Mohon tunggu...
Ananto W
Ananto W Mohon Tunggu... Administrasi - saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

pernah bekerja di sektor keuangan, ingin tahu banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gross National Happiness" (GNH), Bukan GDP

20 Maret 2018   07:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   08:59 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: Youtube/Mallorcamorten)

Masalah kebahagiaan diukur dari kondisi emosi (senang/tidak senang) saat disurvei dan evaluasi pengalaman hidupnya. Ini pendekatan ilmu psikologi, bisa jadi orang saat ini kurang nyaman dirinya tetapi ketika ditanya dia mengevaluasi bahwa hidupnya baik.

Kondisi eksternal juga diukur seperti tingkat pendapatan, kesehatan, kesempatan kerja, perhatian sosial seperti menyumbang (generosity) dan tatakelola negara.

Pada tingkat pendapatan yang termasuk golongan miskin orang cenderung tidak bahagia

Kemerosotan kesehatan jiwa juga diukur sebagai tidak bahagia

Kemauan menyumbang (generosity) menjadi indikator kebahagiaan karena orang yang menyumbang umumnya merasa senang.

Yang menarik korupsi yang tinggi dan pemerintah yang amburadul mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang

Indonesia dikatakan mempunyai pengalaman yang baik dalam kasus Aceh.  Meskipun daerah itu mengalami perusakan hebat dalam harta dan nyawa akibat tsunami tahun 2004, masyarakat ternyata merasa lebih puas setelah bencana alam itu. Rupanya karena konflik di Aceh sudah dapat diselesaikan masyarakat mempunyai kesempatan untuk bergotong royong membangun kembali daerahnya. Sebaliknya, penelitian di Srilangka tidak mendapatkan hasil seperti itu.

Premis pengukuran kebahagiaan, bahwa warganegara yang secara emosi merasa bahagia, merasa hidupnya memuaskan dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang bahagia akan menjadi sehat, produktif dan mempunyai bela rasa. Pengukuran kebahagiaan rakyat sebuah negara menjadi pendekatan baru setelah bertahun tahun suatu negara diukur dari tingkat pendapatan per kapita (GNP).

Richard Easterlin menyatakan bahwa pendapatan per kapita warga AS meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa dekade namun bila diukur dengan tingkat kebahagiaan warga negara itu hanya meningkat relatif sedikit. Pendekatan baru mengatakan bahwa kebahagiaan bukan semata-mata milik individu dan kebahagiaan itu bisa diukur.

Seorang  warganegara yang bahagia dan puas akan hidupnya menunjukkan informasi yang penting tentang keadaan masyarakat pada umumnya. Informasi itu bisa dipakai untuk mendorong perubahan kebijakan dalam suatu negara. Pengukuran pendapatan per kapita dipandang mengabaikan pengukuran dampak sosial dan dampak lingkungan hidup yang akhirnya akan mengurangi kualitas hidup manusia.

Pengukuran kebahagiaan ini masih sejalan dengan usaha menghapuskan kemiskinan yang membuat orang tidak bahagia. Lima negara paling bahagia tahun  2017 masih  menjadi milik negara kaya seperti Finlandia, Denmark, Norwegia, Swis, Islandia. Sedangkan negara miskin seperti Burundi, Republik Afrika Tengah, Tanzania, Yaman, Sudan Selatan menjadi penghuni peringkat terbawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun