Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilgub Jatim 2018, Khofifah Sarat Prestasi, Gus Ipul Hanya Menang Kumis

18 Februari 2018   19:24 Diperbarui: 22 Februari 2018   14:36 2757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khofifah dan Gus Ipul (foto milik rakyat independen dot com)

Saya tertawa terbahak saat Saifullah Yusuf (Gus Ipul) diberitakan dua kali kesasar saat kampanye di hari pertamanya. Gus Ipul adalah Wakil Gubernur Jatim yang diputuskan KPU sebagai peserta Pilkada Jatim 2018 untuk Gubernur Jatim Periode 2019 -- 2024.

Menurut saya, itu  pertanda bahwa Gus Ipul  adalah orang sembrono dan lebih jauh lagi ternyata ia tak tahu wilayahnya sendiri padahal ia 10 tahun menjabat sebagai Wakil Gubernur. Katanya Gus Ipul suka "blusukan" ternyata bisa salah jalan. Lalu, apa artinya blusukan yang pernah ia lakukan?  Hal yang sepele saja ia tak mampu mengerjakannya dengan benar, apatah jadinya bila memimpin propinsi yang berpenduduk hampir 40 juta jiwa (sensus 2017 Penduduk Jatim 39.292.972 jiwa)?

Dua kesalahan yang sepele yang beruntun. Gus Ipul dan krunya pun menertawakan kebodohan mereka sendiri. Setidaknya itu yang terlihat dalam pemberitaan di tempo.co tertanggal 13 Februari 2018. 

Sebenarnya, saya lebih menginginkan  Risma --panggilan untuk Tri Rismaharini untuk mengisi jabatan Gubernur Jatim setelah Pakde Karwo habis masa jabatannya pada 12 Februari 2019 yang akan datang. Risma lebih pantas menduduki posisi Gubernur Jatim dari calon siapapun saat ini. Risma bakalan tak terhadang bila "nyagub". Prestasinya tak ada satupun yang meragukan, ketegasannya dalam memimipin tidak ada satupun yang menyangsikan. Namun, Risma keukeuh betah tak mau melepaskan jabatan walikota yang sedang disandangnya dan lebih suka mengurusi jantung ibukota Propinsi Jatim: Kota Surabaya. Warga kota Surabaya keberatan jika Risma melepaskan jabatan walikota Surabaya. Bisa dibilang Warga Kota Surabaya dan Risma, cintanya satu sama lain sulit dipisahkan.Rayuan siapapun tak mempan meluluhkan hati baja Risma. Risma milik warga kota Surabaya.

Praktis ketidakikutsertaan Risma dalam Pilkada Jatim 2018 memperbesar peluang calon-calon lain untuk memenangkan kontestasi pilihan Gubernur Jatim periode 2019-2024. Sebagaimana kita ketahui, Pilkada Jatim 2018 diikuti dua pasangan calon, yakni Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak, dan Saifullah Yusuf-Puti Soekarno. 

Pasangan Khofifah-Emil didukung koalisi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, Hanura dan NasDem dengan total 42 kursi. Sementara, Gus Ipul-Puti didukung PKB, PDI Perjuangsan, PKS serta Gerindra dengan total 58 kursi.


Tak dapat Risma, Khofifah pun jadi. Begitu pikir saya. Setelah Risma yang saya inginkan tak bisa menjabat sebagai Gubernur Jatim terwujud, saya lebih menginginkan Khofifah Indar Parawansa (Khofifah).

Kenapa saya tak tertarik mendukung Gus Ipul? Bukankah ia sudah berpengalaman 10 tahun menjabat sebagai Wakil Gubernur Jatim sejak tahun 2009? Bukankah ia pernah menjabat sebagai menteri selama hampir 3 tiga tahun di Kabinet Indonesia Baru (2004-2007) saat Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Tak terdengar ada prestasi yang patut dicatat oleh Gus Ipul selama ia menjadi wakil Gubernur. Tak ada gebrakan, teroboson atau apalah namanya. Ia hanya tersenyum manis mengikuti protokoler pemerintahan yang ada. Dan itu berlangsung selama 10 tahun..!!

Saya mengingatkan diri saya sendiri bahwa dalam mendukung calon pemimpin dalam tingkat manapun, saya lebih memilih pada orang yang mempunyai prestasi dan pengalaman yang lebih mumpuni dan matang dibanding yang lain, selain tak perduli partai politik mana yang mengusung dan mendukungnya.

Saya lebih fokus pada rekam jejaknya. Dari rekam jejak bisa terbaca dan menunjukkan performance-nya dalam memimpin, tak hanya itu rekam jejak seseorang akan menunjukkan kemampuannya dalam memberikan  kesejahteraan yang lebih baik pada warganya, memecahkan masalah, melakukan terobosan-terobosan positif, ketahanan dia dalam tekanan pekerjaan, dan yang lebih penting adalah seorang pemimpin BUKAN wujuduhu ka adamihi,  dan lain-lain.

Dari berbagai informasi yang bertebaran di web dapat dibandingkan pengalaman dan prestasi keduanya, semisal yang paling sederhana wikipedia tentang Khofifah dan Gus Ipul.

Khofifah dan Gus Ipul keduanya adalah putra daerah, keduanya lahir di Jawa Timur. Juga, mereka belajar di fakultas yang sama yaitu Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, namun berbeda kampus, Khofifah alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, sementara Gus Ipul dari Universitas Nasional, Jakarta.  

Selanjutnya Khofifah mendapatkan gelar master di bidang ilmu sosial dari di Universitas Indonesia.  Dilihat dari tingkat pendidikannya Khofifah lebih tinggi dari Gus Ipul.

Walaupun lebih muda setahun, Khofifah lebih dulu aktif di percaturan politik nasional dibanding Gus Ipul. Pada 1992-1997, saat berumur 27 tahun Khofifah sudah menjadi Pimpinan Fraksi PPP DPR RI, sementara itu Gus Ipul aktif "hanya" menjadi Ketua GP Ansor pada 1999 saat ia berusia 35 tahun. Ia menduduki jabatan itu selama dua periode dalam rentang 10 tahun. Tak ada jabatan lain saat Gus Ipul dalam posisi itu, ia tak dilirik sama sekali oleh Pemerintah ataupun institusi lain untuk menjabat suatu posisi tertentu.

Berbeda dengan Gus Ipul, dinamika pengalaman Khofifah dalam rentang "stagnan"nya posisi Gus Ipul tersebut terus berubah ke arah yang lebih mematangkan Khofifah baik sebagai politisi maupun pejabat Pemerintah di pentas nasional.

Khofifah  tercatat sebagai politisi Senayan yang aktif sejak 1995-1999. Ia dipercaya sebagai pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997), anggota Komisi II DPR RI (1997-1998), Wakil Ketua DPR RI (1999), Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999),

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid memilihnya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001) sekaligus sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001).

Tak dilirik oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tak menyebabkan Khofifah berkecil hati. Ia tetap dipercaya danaktif dalam organisasi NU. Ia dipilih sebagai  Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) (2000-2005).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun memilihnya sebagai salah satu Ketua PKB (1998-2002), anggota Dewan Pertimbangan DPP PKB (2000-2002), anggota Dewan Syuro DPP PKB (2000-2002), dan Wakil Sekretaris Dewan Syuro PKB (2002-2007). Kemudian Khofifah kembali ke Senayan sebagai  ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006), Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004-2006), Anggota Komisi VII DPR RI (2006).

Selain itu, Khofifah juga aktif di berbagai forum bertaraf internasional. Dimana pengalaman-pengalaman itu tak dimiliki oleh Gus Ipul.

Khofifah banyak menoreh prestasi dan dipercaya sebagai ketua delegasi Pemerintah Indonesia di beberapa negara seperti menjadi Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam "Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Convention on The Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women" di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, 28 Febuari 2000.

Juga, Khofifah tercatat pernah menjadi narasumber di sejumlah forum internasional bergengsi seperti Menjadi narasumber utama pada Commission on the Advancement of Women, Commission on the Status of Women, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 1-2 Maret 2006, dan lain sebagainya

Soal penghargaan, Gus Ipul tertinggal jauh. Ia tercatat hanya sekali mendapatkan penghargaan yaitu Lencana Melati Pramuka, sementara Khofifah lebih dari apa yang dicapai oleh Gus Ipul yakni tahun 2011 didapuk sebagai tokoh penggerak masyarakat oleh Islamic Fair of Indonesia. Juga pernah mendapat penghargaan dari Menteri Kehutanan atas kontribusinya menggerakan warga Muslimat NU menanam pohon. Sebagai inisiator Koperasi An-Nisaa, Khofifah juga berhasil mendapatkan penghargaan dari Menteri Koperasi dan UKM, yakni pada tahun 2008 dan 2013, atas komitmennya keliling propinsi mengajak perempuan/Muslimat NU agar segera membangun koperasi.

Terakhir, Bloomberg menyebut Khofifah sebagai salah satu wanita yang paling berpengaruh dalam Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam keterangan tertulisnya, Bloomberg menganggap Khofifah sebagai simbol kesuksesan perempuan di kancah politik nasional. Lebih lanjut silakan baca "World's Biggest Muslim Country Puts More Women Into Senior Roles". Khofifah saat menjabat sebagai Menteri Sosial di Kabinet Kerja itu dinilai berperan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial di Indonesia. 

Secara rasional Khofifah lebih pantas didukung untuk menjabat sebagai Gubernur Jatim periode 2019 -- 2024. Insya Allah.

-------mw-------

Ditayangkan dengan judul yang sama di penatajam.com

Sumber Bacaan (1) dan (2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun