Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa hingga Saat Ini Kita Masih Sulit untuk Memaafkan?

1 September 2019   11:59 Diperbarui: 1 September 2019   12:11 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Menjadi pemaaf sebenarnya cukup mudah, yaitu hanya dengan memaafkan kesalahan orang lain. Namun, semuanya seakan menjadi rumit karena baperan."

Sebagian para pemaaf mungkin berpikir seperti ini:
"Alangkah susahnya sekedar memaafkan saja. Tidak akan mati kita hanya karena meminta maaf! Dia juga kan manusia, dia punya salah dan kita punya salah!"
"Kenapa susah sekali hanya sekedar bilang maaf saja! Tidak akan hina jika dia bilang maaf, walaupun sekedar chat ataupun berjabat tangan!"

Namun, sebagian orang yang susah memaafkan mungkin berpikir seperti ini:
"Ahh, dia itu tidak berpikir betapa susahnya aku berjuang! Enak saja dia datang dan menyudahi semua sakit ini hanya dengan ucapan maaf! Sorry aja!"
"Huuuh, memangnya dengan maaf, semua kerusakan ini bisa diperbaiki? Tidak kan! Mau beribu kali kau ucapkan maaf, aku takkan sudi!"

Karena tak kunjung bisa memaafkan, akhirnya timbul permusuhan "dalam diam".

Mungkin Kesalahannya Terlalu "Besar"

Sesekali, kita rasanya malu dengan anak SD yang ketika mereka berkelahi, menangis karena diejek, atau menangis karena didorong teman hingga masuk ke selokan, keesokan harinya mereka sudah baikan. Terang saja, permasalahan anak SD tidak melulu sederhana, tidak kalah dengan kita orang dewasa. Apakah karena mereka anak SD kurang baper? 

Upps, anak SD lebih baper. Disebut-sebut nama ibunya mereka nangis, dihina warna kulitnya mereka nangis, dihina kurang tinggi mereka nangis, dicuri penanya walau murahan mereka nangis. Tapi hebatnya, mereka tak menaruh dendam. 

Kadang  kala, ketika baru saja mereka sudah berkelahi dan salah satu dari mereka menangis, setelah diminta guru agar saling meminta maaf, mereka malah riang tertawa dan bermain bersama lagi. Lah, kita? 

Jika alasan kita sulit untuk memaafkan adalah karena kesalahan "Si dia" terlalu besar, maka selamanya akan sulit, bahkan selamanya persoalan ini tak akan selesai. Jujur saja, penilaian terhadap besar atau kecilnya sebuah kesalahan itu tidaklah reliabel.

Uniknya, jika penilaian ini berteman dengan "baper", pandangan kita kepada orang yang bersalah akan terus jelek, walaupun sesekali orang yang bersalah itu melakukan kebaikan.

Pandangan bahwa orang yang bersalah itu telah mengusik "zona nyaman" kita, akan terus bertumbuh setiap kali kita melihat orang itu lewat. Akhirnya? Kita terus menghindar. 

Mulai dari tak bertegur sapa, pura-pura tak melirik, hingga tak mau lagi berjabat tangan. Jika terus seperti ini? Tentu saja kita yang semakin sakit hati. Orang yang bersalah bagaimana? Tentu saja ia tetap menjalani hidupnya, meski dan tanpa kita maafkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun