Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beban Si Sulung: Antara Tulang Punggung dan (Terpaksa) Telat Nikah

19 Agustus 2019   21:29 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:03 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Telat Nikah. Gambar dari Pixabay

"Anak Sulung hatinya sekeras aspal, yang tidak akan hancur hanya dengan sekali lindasan tronton. Anak Sulung bahunya sekuat batu gunung, yang di setiap sisinya terselip harapan untuk menjadi pondasi kuat didalam keluarga."

Anda anak sulung? Agaknya tulisan ini sedikitnya akan mewakili kehidupan Anda. Memang tidak semua, dan ini tidak berlaku secara mutlak. Tapi, saya anak sulung, teman saya banyak anak sulung, dan orang-orang di sekitar banyak pula anak sulung. Sehingga, kisah dan keluh mereka dapat mewakili "beban" dan hebatnya anak sulung.

Menjadi Harapan Keluarga

Terlahir sebagai anak sulung bukanlah aib, bukanlah beban, dan bukan pula kehendak kita. Tidak ada alasan untuk berkeluh, karena apapun posisi dalam keluarga kita tetap akan melanjutkan hidup. Dalam diri anak Sulung, terpatri penantian indah dan harapan besar keluarga.

Bagaimana tidak, setelah pasangan menikah mereka akan dihadapi dengan pertanyaan "Sudah ngisi belum, sudah hamil belum?"

Semasa hamil, antusias pasangan begitu besar. Mulai dari serba hati-hati, sibuk cari nama yang bagus, dan keliling sana-sini untuk mendengar pengalaman orang yang lebih dulu makan garam.

Tidak jarang, mereka dihadapkan dengan nasihat berbau mistis dan mitos dari masyarakat. Mulai dari larangan cukur rambut, larangan mencaci, larangan menjahit, larangan bawa gunting, hingga larangan bermain dengan kucing. Alasannya pun beragam, takut anaknya sumbing, cacat, keguguran dini, hingga anaknya susah "keluar". Uniknya, hal ini dipercaya oleh pasangan yang baru nikah.

Bayangkan, sebelum lahir saja sudah begitu besar harapan keluarga terhadap anak pertama. Sehingga agak wajar jika anak pertama dimanjakan. Terserah anak itu mirip ayah atau mirip ibunya, semua keinginan anak pertama akan begitu diperhatikan oleh orang tua. Karena, pandangan yang berkembang bahwa anak pertama adalah bukti berhasil atau tidaknya didikan orang tua.

Jika anak pertama pintar, maka yang dibanggakan di masyarakat adalah orang tuanya. Kita tentu sering mendengar ucapan seperti ini: "Eh si A ini pintar sekali, anak siapa? Ohh, anaknya Ibu Y, pantesan...", "Wah si B imut sekali ya, rapi, bersih, baik, pandai sekali orang tuanya..."

Semakin "hebat" anak pertama, semakin tinggi pula pujian terhadap orang tuanya. Begitupun sebaliknya.

Kita pula sesekali sering mendengar ucapan Emak-Emak yang belanja sayuran seperti ini: "Ehh, si A nakal sekali ya, masa tadi melempar batu ke atap rumah saya! Anak siapa sih itu?.................Ohh, anak si Z, wajar saja, si Z nya kan dari awal juga gak beres!"

Ujung-ujungnya orang tua yang dihinakan.

Anak Sulung Tumpuan Sukses Adik-adiknya

Kenapa orang tua susah-susah mendidik anak pertama? Ya, ini adalah salah satu alasannya. Di samping untuk meneruskan usaha dan cita-cita keluarga, anak sulung diharapkan dapat menjadi tumpuan bagi kesuksesan adik-adiknya. Pikiran orang tua cukup sederhana. Kalau saja anak sulung tidak sekolah, amburadul, tidak punya pekerjaan, bahkan berjiwa premanisme bagaimana nanti adik-adiknya akan baik?

Tapi, kalau anak sulung adalah sosok yang baik, sayang orang tua, cerdas, mau bekerja, bahkan pintar? Maka akan menjadi motivasi dan sandaran yang baik bagi adik-adik mereka. Orang tua mungkin bukanlah sarjana, tapi mereka ingin anak-anak mereka jadi sarjana. Begitu pun dengan anak sulung. Anak sulung mungkin hanya sanggup sampai jenjang S1, tapi mereka ingin adik-adiknya lebih dari itu.

Orang tua mungkin kerjanya kasar, selalu kepanasan, dan selalu kehujanan, tapi darah "pejabat" akan dialirkan kepada anak-anak mereka agar mendapat pekerjaan yang lebih baik. Begitu pun dengan anak sulung. Anak sulung mungkin hanya sanggup bekerja sebagai karyawan biasa, tapi mereka yang baik ingin adik-adiknya bisa menjadi direktur, bos, bahkan lebih.

Menjadi Tulang Punggung

Karena ingin adik-adiknya mendapat kesempatan kerja dan hidup lebih baik, anak sulung tak segan menunda bahkan mengorbankan cita-citanya. Banyak teman-teman di dekat kita, ataupun kita sendiri yang rela tidak kuliah asal adik kita bisa kuliah. Rela bekerja siang malam bahkan lembur agar adik kita bisa kuliah ditempat yang ia inginkan. Anak sulung seakan telah menjadi tulang punggung adik-adiknya.

Jika adik-adiknya sudah nyaman dengan pendidikannya, maka tujuan anak sulung selanjutnya adalah menyenangkan orang tuanya. Terang saja, ini adalah bentuk pengabdian dan bakti seorang anak, dan kesempatan terbaik adalah saat anak belum menikah. Kapan lagi seorang anak bisa memberikan sesuatu yang membahagiakan kalau tidak sekarang?

Ini adalah pesan-pesan para tetua. Kalau sudah menikah, laki-laki akan lebih perhatian kepada istrinya dan lebih sibuk dengan keluarga kecilnya. Orang tua? Ya, paling hanya sesekali. Jika pun ingin memberikan "uang jajan" itupun harus bagi rata dengan mertua, jika berat sebelah bisa-bisa jadi keributan.

Perempuan juga seperti itu. Walau ia anak sulung, tapi jika telah menikah maka telah terikat oleh suami. Orangtua? Suami dulu yang dibaktikan, barulah orang tua setelah itu. Sehingga, kesempatan untuk berbakti kepada orang tua atau sekedar untuk memberikan "uang jajan" bergantung pada persetujuan suami. Maka darinya, kesempatan terbaik adalah saat kita belum menikah.

Mulai dari kesenangan sederhana. Jika rumah belum di-cat, maka mulai menabung beli cat. Jika belum ada kulkas beli kulkas, mesin cuci, hingga kipas angin dan baju baru di hari raya. Begitupun dengan adik-adiknya. Jika belum ada tas baru, beli tas, belikan laptop, buku-buku pelajaran, printer, hingga motor. 

Bagaimana jika anak sulung belum bekerja? Tentunya ada kepanikan yang sangat besar karena harapan untuk menyenangkan orangtua alias menjadi tulang punggung menjadi "macet".

Anak Sulung dan Fenomena Telat Nikah

Keinginan yang kuat untuk menyenangkan orang tua dan adik-adik membuat banyak anak Sulung "menunda" pernikahan. Memang tidak semua, dan memang urusan takdir menikah hakikatnya tak bisa ditunda. Perihal ini kembali lagi kepada niat kita dan takdir Tuhan. Realitas yang ada di dekat saya adalah banyak anak sulung yang telat menikah jika dilihat dari sisi umur.

Laki-laki ada yang sudah berumur 28, 30, 32, bahkan 37 tahun tapi belum menikah. Perempuan, dari mulai umur 27 hingga 35 tahun pun belum menikah. Hebatnya mereka terus bekerja, berkarya, dan selalu memberikan "uang jajan" kepada orang tua dan adik-adik mereka.

Sesekali saya tanya kenapa belum menikah, alasannya karena ingin menabung, ingin bayar SPP kuliah adik-adiknya, dan alasan yang tidak ketinggalan adalah karena jodoh belum tiba, alias masih terasingkan.

Terkait dengan persoalan menikah, beberapa dari mereka, termasuk saya cenderung mempertimbangkan aspek finansial daripada kesiapan mental.

Lagi-lagi ini dilematis. Biaya nikah memang tidaklah mahal, bahkan gratis. Modalnya hanya mahar "terbaik" saja. Tapi sayangnya itu bukanlah beban. Pikiran dan masalah utamanya adalah "gengsi" dan "kebiasaan" di masyarakat. Di desa A misalnya, rata-rata standar "uang jajan" untuk keluarga calon istri 30-40 juta. 

Standar ini bisa naik hingga 3 kali lipat tergantung dengan gelar akademik yang ada di belakang nama si Perempuan. Makin tinggi strata makin tinggi pula "uang jajan". Bayangkan saja jika gelar si perempuan sudah S3. Woww makin hot biayanya. Mirisnya, beberapa orang tua seakan egois dan "kekeh" dengan standar itu.

Alasan orang tua sebenarnya jelas dan logis, yaitu mengikuti adat dan kebiasaan di masyarakat. Kita bisa-bisa saja menikah dengan cara sederhana, tapi orang tua akan bilang, "Kalian enak! Kami yang malu di masyarakat!"

Orangtua akan dibilang sok irit dan bahkan pelit. Padahal lagi-lagi ini bukanlah rukun nikah.

Fenomena ini agaknya menjadi beban bagi anak sulung. Ya, mereka yang sebelumnya sudah menunda nikah demi menyenangkan orang tua dan adik-adiknya, sekarang seakan dipaksa untuk "telat" nikah. Khawatirnya, makin lama menikah akan makin banyak pertimbangan.

Sungguh, gengsi dan kebiasaan masyarakat jangan sampai menambah beban anak sulung untuk menyempurnakan agamanya.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun