Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Adat Melaot Aceh Ditinjau dari Perspektif Psikologi

28 Desember 2018   01:53 Diperbarui: 28 Desember 2018   02:17 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Laut Aceh sangat strategis, berada pada posisi antara 2-6 derajat LU dan 95-98 derajat BT. Letaknya strategis pada jalur pelayaran dan penerbangan internasional. Posisi strategis ini pula, ,menguntungkan, dilihat dari letak geografis yang berbatasan: a) Sebelah Utara dengan Selat Malaka; b) Sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara; c) Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia; dan d) Sebelah Timur dengan Selat Malaka.

Penduduk Aceh menyebut laut dengan kata "Laot" atau terkadang disebut juga dengan "pasi" termasuk didalamnya pesisir pantai dan kuala yang disebut "lhok" yang dapat digunakan oleh para nelayan untuk kegiatan menangkap ikan. 

Sumber data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebutkan bahwa potensi kelautan dan perikanan Aceh memiliki kawasan laut dengan panjang garis pantai 1.660 km, dengan luas perairan laut 295.370 km terdiri dari perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas 56.563 km dan zona ekonomi eksklusif seluas 238.807 km (Daud, 2014).

Salah satu adat atau tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh yaitu mengadakan Kenduri Laot. Kenduri itu sendiri merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Selamatan atau Kenduren (sebutan kenduri bagi masyarakat jawa) telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke Nusantara.

 Dalam praktik nya, kenduri merupakan sebuah acara berkumpul, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala sesuatu yang dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang sekitar untuk datang yang dipimpin oleh orang yang dituakan atau orang yang memiliki keahlian dibidang tersebut. 

Pada zaman sekarang, kenduri masih banyak dilakukan oleh segala lingkup masyarakat baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Karena kenduri merupakan sebuah mekanisme sosial untuk merawat keutuhan, dengan cara untuk memulihkan keretakan, dan meneguhkan kembali cita-cita bersama, sekaligus melakukan kontrol sosial atas penyimpangan dari cita-cita bersama. 

Kenduri sebagai suatu institusi sosial menampung dan merepresentasikan banyak kepentingan. Kenduri yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir yaitu Kenduri Laot yang dilakukan pada saat penangkapan ikan terpaksa dihentikan disebabkan karena cuaca buruk, yakni perubahan musim timur ke musim barat. 

Waktu inilah yang dimanfaatkan oleh Nelayan di pesisir utara dan timur Aceh, misalnya daerah pantai Ulee Lheu di bagi dua untuk para Nelayan pukat, yang satu mengadakan Kenduri dalam keunong 17 yaitu pada awal musim Barat (kira-kira bulan April), sedangkan yang lain dalam keunong 5 yaitu pada awal musim Timur (kira-kira bulan September). 

"Keunong" merupakan penamaan musim di Aceh. Musim-musim di Aceh ditentukan kala dan bulan di langit. Pertemuan seperti itu mereka namakan "Keunong" (Kena), yakni mengenai/ menyentuh, dan mereka menemukan semacam pedoman dalam jumlah hari yang selalu memisahkan bulan baru dari keunong berikutnya, atau dengan kata lain oleh sebab bulan Islam mulai dengan bulan baru, dalam urutan hari terjadinya keunong. 

Perhitungan berdasarkan anggapan bahwa bintang paling terang dari gugusan kala adalah yang khusus dipilih untuk pengamatan, sehingga pertemuan yang kebetulan antara bintang dengan bulan tersebut dianggap sebagai keunong. 

Hari kenduri ditetapkan oleh Panglima Laot Lhok dengan mengundang semua penduduk lhok dan para pawang beserta awak pukat, Ulee balang, orang tua gampong (Keuchik, Teungku) dan dari mukim.

Pelaksanaan kenduri laot sekarang dilakukan secara besar besaran dengan menggabungkan semua lhok atau kecamatan yang ada dalam satu Kabupaten dengan dihadiri oleh masyarakat, pejabat sipil dan militer. 

Tahapan pelaksanaan kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan, dalam tahap ini dipersiapkan antara lain hidangan makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu dan juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. 

Hidangan mewahpun digelar menurut ukuran adat Aceh. Hal ini dapat dilihat dari kenyataannya, bahwa selalu disembelih seekor kerbau atau lebih. Selain itu, juga dipersiapkan perlengkapan peusijuek sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut hidangan yang akan dibawa ke laut. 

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya, upacara kenduri laot memiliki perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual di dalamnya, namun pada intinya mereka melakukan hal yang sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah shalat subuh selesai dilakukan. 

Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarus yang membaca ayat suci Al-Qur'an. Setelah itu, panglima laot mulai memandikan kerbau yang akan disembelih, setelah selesai dimandikan kerbau tersebut di- peusijuek oleh panglima laot yang diikuti oleh Teungku/ imum dan tokoh masyarakat.  

Pada dasarnya penyelenggaraan kenduri laot bertujuan untuk keselamatan para Nelayan dalam melakukan pekerjaannya dan juga merupakan bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan Rahmat-Nya. 

Pada upacara tersebut diadakan jamuan bersama dan pembacaan doa menurut agama Islam. Terdapat suatu hal yang unik dapat dilihat pada pelaksanaan kenduri laot dimana kepala kerbau isi dalam dan tulang belulang dibungkus dengan kulit kerbau sembelihan kemudian dibawa dengan perahu dengan bendera berwarna merah yang kemudian ditenggelamkan ke laut dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pantai. 

Setelah bungkusan kulit kerbau yang isinya tulang belulang dan isi dalam kerbau yang disembelih tersebut tenggelam, maka bendera merah akan diganti dengan bendera warna putih yang sekaligus bertujuan untuk  mengisyaratkan para undangan di darat bahwa mereka  sudah dapat mulai menyantap hidangan yang disediakan. 

Sebelum mulai memakan hidangan yang telah disediakan, akan didahului oleh like (Dzikir), membacakan seulaweut nabi atau khatam ayat-ayat suci Al-Quran oleh para Teungku atau leube yang hadir (Daud, 2014).


Kegiatan kenduri laot ini sering dianggap sebagai pemberian sesajen kepada penghuni laut yang pada umumnya dikaitkan dengan pengaruh agama Hindu. Namun pada hakikatnya para nelayan memiliki kepercayaan bahwa bungkusan tulang belulang akan menjadi rumah ikan. 

Selama tujuh hari setelah kenduri, disekitar tulang belulang yang ditenggelamkan siapapun tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan karena lokasi tersebut merupakan tempat untuk ikan-ikan bermain di lhok, bertelur dan menetaskan telurnya (Daud, 2014).

Di sisi lain, sebelum kerbau disembelih, baik dimasa lalu maupun masa kini kerbau yang akan disembelih akan dihias dengan kain putih dan diarak sekitar pantai sehingga menarik perhatian masyarakat setempat untuk meramaikan acara dan menjadi hiburan bagi keluarga Nelayan. 

Terungkaplah fakta bahwa kenduri laot bukanlah memberi tumbal kepada jin lau melainkan memberi makan ikan sebagai wujud syukur atas rezeki sekaligus memanfaatkan kesempatan untuk berkreasi setelah sekian lama bekerja keras. 

Kekeliruan pemahaman tentang kenduri laot pada dasarnya disebabkan faktor terputusnya komunikasi antara pencetus ide kenduri laot  dengan masyarakat, terlebih lagi dengan Nelayan dalam waktu yang cukup lama. Sehingga masyarakat menjadi lupa dan tidak tahu kenapa mereka harus berbuat demikian (Daud, 2014).

Kenduri laot biasanya dilakukan untuk mempererat silaturrahmi dan meningkatkkan kekompakan antar nelayan. Silarutahmi termasuk dalam interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan 

interpersonal yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan menggunakan tindakan verbal maupun non-verbal. Interaksi sosial menjadi faktor utama dan terpenting didalam hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi, sehingga interaksi sosial merupakan kunci utama dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tidak akan  mungkin ada kehidupan bersama (Soekanto, 1990). 

Interaksi sosial merupakan hal yang sangat mendasar didalam kehidupan manusia (Sears, 1991). Interaksi sosial terjadi karena manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya bukan hanya untuk mempertahankan hidupnya, melainkan juga untuk melakukan kegiatan lainnya karena pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang senantiasa hidup dalam lingkup masyarakat baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis yang di dalamnya saling mengadakan hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu lainnya. 

Pelaksanaan kenduri laot ini, masyarakat juga dapat memperarat interaksi sosial melalui kegiatan berkumpul bersama, melaksanakan ritual penenggelaman kepala kerbau bersama dan diakhiri dengan menyantap makanan yang telah disediakan bersama. 

Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial yang dilakukan masyarakat desa untuk mempererat tali silaturrahmi antar sesama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Soekanto (2012), bahwa salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kerja sama yang berarti suatu uasaha bersama antara perorangan atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan.

Lantunan like (Dzikir), membacakan seulaweut nabi atau khatam ayat-ayat suci Al-Quran oleh para Teungku atau leube yang hadir merupakan salah satu bentuk religiusitas masyarakat. Yusuf (2004) menjelaskan pada dasarnya manusia adalah makhluk beragama (homoreligius). 

Homoreligius adalah makhluk yang memiliki rasa keagamaan dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai--nilai religi, baik yang bersifat ritual personal maupun ibadah sosial, seperti menjalin hubungan antara manusia dan lingkungan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat. 

Glock dan Stark (1966) menyatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah komitmen beragama, yang dijadikan sebagai kebenaran beragama, apa yang dilakukan seseorang sebagai bagian dari kepercayaan, bagaimana emosi atau pengalaman yang disadari seseorang tercakup dalam agamanya, dan bagaimana seseorang hidup dan terpengaruh berdasarkan agama yang dianutnya. Salah satu dimensi religiusitas adalah dimensi keyakinan. 

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Masyarakat Aceh meyakini bahwa sebelum melakukan segala sesuatu harus diawali dengan doa yang bertujuan agar kegiatan yang dilakukan mendapatkan berkah dari Allah SWT.

Secara spiritual, rasa syukur adalah pengingat manusia akan penciptanya, Allah SWT, yang memberikan segala bentuk nikmat dan karunianya pada hamba-Nya. Kebersyukuran adalah perasaan ketakjuban dan apresiasi terhadap nikmat yang didapat walau nikmat yang dirasa hanya sedikit, dengan cara memperlihatkan pengaruh nikmat Ilahi pada diri seorang hamba. 

Caranya yaitu kalbunya memaknai dengan beriman kepada Allah, lisannya memuji dan menyanjung Allah, serta menggunakan anggota tubuhnya dengan mengerjakan amal ibadah sebagai ungkapan terima kasih pada Allah SWT. Menurut syara', syukur dibangun oleh tiga rukun yaitu hati, lisan, dan perbuatan (Munajjid, 2002; Abdullah, 2007; Makhdlori, 2007). 

Syukur dengan anggota badan (perbuatan) Menurut sebagian ulama pengertian syukur dengan anggota badan berarti senantiasa melaksanakan ketaatan dan berusaha menghindari kesalahan. Syukur melalui perbuatan biasanya berbentuk gerak dan perbuatan melalui kerja dan usaha. Intinya memfungsikan semua komponen tubuh untuk melakukan segala aktifitas yang bernilai ibadah pada Allah.

Bersyukur didefinisikan sebagai rasa berterima kasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik penerimaan tersebut merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain ataupun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alamiah (Seligman & Peterson, 2005). 

Al-Jauziyyah (2004) menjelaskan bahwa dasar syukur adalah kebenaran tekad, oleh karena seorang hamba diperintah untuk mewujudkan kebenaran tersebut kedalam dirinya dan orang lain, yang mana hal tersebut tidak lain sebagai hakikat makna syukur. Emmons dan McCullough (2003) menunjukkan bahwa bersyukur memiliki keuntungan secara emosi dan interpersonal. 

Hal tersebut disebabkan perasaan syukur dapat menimbulkan emosi yang positif seperti ketenangan batin, hubungan interpersonal yang lebih nyaman, dan kebahagiaan. Lebih lanjut di jelaskan bahwa dengan bersyukur individu mampu menerima dengan ikhlas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya. 

Khanduri laot juga berkaitan dengan salah satu variabel psikologi yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial mengacu pada berbagai sumber daya yang disediakan oleh hubungan  antar pribadi seseorang. 

Bentuk dukungan sosial yang terlihat pada khanduri laot seperti tangiable support, yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas. 

Hal ini karena pada khanduri laot seluruh masyarakat ikut membantu dalam proses penyelenggaraan acara tersebut, baik bantuan secara fisik maupun tindakan. Bantuk dukungan sosial lainnya adalah belonging support yang menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa kebersamaan (Cohen & Hoberman, 1985).

Dalam konteks Kenduri Laot, masyarakat mengadakan acara tersebut sebagai suatu bentuk kebersyukuran atas nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah atas rezeki yang telah mereka peroleh untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat daerah pesisir. 

Hal ini sesuai dengan teori Seligman bahwa bersyukur didefinisikan sebagai rasa berterima kasih dan bahagia sebagai respon penerimaan karunia, baik penerimaan tersebut merupakan keuntungan yang terlihat dari orang lain ataupun momen kedamaian yang ditimbulkan oleh keindahan alamiah (Seligman & Peterson, 2005). 

Dari perspektif psikologi, kenduri laot merupakan sebuah adat yang mana kegiatan-kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan teori-teori psikologi, diantaranya; religiusitas, interaksi sosial, dukungan sosial dan kebersyukuran.

REFERENSI
Abdullah, M. A dkk. (2014). Aceh: Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan. Pusat Studi Hukum Adat Laut dan Kebijakan Perikanan: Banda Aceh.
Cohen, S., & Hoberman, H. (1983). Positive events and social supports as buffers of life change stress. Journal of Applied Social Psychology, 13, 99-125.
Daus, S. (2014). Adat Meulaot (Adat Menangkap Ikan di Laut). Majelis Adat Aceh: Banda Aceh.
Fatnar, V. N & Anam, C. (2014). Kemampuan interaksi sosial antara remaja yang tinggal di pondok pesantren dengan yang tinggal bersama keluarga. Vol 2 (2), hal 71-75.
Gumilar, F. U & Uyun, Q. (2009). Kebersyukuran dan kebermaknaan hidup pada mahasiswa. Vol 14 (1), hal 65-70.
Nadzir, A. I & Wulandari, N. W. (2013). Hubungan religiusitas dengan penyesuaian diri siswa pondok pesantren. Vol 8 (2), hal 698-707.
Pontoh, Z & Farid, M. (2015). Hubungan  antara religiusitas dan dukungan sosial dengan kebahagiaan pelaku konversi agama. Vol 4 (1), hal 100-110.
Rahmanita, A., Uyun, Q & Sulistyarini, R. I. (2016). Efektivitas pelatihan kebersyukuran untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif pada penderita hipertensi. Vol 8 (2), hal 165-184.
Widodo, A. S. & Pratitis, N. T. (2013). Harga diri dan interaksi sosial ditinjau dari status sosial ekonomi orang tua. Vol 2 (2), hal 131-138.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun