Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Memandang Derajat, Awal Mula Peperangan di Ruang Kerja

21 September 2019   15:58 Diperbarui: 21 September 2019   18:29 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merendahkan orang lain karena derajatnya dalam pekerjaan. (iStockphoto and Shannon Henderson)

Setiap orang punya penilaian masing-masing dalam memandang orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Ada dari mereka yang menilai orang lain dari sisi fisik, adapula yang menilai berdasarkan gaya bicara dan mimik wajah. Karenanya sering lahir penilaian "ini ganteng, itu kurang ganteng", "ini sombong, itu ramah", dan lain-lain.

Selain itu, adapula dari mereka yang menilai orang lain berdasarkan derajat atau pangkatnya di dalam ruang kerja maupun masyarakat. Darinya akan lahir pandangan bahwa "ini bos, itu babu", "ini majikan, itu pembantu", "ini PNS, itu Honorer", "ini orang dalam, itu anak kemaren sore", dan sebagainya.

Jika penilaian itu hanya sekadar "ganteng atau kurang ganteng", dan "sombong atau ramah", agaknya bukanlah suatu masalah besar dan fatal di hari kemudian. Orang lain juga bisa memaklumi, karena itu adalah bawaan lahir.

Seperti itu pula dengan gaya bicara atau sikap seseorang. Penilaian yang muncul seringkali karena "Si A suku B sedangkan Si X suku Z", atau "Si A tinggal di pasar, sedangkan Si B tinggal di desa". 

Meskipun ujung-ujungnya berbau sukuisme, namun banyak dari kita yang "sangat bisa" menjaga toleransi dan saling mengerti tanpa ada ketersinggungan dalam hati.

Beda halnya jika kita hanya memandang seseorang dari derajatnya. Memang, tidak terpungkiri bahwa paradigma derajat ini sering muncul dan berlarian beberapa kali di pikiran. Terlebih lagi jika kita sudah punya gelar "pemimpin" dalam suatu instansi atau ruang kerja.

Pikiran itu bisa jadi adalah bentuk kepuasan diri dan penghargaan diri atas kerja keras dan usaha yang selama ini dilakukan. Karena munculnya di dalam hati, kita masih bisa untuk berkali-kali menyingkirkannya dan merendahkan hati.

Hanya saja, tidak semua orang mampu bersikap "rendah hati" atas amanah yang telah di anugerahkan Tuhan kepadanya. Darinya akan muncul sifat sombong dan angkuh, serta memandangan rendah bawahannya.

Lagi-lagi jika ini masih berlarian dalam hati, tak begitu masalah. Yang jadi masalah adalah mereka yang mengakui derajatnya lebih tinggi berbicara secara terang dengan orang lain, sekaligus menganggap orang lain rendah dari sisi pekerjaannya.

Tentu ini adalah bom asap yang dapat membuat mata dan hati para pekerja perih serta tergores. Jika kelamaan berasap, akan ada bahaya yang dapat mengakibatkan perang di ruang kerja.

Perang Umpatan

Uniknya, karena mengusung sikap "profesional", baik yang merasa derajatnya lebih tinggi maupun mereka yang dianggap lebih rendah tidak mau berperang dengan kontak fisik. 

Jika anak SD kan mereka langsung berkelahi seusai pelajaran sekolah. Kalau anak SMP, mungkin mereka sudah siap membawa satu tim untuk tawuran. Huuffh.

Karena baunya "profesional", pimpinan, pekerja tetap, maupun pekerja kontrak hanya menyiapkan amunisi-amunisi fitnah untuk dijadikan senjata perang umpatan. Ada ranjau yang berhiaskan majas hiperbola, dan adapula senapan yang dihias dengan majas ironi.

Perang umpatan ini pula menggunakan taktik gerilya. Di saat pimpinan sedang DL atau berkurung di ruang kerja, mereka mulai berkoar-koar. Terdengarlah oleh pintu ruang kerja itu kata-kata hina, kotor, fitnah, bahkan cacian berkepanjangan.

"Ah, pimpinan ini senang sekali liburan ya? Mentang-mentang sudah sejahtera! "
"Pimpinan kita ini sungguh pelit! Lihatlah, tahun ini kita belum ada makan-makan..."
"Eh, pimpinan kita itu lunak sekali dengan si A ya. Kalau seperti ini bagaimana kita bisa maju, tegas dikitlah!"

Padahal sang pimpinan sedang DL, seminar, atau presentasi proposal kegiatan. Padahal sang pimpinan sedang pontang-panting mencari pinjaman untuk gaji karyawannya, karena saat itu perusahaan sedang krisis. Padahal Si A adalah fresh graduates yang baru bekerja beberapa hari.

Semua yang dilakukan pimpinan dipandang buruk dan tidak bijak, akibat sikap pimpinan yang merendahkan "bawahannya". Hebatnya, jika ada salah satu pekerja yang dekat dan dibanggakan oleh pimpinan, pekerja lain akan berusaha menjadikan pekerja tadi sebagai bahan baku umpatan.

Entah dibilang pimpinannya pilih kasihlah, sok pencitraanlah, sok rajinlah, cari seseranlah! Dan sebagainya.

Selain itu, pandangan "derajat" sering terjadi antara pegawai tetap dengan pegawai kontrak. Karena merasa dirinya sudah bergaji tetap dan bahkan sudah ada tunjangan sampai mati, pegawai tetap dengan seenaknya merendahkan pegawai kontrak.

Ironisnya, para pegawai tetap beberapa kali melimpahkan tugas dan kewajibannya kepada pegawai kontrak secara berlebihan. Pegawai kontrak pun tak berkutik. 

Ya, daripada mereka dipecat. Karena sudah "bebas tugas" tadi, pegawai tetap akan aman. Mereka bisa pulang cepat, bolos, tidur-tiduran di ruang kerja, bahkan bisa telpon teman untuk tanda tangan absen. Huufh

Karena tertimpa tugas yang bukan kewajibannya, sesekali pegawai kontrak pasti pernah berbuat kesalahan. Dan "asemnya", kesalahan itu seringkali dimanfaakan pegawai tetap sebagai bahan perang umpatan dengan sesamanya.

Mulai dari menilai pegawai kontrak itu tidak becus, bekerja sesukanya, serta bekerja tidak ikhlas. Sakitnya, perbuatan baik yang dilakukan oleh pegawai kontrak dianggap salah oleh mereka. Anggapan itu hanya umpatan yang memekakkan, namun tidak terdengar jelas oleh pegawai kontrak. Jika saja terdengar, tentu akan heboh.

Awal Kesusahan Hidup

Umpatan itu sama seperti angin yang berhembus. Layaknya angin, umpatan akan berhembus dari tempat bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. 

Suatu saat, umpatan terhadap pimpinan akan sampai ke meja pimpinan, dan umpatan terhadap pegawai kontrak akan singgah di telinga pegawai kontrak. Lalu, apakah yang terjadi?

Perang akan dimulai, dan karir Anda bisa jadi akan hancur seketika.

Pimpinan yang selama ini diumpat akan turun tangan dan mengkarifikasikan semuanya. Jika umpatan itu benar, maka pimpinan yang bijak akan senang hati meminta maaf dan mmberi kesempatan kepada karyawannya untuk berubah, bahkan sebagian rela mengundurkan diri.

Tapi jika umpatan-umpatan karyawan itu hanya fitnah, menunjukkan sikap tidak suka, bahkan terkesan menghina, maka pimpinan bisa jadi tidak akan segan-segan menghancurkan karir mereka, hingga memecatnya.

Begitu pula dengan sikap pegawai kontrak jika mereka mendengar umpatan-umpatan berlebihan. Sesekali mungkin mereka bisa menahan amarah, namun jika sudah terlalu "sadis caramu", maka mereka akan senantiasa memberanikan diri meminta klarifikasi umpatan tersebut di depan wajah pegawai tetap. Lalu apa yang terjadi?

"Pegawai kontrak akan beradu mulut, bermusuhan, bahkan berkelahi dengan pegawai tetap!"

Semua sikap akan diambil dan sebisa mungkin tidak sampai ke telinga pimpinan. Akan sangat beruntung jika masalah umpatan ini bisa diselesaikan dengan baik-baik. Terutama jika pihak bersalah bisa dengan lapang hati meminta maaf, dan pihak tersalah dengan rela hati memaafkan.

Jika tidak, keesokan harinya suasana ruang kerja akan berkecamuk, tidak lagi kondusif, dan tidak pula nyaman untuk ditempati. Umpatan pula tak akan segera berhenti, dan mirisnya mereka akan masing-masing menjauhkan diri. Jika pun mereka berdekatan di ruang kerja, mereka tidak mau berkomunikasi, berjabat tangan, ataupun sekadar saling lirik.

Keadaan ini sungguh menyedihkan dan menambah kesusahan hidup. Terlebih lagi jika pihak pengumpat membutuhkan bantuan pihak yang kena umpat, maupun sebaliknya. Putusnya komunikasi dan silaturahmi akibat umpatan akan mengecilkan "jarak pandang".

Karena keterbatasan jarak pandang, hal yang sebenarnya baik akan selalu ternilai buruk. Apalagi hal yang buruk, meskipun itu kecil malah akan dibesar-besarkan hingga seluas langit. Padahal kesalahan kecil sejatinya bisa dengan mudah dihapuskan dengan senyum. Tapi, apalah daya jika hati sudah tergores dan tertusuk umpatan.

Bina Sikap Dalam Ruang Kerja

Dalam bekerja, kita harus pandai-pandai bersikap, mengambil sikap, dan memutuskan sikap. Perseteruan di ruang kerja memang kadang kala susah untuk dihindari, tapi itulah kenikmatan dalam bekerja. Terlebih jika sedang menghadapi tekanan tinggi, sontak mulut ini bisa memuntahkan virus dan bakteri ketersinggungan.

Adegan selanjutnya adalah bagaimana kita mengambil sikap. Mau makan hati dengan menelan muntahan virus dan bakteri tadi, atau tetap memakan roti sambil berpaling dari ketersinggungan. Hal ini akan terus terjadi semasa kita bekerja, dan butuh kontrol diri untuk menghadapinya.

Ruang kerja pun tidak mau ada keributan dan ketersinggungan. Apalagi jika isi ruang kerja itu hanya terdiri dari beberapa orang saja. Tentu ruang kerja akan senantiasa berteriak "kenapa di sini sepi ya? Mana temanku? Kenapa tak terlihat lagi tegur sapamu? Kenapa hadirmu yang bersama nyatanya tak ada kebersamaan? " dan sebagainya.

Kita perlu memahami etika dalam bekerja. Baik pimpinan kerja, pegawai tetap, maupun pegawai kontrak sudah punya tugas dan kamplingannya masing-masing. 

Pimpinan, secara formal memang lebih tinggi dibandingkan pegawai tetap maupun kontrak, namun itu hanyalah titipan Tuhan saja, yang bisa diambil dan ditarik kapanpun Tuhan mau.

Maka darinya, pimpinan tetaplah bekerja layaknya teladan bagi para pegawai, bukan malah memanfaatkan pegawai dengan sesuka hatinya. Bukan pula "unjuk-unjuk" diri memamerkan derajatnya dengan menghinakan. Dan bukan pula dengan berjalan angkuh sambil menepis saran.

Pegawai tetap dan kontrak pun demikian. Jangan hanya karena sudah pegawai tetap, bisa bersikap lalai dan memandang rendah orang lain. 

Begitu juga dengan pegawai kontrak. Jangan hanya karena gajinya lebih kecil dari pegawai tetap atau bahkan pimpinan, hingga bekerja asal-asalan bahkan hitung-hitungan.

Jikapun suatu hari ada perseteruan di dalam ruang kerja, cepat-cepatlah selesaikan dengan kepala dingin dan junjung tinggi permusyawaratan. 

Jika ada kesalahan atau sesuatu yang tak enak dipandang mata, janganlah hadirkan umpatan. Cepat-cepatlah sampaikan dengan kata-kata yang baik, berikut dengan solusinya.

Pimpinan tak selamanya jadi pemimpin, dan pegawai kontrak tak selamanya hanya menanti perpanjangan kontrak. Pelan-pelan semua akan berputar dan bertukar. Jika terus berpandang pada derajat, maka akan ada suatu masa di mana derajat itu dipuja saat tinggi dan akan dihinakan saat rendah.

Terang saja, kita tidak akan kenyang jika hanya makan pujian, tapi tetap kita tidak mau melulu kelaparan karena hinaan. Untuk itu, tetaplah jalan bersama-sama menuju kesuksesan dan kebahagian. Sama-sama sukses, sama-sama bahagia, tanpa harus menyakiti rekan kerja.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun