Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahalnya Suara 15 Detik

29 Desember 2017   11:50 Diperbarui: 29 Desember 2017   12:34 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penutup Sarapan I Foto dokumentasi pribadi

Dia menyenangi berangkat dan pulang di ujung jelang malam ataupun di ujung jelang pagi. Sama dengan diriku. Menyukai proses perubahan alam yang sangat fantastis. Lampu berkelap kelip diujung malam atau diujung pagi. Perubahan suasana alami itu seperti diatur oleh dirigen besar yang memiliki kekuatan yang sangat besar di alam semesta ini.

Itulah puncak aku dan istriku selalu bersyukur hidup dan mencari rezeki dan membesarkan anak-anak. Ada semacam rasa bahagia yang keluar dari tubuh kami. Biasanya istriku akan meremas jemari tanganku.

***

"Aku sudah di Musi II. Aku naik taxi bandara. Kamu sampai mana?" tanya istriku.

"Sudah di Karya Jaya. Tunggulah di Pos Polisi bawah Jembatan Musi II," kataku yang semalam naik travel terakhir dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra. Kami terjebak macet karena semalam ada truk batubara yang terguling.

Ketika aku sampai di bawah Jembatan Musi II, istriku terlihat sedang membeli sarapan pada penjual kue keliling. Pisang goreng, lemper, kue apem pun dibeli masing-masing lima buah.


Dermaga kecil di bawah Jembatan Musi II ini tempat sekumpulan perahu ketek dan juga speedboat. Pulokerto, Kertapati, dan juga ke Rambutan merupakan rute yang paling padat kalau pagi. Aparatur Sipil Negara (ASN) guru, tenaga kesehatan dan pegawai pemerintahan berbaur dengan masyarakat yang akan beraktivitas, memenuhi dermaga ke Ulu.

Aku dan istriku menunggu agar perahu ketek penuh karena jalur kami ke Ilir ke Ampera yang sedikit penumpangnya. Hampir 15 menit penumpang hanya kami berdua dan kami pun akhirnya sepakat dengan pemilik perahu untuk menyewa perahu  seharga jumlah penumpang penuh.

Pisang goreng, lemper dan kue apem pun masuk ke mulut, plus sebotol air putih untuk berdua. Pengemudi perahu ketek lupa ditawari.

Sungai Musi berkabut. Suasana kehidupan pagi di sungai bergerak lambat. Ada warga yang sedang mandi dan mencuci di pinggiran. Satu yang membuatku bangga adalah ketika satu perahu penuh dengan anak-anak berseragam sekolah dasar berpapasan dengan kami.

Jembatan Musi IV terlihat hampir selesai rangka lengkung atasnya. Kami pun melewati Pasar Sekanak. Buruh angkut terlihat mengangkut kelapa dari daerah jalur.

Jembatan Ampera terlihat kokoh. Sebuah jembatan penanda Palembang. Kami pun berhenti di dermaga River Side.

Matahari pagi terlihat malu-malu muncul. Dimsun yang dipesan istriku pun muncul. Satu persatu pun meluncur ke perut yang memang butuh diasup.

Potongan buah dan  banana  ice  cream  yang dipesan pun mendekati ludes. Sang istri meminta difotokan potongan buah yang sudah disusun menjadi lambang hati dengan latar Jembatan Ampera.

"Aku lelah sayang. Aku ke Yogyakarta, Pontianak, Pekanbaru,  dan kini Palembang. Empat kota dalam seminggu. Mesti dijalani setiap bulan," ujarnya sambil menatapku.

"Aku butuh kamu".

"Bolehkah aku berhenti atau menambah satu kota lagi karena sudah ada tawaran yang masuk, seminggu yang lalu," katanya sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku.

"Sayang, malu dilihat orang," kataku lembut.

Istriku bangkit dan langsung memainkan tuts digital dan datanglah mobil online. Mobil pun mengarah ke penginapan di dekat kantor. Ya, istri walau bekerja di rumah sambil mengasuh tiga anak bandel, juga masih punya kantor yang harus dilihat sebulan sekali.

"Aku rapat dulu. Tiga puluh menit. Barangku sudah di concierge," katanya berjalan ke kantor sambil melemparkan sebuah kartu padaku. Aku tersenyum. Artinya sebelum ke Musi II, istriku sudah terlebih dulu ke hotel.

Dari lantai delapan hotel aku melihat dirinya melambai ke atas. Kurang dari 20 menit rapatnya.

Begitu di dalam kamar, ipad dan 2 telepon pintarnya langsung disunyikan. Dia pun mengambil telepon genggamku dan telepon pintarku langsung dimode mati.

"Aku cuma butuh sunyi denganmu dua jam saja," katanya sambil merangsek.

Kamar 8338 itupun  sunyi. Di gagang pintu tergantung,  dont  disturb.

"Sayang kamu belum jawab pertanyaanku tadi di Sungai Musi, apakah aku mesti terima proposal satu kota lagikah atau aku berhenti?" tanyanya usai dua jam lebih sedikit sunyi.

Tergantung dirimu. Kalau bisa menanganinya silahkan. Tergantung juga dengan izinmu cukupkah? Saranku ambil saja kalau masih ada kuota izinmu".

"Bagaimana dengan kebunmu?" tanya istriku.

"Kebunku masih belum menghasilkan. Masih butuh pemupukan sekali lagi dan proses pertumbuhan".

"Kita masih mengandalkan kebun tujuh inchimu itu," kataku.

Istriku kini kembali bekerja dengan kebun tujuh inchinya. Melayani empat kota.

"Satu syarat. Kamu harus punya minimal satu juta di tabunganmu untuk berangkat kapanpun aku membutuhkanmu," katanya sambil menatap mataku.

Aku tak menjawab. Aku justru mengangkat mukanya dengan mendongakkan dagunya dari ipad dan mencium keningnya. "Siap. Sayangku".

"Sayang. Aku berjibaku seperti ini untuk keluarga kita. Walau demikian aku butuh kamu. Aku tak bisa sendiri. Beberapa kasus pekerjaan yang lalu, kamu mampu mencarikan solusi. Kamu keberuntunganku".

"Satu hal yang pasti. Cinta kita ini mahal sayangku. Apalagi bagiku untuk mendapat kesunyian," kata istriku sambil kembali mensunyikan ipad dan dua telepon pintarnya.

Akupun menghitung ongkos pulang dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra dan tiket pesawat PP istriku. Ongkos taxi, perahu ketek, sarapan di River Side dan penginapan dekat kantor.

"Sudahlah sayang. Nggak usah dipikirkan. Aku menyukai prosesnya kok. Itu  priceless,"  kata istriku yang kembali merangsek.

Jari telunjukku menekan kedua bibirnya. "Sayang kita ganti  ya,  bukan untuk mendapat kesunyian karena kamu kalau dapat nggak sunyi, malah serak. Jadi diganti untuk mendapat suara serak 15 detik," kataku balas merangsek.

"Betul sayang. Beri aku suara maksimal 15 detik," balasnya sambil tertawa.

Dok.pribadi
Dok.pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun