Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mengejar Cinta di Tanjung Bunga

9 Maret 2018   05:00 Diperbarui: 9 Maret 2018   19:41 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Altar Utama di Kelenteng Kwan Tie Miaw I Foto Dokumentasi Pribadi

Selamat pagi  Bangka...!

Pagi ini diriku terbangun dengan rasa bahagia dan bersemangat.

Aku sudah mandi sejak sebelum matahari menerpakan cahayanya di Pulau Bangka. Aku harus berangkat pagi ke Tanjung Bunga karena sudah janjian dengan Prameshwari untuk menemaninya ke Kota Pangkal Pinang.

King Kobra milik Gung menjadi alat transportasi yang efektif dan efisien. Memang tarikan tidak semelesat ketika spuyernya belum dimodifikasi tetapi ini menjadi pilihan berhemat selama aku di Bangka. Motor pun kupacu dari Pangkal Pinang ke Tanjung Bunga.

"Aduuhh.  Telat. Mesh sudah pergi ke kelenteng di Pangkal Pinang,  nyari info obat tradisional untuk gondongan," kata temannya.

Hadeuhhh.  Kemarin sudah disampaikan kalau mau ke Pangkal Pinang, nanti akan kuantarkan naik motor. Pagi ini dia sudah ngeloyor sendiri naik angkutan desa ke kota. Mesti nyari di kelenteng mana  nih gadis?  Pramesh... kamu betul-betul menguji diriku.

Jarak memang tidak begitu jauh. Tetapi mencari kelenteng di Pangkal Pinang yang jumlahnya banyak, bukan perkara mudah. Aku lalu bertanya ke warga yang menjaga kelenteng di pinggiran kota mengenai kelenteng yang banyak dikunjungi oleh pendatang atau wisatawan.  "Coba ke Kelenteng Kwan Tie Miaw, itu salah satu kelenteng yang tertua," katanya.

Sempat beberapa kali bertanya akhirnya sampai juga. Kelenteng Kwan Tie Miaw berada di tengah pasar,  downtown  kota Pangkal Pinang. Aku celingukan dari luar pagar mencari sosok perempuan tinggi berambut setengah bahu. Beberapa pegawai kelenteng terlihat menyapu bagian dalam kelenteng. Namun, Mesh tak nampak.

Perasaanku pun sudah tak karuan. Kesal. Gemes. Marah. Cemas. Semua bercampur aduk, kacau balau.

Seorang Mpek*) yang duduk di pojokan pintu masuk terlihat sedang menulis dan membolak-balik kertas warna kuning. Di dekat tumpukan kertas ada radio tape kecil. Aku mendekat dan bertanya mengenai keberadaan seorang perempuan tinggi dengan rambut sebahu yang mungkin terlihat olehnya.

"Tidak ada. Atau aku yang tak melihatnya  ya?  Pagi ini banyak yang sembahyang.  Duduklah dulu! Dari mana?" katanya.

"Palembang," kataku sambil duduk. 

"Ini adalah salah satu kelenteng tertua di Bangka. Berdiri sejak 1846."

"Sudah tua sekali ya, Mpek."

Aku kembali celingukkan melihat ke dalam dari jendela. Asap dupa membumbung memenuhi ruangan. Samar-samar aku melihat beberapa orang sedang sembahyang.

Mereka bergerak dari satu altar ke altar lainnya. Gerakannya ritmis. Penuh konsentrasi.

Akhirnya mataku membelalak melihat seorang perempuan yang kuyakini itu adalah Prameshwari. Perempuan tersebut terlihat berada di depan altar utama. Gaya rambutnya khas. Pundaknya khas.

Pramesh... kamu selalu mempermainkan perasaanku.

Setelah meyakini perempuan yang kucari berada di dalam kelenteng, hatiku menjadi tenang. Sayup terdengar lagu mendayu dari radio tape kecil di depan Mpek. Iramanya begitu tenang, suara perempuan yang menyanyi  juga lembut.

Ni wen wo ai ni you duo shen

Wo ai ni you ji fen

Wo de qing ye zhen

Wo de ai ye zhen

Yue liang dai biao wo de xin

Qing qing de yi ge wen

Yi jing da dong wo de xin

Shen shen de yi duan qing

Jiao wo si nian dao ru jin**)


Jantungku yang tadi berdegup kencang karena mencemaskan Prameshwari, perlahan kembali tenang setelah mendengarkan lagu tersebut.

Barangkali itulah alasan mengapa ada ungkapan yang mengatakan bahwa musik dan lagu adalah bahasa universal. Sekali kita tertambat dengan iramanya maka lagu itupun masuk meresap ke dalam jiwa.

"Lagunya indah sekali tapi sayang aku tak mengerti Bahasa Mandarin," kataku.

"Lagu ini memang indah dan lembut. Rasanya tak ada orang Tionghoa yang tidak suka dengan lagu ini," kata Mpek.

Dengan berusaha mengikuti irama, Mpek menerjemahkan lagu tersebut sambil tersenyum dan manggut-manggut.

Kau bertanya padaku

Seberapa dalam aku mencintaimu

Seberapa besar rasa cintaku padamu

Perasaanku ini sungguh-sungguh

Begitu juga dengan cintaku

Bulan mewakili hatiku

Sebuah kecupan lembut

Sudah cukup menyentuh hatiku

Sebuah perasaan yang mendalam

Membuatku selalu memikirkanmu hingga sekarang

"Artinya bagus sekali dan menyentuh," kataku.

"Teresa Tang. Lagu saat  jatuh cinta. Di pesta pernikahan lagu ini pasti dinyanyikan," Mpek menerangkan.

"Gimana sudah terlihat? Masuklah! Carilah!" kata Mpek.

Setelah menarik nafas dalam dan menenangkan diri. Aku berbisik dalam hati, "Masuklah! Hampirilah! Sapalah! Kau sudah sampai sini. Tapi... tenang... tenang...".

Akupun masuk. Kulihat di meja persembahan banyak buah-buahan. Kabut asap dupa semakin memenuhi ruangan.

Perempuan dengan rambut sebahu dan pundak lurus tegap itu kudekati. Aku tak berani menegurnya. Aku membiarkannya. Aku menikmatinya.

Ketika perempuan itu membalik badannya dan kedua mata kami beradu. Mukaku langsung jengah. Senyumnya merekah di bibir merah. Lesung pipit  tersunting  di pipinya.

Prameswari menghampiriku. "Bagaimana kau bisa menemukanku?".

"Temanmu di Posko yang memberitahuku. Aku bertanya pada banyak orang untuk sampai ke sini," kataku terbata-bata.

"Aku percaya kau akan mencariku,".

"Kalau aku tak mencarimu...".

"Tak mungkin. Ratusan kilo saja sudah kau jelajahi mencari aku."

"Dirimu sudah terikat cintaku," bisiknya.

Pramesh... kamu selalu bisa menelanjangi isi hatiku.

Apakah kamu sejenis penyihir?

Yang pasti aku telah tersihir cintamu, Pramesh....

Prameshwari pun lalu mengungkapkan kalau dirinya harus ke pasar untuk membeli karton, mistar, spidol dan paku payung untuk persiapan penyuluhan.

"Sudah dapatkah cara mengobati gondok secara tradisional?" tanyaku.

"Bukan gondok, tapi gondongan. Beda itu! Gondok itu berhubungan dengan kelenjar gondok, tapi kalau gondongan itu akibat infeksi virus."

"Ups...  maaf. Saya salah, Bu Dokter," godaku.

Sebelum meninggalkan kelenteng. Aku menghampiri Mpek. Si Mpek ternyata menuliskan arti lagu yang dinyanyikan oleh Therese Tang tadi.

"Ini aku tuliskan artinya. Semoga bermanfaat," kata Mpek.

Akupun mengucapkan terimakasih.

"Tulisan apa?" tanya Prameshwari setelah keluar dari kelenteng.

"Akh...  mau tau aja."

"Awas  ya nanti kubalas," kata Prameshwari sambil menunjukkan muka cemberut.

Pulang ke Tanjung Bunga hari beranjak sore dan mendung menggelayut di langit.  Kata pepatah mendung tak selalu berarti akan turun hujan.  Tapi ini justru hujan deras. Jaket denim yang kupakai akhirnya aku berikan pada Mesh. Karton yang dibeli tadi ternyata sudah dibungkus plastik demikian pula dengan peralatan tulis lainnya. Mesh menolak ketika kutawari untuk berteduh.

"Lebih baik langsung pulang karena hari sudah mulai gelap," katanya.

Aku tak mau memacu motor karena pasti akan membuat Mesh kedinginan. Tiba-tiba ada beban yang rebah ke punggungku. Tubuh itu begitu lembut seperti lagu Teresa Tang tadi. Aku tak berani membayangkan muka dan tubuhnya yang tertimpa titik hujan.

Kedua tangannya didekapkan ke dadaku.

"Apakah dadamu cukup hangat didekap tanganku?" bisiknya di telingaku.

Aku kelu.

Hangat? Salah! Wow...  panas malah, yang menjalar memenuhi rongga dadaku, tembus ke hati dan jiwaku.

Motor berhenti di halaman Posko. Sewaktu turun, Mesh terlihat menahan dingin dengan mengatupkan gerahamnya.

"Terimakasih," katanya nyaris tak terdengar sambil melepaskan jaket denimku.

Bajunya yang basah melekat ke tubuhnya membuatku terkesiap. Mukaku memerah tetapi temaram jingga menjelang malam di Tanjung Bunga menyembunyikan jengahku.

"Aku pamit. Masuklah ke dalam sebelum teman-temanmu tahu," kataku.

"Iya. Besok pagi datanglah. Kami akan ada penyuluhan di sini. Jangan lupa setelah sampai di rumah Budi, minum parasetamol," katanya menyerahkan jaket denimku yang juga basah.

Baru hendak mengengkol motor tiba-tiba dari pintu Posko, teman-teman Mesh keluar sambil berteriak, "Kok tidak disuruh masuk dulu, Mesh. Hujan. Dingin".

Aku tersenyum saja memandangi Mesh yang ternyata berjalan mundur sambil melambaikan tangan dan tertawa kecil.

Dingin yang menerjang tubuhku biasanya membuat demam dan pilek, tapi ini malah sehat-sehat saja menembus hujan sepanjang perjalanan kembali ke Pangkal Pinang.  Demikianlah kalau lagi jatuh cinta tubuh mengeluarkan hormon kebahagiaan -- hormon dopamin, yang meningkatkan imunitas tubuh.

Kalaupun aku demam, itu pasti demam cinta. Obatnya bukan parasetamol tapi pacaran,  eh bertemu dengan yang dicintai.  Hiks.

Ketika beristirahat menjelang malam, lamat-lamat dari rumah tetangga terdengar lagu Teresa Tang yang membuatku menikmati bahagia berulang.

Tiba-tiba aku teringat kata-kata Gung bahwa aku dan Pramesh sangat berbeda level.

Kalau di lagu itu dikatakan bulan mewakili hatiku.Namun, untuk perasaanku kepada Pramesh mungkin lebih cocok menjadi bagai pungguk merindukan bulan,  keluhku dalam hati.

Inikah keraguan cinta?

Aku pun menutup mata dan memilih untuk mengingat dekapan tangan dan wajah Mesh ketika kami pulang hujan-hujan sambil naik motor, daripada memilih keraguan.

Hatiku telah terikat cinta.

*) Mpek : panggilan untuk pria tua dalam bahasa mandarin

**)Lagu Yue liang dai biao wo de xin oleh Teresa Tang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun