ini untuk sama dengan tetangga?

Misalnya lagi tentang pemilik rumah makan yang sedang bahagia. Bagaimana tidak, pengunjungnya ramai, letaknya strategis di keramaian, makanannya enak, pekerjanya banyak, dan anak-anaknya sudah sekolah di perguruan tinggi semua. Bahagia memang, tapi apakah kita harus ikut-ikutan buka rumah makan? Boleh saja sih kalau mau. Hihihi

Dari sini, berarti bahagia tidak tentang orang lain, tidak tentang apa yang dimiliki orang lain lalu kita harus dapat juga, dan tidak tentang apa yang kita lihat terhadap orang lain bukan? Tentu saja.


Begitupun dengan orang lain. Kadang, orang lain menebak kita sedang bahagia karena suatu keberhasilan yang kita dapatkan lebih dulu. 

Tapi kemudian kita bertanya-tanya, apakah orang itu berusaha menguatkan hatinya dan memberikan kita apresiasi, atau hanya dalih dari kekecewaan mereka? Oalah, mengusik dasar penyematan bahagia dari orang lain lagi kan!

Bahagia dan Penderitaan Orang Lain

Bagaimana dengan bahagia di atas penderitaan orang lain?

Kasus 1:

Ada orang yang sangat bahagia ketika bertemu dan bersalaman dengan presiden. Bahkan, kebahagiaan itu bisa bertambah jika presiden mau sedikit meluangkan waktu untuk bercengkramah dengannya.

Kasus 2:

Ada orang yang tampak bahagia ketika didatangi oleh presiden hingga senyumnya melebar dan merona. Namun, setelah presiden bergegas pergi dan menjauh dari rakyat walau cuma 5 meter saja, ia sudah mengumpat ini menghina itu, mencari kesalahan ini dan itu, serta ungkit-ungkit tentang masa lalu yang lebih bahagia.

Dari kasus 1, kebahagiaan itu dekat dengan kekaguman. Mungkin ada kesan yang tertinggal, atau ada jasa-jasa yang membekas. Namun agaknya bahagia seperti ini malah terlalu sederhana. Jika tidak kenal, tidak berjasa, dan tidak kagum, bahagia tidak akan bertamu.

Dari kasus 2, terlihat bahwa kebijakan yang kurang adil akan merenggut sebuah kebahagiaan. Bisa jadi pihak atas bahagia, tapi pihak bawah menderita. Artinya, ada kesalahan tentang cara membahagiakan. Entah itu sudut pandangnya, pengaruh nafsu, atau motif-motif tertentu.

Tapi jika kita sudah mendapatkan bahagia dengan cara-cara yang baik dan benar, harusnya orang lain tidak kecewa dan menderita bukan? Kembali lagi bahwa bahagia ini tentang diri kita.

Lalu, standarnya Apa?

Menilik dari KBBI, maka standar bahagia adalah terbebas dari segala yang menyusahkan. Artinya, untuk mendapatkan kebahagiaan harus ada usaha susah payah. 

Entah itu soal bekerja lembur lalu dapat gaji tambahan, belajar giat untuk lulus tes kerja, ataupun cari perhatian agar tidak diputuskan pacar. Uppss

Setelah kesulitan dan kesusahan ada kebahagiaan, tidak bisa dipungkiri. Walaupun cara untuk menyelesaikan kesulitan itu buruk, tetap ada kebahagiaan. Namun, perspektif kebahagiaan itu jadi jelek dan ternodai dengan keburukan.

Beda dengan KBBI, bagi orang-orang tasawuf standar bahagia adalah makrifat. Artinya, bahagia itu apabila seseorang sudah merasa dirinya dekat dengan Tuhan dan telah mengenal Tuhan. Sungguh metafisika, yang semakin menguatkan paradigma bahwa bahagia itu benar-benar niskala.

Atas dasar ini, bisa saja seseorang yang sudah makrifat menganggap semua kesusahan dalam hidupnya sebagai bentuk kebahagiaan yang benar-benar bahagia. 

Kemudian, dunia ditinggalkan dan ia lebih fokus untuk dekat dengan Tuhan. Hmm, semakin ke sini semakin terang bahwa kebahagiaan itu bukan tentang orang lain.

Sudah dua standardisasi belum ada pembicaraan tentang uang dan kekayaan? Lalu bahagia kita hari ini tentang apa? Apa tentang uang dan kaya? Sejatinya bahagia tidak melulu tentang uang. Upss, tapi sebelum bicara ini kita harus punya uang dulu kan! Hohoho.

Baiklah, sebagai penutup penulis ingin memberikan standardisasi terbaik tentang kebahagiaan. Kita berangkat dari perkataan Nabi:

"Yang namanya kaya (ghina') bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina' adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari dan Muslim) 

Makna tersiratnya adalah buatlah bahagiamu sendiri. Caranya? Senantiasa melembutkan hati dengan syukur atas segala nikmat yang didapatkan. Artinya, standar bahagia itu selalu merasa cukup. Cukup bukan berkisah tentang membatasi usaha diri melainkan menghargai apapun hasil usaha.

Karena sejatinya nikmat dan kebahagiaan setiap orang sudah dicukupkan sesuai dengan kebutuhannya. Lihat saja berapa banyak pedagang buah dipasar. Rasanya sangat banyak deretan penjual buah di sudut-sudut pasar. Hebatnya, mereka saling bersebelahan dalam berjualan.

Jika dari sini kita langsung mengukur kebahagiaan mereka dengan bertanya "bagaimana mereka bisa dapat untung jika jualan bersebelahan, jualan buah semua pula!", maka tidak akan ketemu kebahagiaan itu.

Realitanya, mereka tetap berjualan buah, tetap hidup dan melanjutkan hidupnya, serta tetap mengalir rezekinya. Bahkan, jika ada kejujuran dan berjuta kebaikan maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka. Mulai dari disenangi pembeli, pelanggan tambah banyak, dan penjual buah di sebelah pun ikut bahagia.

Seperti itu pula dengan kebahagiaan-kebahagiaan dari profesi lainnya. Ada tetangga punya mobil dua misalnya, wajar Tuhan berikan kebahagiaan dengan kecukupan seperti itu. Mungkin jika Si tetangga hanya punya mobil satu kerjanya akan terhambat, dan kehidupannya malah terganggu.

Ending-nya, nikmat masing-masing kita sudah tercukupkan oleh Tuhan dan kadarnya berbeda-beda antara orang yang satu dan lainnya. Ingin meminta lebih? Syukuri dulu bahwa ini cukup, kemudian barulah tambahkan ikhtiar.

Dan terakhir lagi, apakah dari berlonggok-longgok kebahagiaan ini kita tetap mau menggapai kebahagiaan hakiki? Cuuuzz, mari berangkat bersama, naik kereta atau jalan kaki tidak masalah. Hehe

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun