Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menggendong Tangis: Tanggungjawab Sosial Mendidik Anak

30 Maret 2010   18:43 Diperbarui: 6 Juli 2015   13:49 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_106685" align="aligncenter" width="300" caption="Mencorat-coretkan duka. (dok pribadi, dari www.kelompoksepi.blogspot.com)"][/caption]

“It takes the whole village to raise a child.” Kurang lebih artinya “orang sedesa bertanggung jawab atas mendidik-besarkan seorang anak”. Peribahasa ini dipercaya sebagai peribahasa yang berasal dari salah satu kebudayaan Afrika. Namun sekarang peribahasa ini telah menjadi ungkapan yang sangat umum walaupun pada prakteknya kita semakin jauh dari keadaan ini. Rasa tanggungjawab social terhadap pendidikan anak semakin memudar dan semakin banyak anak yang menjadi terlantar dan tidak terdidik.

“Menggendong tangis” adalah ungkapan dari tradisi masyarakat Jawa di desa yang kurang lebih sama dengan peribahasa di atas. Ungkapan ini disampaikan oleh para wanita yang berkenduri pada waktu seorang bayi berumur selapan atau 35 hari. Para wanita berkumpul, berdoa bersama dan membawa pulang makanan atau yang biasa disebut brokohan.

Sepulang dari acara brokohan ini, ibu saya akan memanggil semua anaknya, lalu membagi-bagikan makanan sambil berkata: “Mari kita menggendong tangisnya si Tono.” misalnya. Yang makan nasi brokohan ini secara psikologis menjadi terikat dan bertanggung jawab ikut menggendong Tono jika dia menangis dan mungkin orang tuanya sedang repot. Secara harafiah, semua orang di desa tersebut bertanggungjawab momong atau menjaga Tono.

Masyarakat Jawa penuh dengan simbol. Secara simbolis semua warga desa bertanggung jawab mendidik-besarkan seorang anak. Sayang tradisi ini sekarang sudah sangat jarang dan mulai luntur. Hal-hal yang bersifat simbolis tak jarang dianggap tahayul. Tradisi ini juga memudar karena persaingan hidup yang semakin keras yang melunturkan sikap-sikap sosial yang positif.

Bila kita masih punya rasa tanggungjawab sosial menggendong tangis anak tetangga, masalah sosial anak korban bencana dan kemiskinan akan sedikit berkurang.

Ungkapan “menggendong tangis” yang diperkenalkan oleh ibu saya sejak saya masih kecil ini sangat membekas di hati saya. Ketika terjadi gempa di Jogja tahun 2006, bersama para perupa Kelompok SEPI, kami mengadakan kegiatan menggambar bersama anak-anak.

Sebagai perupa, yang kami tahu adalah kami merasa lega, terbebas dari beban pada waktu kami melampiaskan rasa kami di selembar kertas. Maka kami pun berbekal kertas-kertas gambar dan pastel berangkat ke daerah-daerah gempa. Kami mengajak anak-anak melampiaskan duka mereka pada lembar-lembar kertas gambar. Lalu beberapa teman membantu dengan dana jadi kami bisa membuat kegiatan ‘drawing untuk trauma healing’ di beberapa sekolah dasar.

Tangis yang masih saya gendong sampai sekarang salah satunya adalah tangis Fikar. Seorang murid kelas satu SD Imogiri yang ibunya meninggal tertimpa reruntuhan rumah. Yang membuat dukanya lebih dalam karena ibu gurunya juga meninggal dunia. Ketika kami dating, dia menatap saya agak ketakutan. Saya mendekati anak lelaki kecil yang bergelayut di kaki bapaknya itu. Saya ajak bicara, dia tidak menjawab. Saya sodorkan selembar kertas dan sekotak pastel. Dia menerimanya dan mulai menggambar.

[caption id="attachment_106686" align="alignleft" width="180" caption="Tangis Fikar (dok. pribadi, www.kelompoksepi.blogspot.com)"][/caption]

Gambarnya berbaur antara gelap dan sedikit harap. Dua buah gunung yang tak selesai. Salah satu gunung seolah marah berwarna merah, berasap hitam.Gunung yang lainnya berwarna hijau, terbersit harap, namun tak selesai.

Dengan tangan kecilnya dia menyerahkan gambar itu. Tak berkata apa-apa. Hanya matanya seolah berkata: “Gendonglah tangisku.”

Mari menggendong tangis anak-anak di sekitar kita.

Lagu 'Let It Rain' ini juga menggambarkan bagaimana kita seharusnya menggendong tangis anak-anak, bagaimana mendidik-besarkan anak-anak kita. "Children are like planting seeds, youve got to let their flowers grow" anak-anak seperti benih yang ditanam, biarkan mereka tumbuh dan berbunga.

Let It Rain Jon Bon Jovi and Luciano Pavarotti (Modena, 9.6.1998) Last night I had a dream that there would be a morning after Long days of sunshine and peace Long nights of love, forgiveness, and laughter Maybe it was just a dream but it could be reality Children are like planting seeds, youve got to let their flowers grow Dont you know Fa che piova, (Let it rain) Fa che il cielo mi lavi il dolor (Let heaven wash away my pain) Fa che piova (Let it rain) che sia la pace il nome d'amor (That peace would be the name of love) Today I saw a child just like my child Someones son or daughter I watched as they played for a while I wanted to cry, those babies just smiled Maybe it was just a dream, but it should be reality A child is just God’s sign that peace and love are seeds that make tomorrows grow Fa che piova, (Let it rain) Fa che il cielo mi lavi il dolor (Let heaven wash away my pain) Fa che piova (Let it rain) che sia la pace il nome d'amor (That peace would be the name of love) Go on, we’ve tried war No one wants peace more Than the children who ask their dads why Fa che piova, (Let it rain) Fa che il cielo mi lavi il dolor (Let heaven wash away my pain) Fa che piova (Let it rain) che sia la pace il nome d'amor (That peace would be the name of love)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun