Mohon tunggu...
Ananto W
Ananto W Mohon Tunggu... Administrasi - saya orang tua biasa yang pingin tahu, pingin bahagia (hihiHI)

pernah bekerja di sektor keuangan, ingin tahu banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gross National Happiness" (GNH), Bukan GDP

20 Maret 2018   07:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   08:59 1659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: Youtube/Mallorcamorten)

Berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Kebahagiaan Indonesia Tahun 2017 mencapai 70,69 pada skala 0-100. Indeks Kebahagiaan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di perdesaan, yaitu 71,64 dibanding 69,57.

"Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan penduduk yang semakin bahagia. Sebaliknya, semakin rendah nilai indek menunjukkan tingkat kehidupan penduduk yang semakin tidak bahagia," kata Kepala BPS K. Suhariyanto kepada wartawan, di Kantor BPS Pusat, Jakarta, Selasa (15/8) siang.

Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2017, jelas Kepala BPS, merupakan indeks komposit yang disusun oleh tiga dimensi, yaitu Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), Perasaan (Affect), dan Makna Hidup (Eudaimonia).

"Kontribusi masing-masing dimensi terhadap Indeks Kebahagiaan Indonesia adalah Kepuasan Hidup 34,80 persen, Perasaan (Affect) 31,18 persen, dan Makna Hidup (Eudaimonia) 34,02 persen," ungkap Suhariyanto.

Ia menyebutkan, besarnya Indeks Dimensi Kepuasan Hidup sebesar 71,07, terdiri atas Indeks sub dimensi Kepuasan Hidup Personal 65,98, dan Indeks sub dimensi Kepuasan Hidup Sosial 76,19. Sedangkan Indeks Dimensi Perasaan (Affect) sebesar 68,59, dan Indeks Dimensi Makna Hidup (Eudaimonia) sebesar 72,23.

Indeks 2017 tersebut terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2014, Indeks Kebahagiaan masyarakat Indonesia adalah 68,28. Dengan demikian, ada peningkatan Indeks Kebahagian secara cukup signifikan dalam rentang waktu 2014-2017. (sumber : SetKab)

Setiap tanggal 20 Maret  dunia memperingati hari kebahagiaan sedunia yang dicanangkan oleh PBB pada tahun 2012.

Berdasarkan laporan peringkat kebahagiaan dunia 2015-2017, Indonesia berada pada peringkat 96 dari  156 negara (World Happines Index Report 2018). Periode 2014-2016, Indonesia peringkat 81 dari 155 negara.  Peringkat itu meningkat.

Tulisan ini membahas Laporan Indeks Kebahagiaan Dunia, bukan pengukuran oleh BPS.

Pengukuran tingkat kebahagiaan dunia diprakarsai oleh negara kecil Bhutan kemudian dijalankan oleh PBB. Bhutan adalah negara pertama yang mengganti GNP menjadi GNH (Gross National Happiness) dan kemudian memprakarsai pengukuran kebahagiaan negara-negara di dunia.  

 Indikatornya gabungan antara ilmu ekonomi dan ilmu psikologi, khususnya yang menyangkut kebahagiaan. Maka beberapa pendekatannya menarik:

Masalah kebahagiaan diukur dari kondisi emosi (senang/tidak senang) saat disurvei dan evaluasi pengalaman hidupnya. Ini pendekatan ilmu psikologi, bisa jadi orang saat ini kurang nyaman dirinya tetapi ketika ditanya dia mengevaluasi bahwa hidupnya baik.

Kondisi eksternal juga diukur seperti tingkat pendapatan, kesehatan, kesempatan kerja, perhatian sosial seperti menyumbang (generosity) dan tatakelola negara.

Pada tingkat pendapatan yang termasuk golongan miskin orang cenderung tidak bahagia

Kemerosotan kesehatan jiwa juga diukur sebagai tidak bahagia

Kemauan menyumbang (generosity) menjadi indikator kebahagiaan karena orang yang menyumbang umumnya merasa senang.

Yang menarik korupsi yang tinggi dan pemerintah yang amburadul mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang

Indonesia dikatakan mempunyai pengalaman yang baik dalam kasus Aceh.  Meskipun daerah itu mengalami perusakan hebat dalam harta dan nyawa akibat tsunami tahun 2004, masyarakat ternyata merasa lebih puas setelah bencana alam itu. Rupanya karena konflik di Aceh sudah dapat diselesaikan masyarakat mempunyai kesempatan untuk bergotong royong membangun kembali daerahnya. Sebaliknya, penelitian di Srilangka tidak mendapatkan hasil seperti itu.

Premis pengukuran kebahagiaan, bahwa warganegara yang secara emosi merasa bahagia, merasa hidupnya memuaskan dan hidup dalam lingkungan masyarakat yang bahagia akan menjadi sehat, produktif dan mempunyai bela rasa. Pengukuran kebahagiaan rakyat sebuah negara menjadi pendekatan baru setelah bertahun tahun suatu negara diukur dari tingkat pendapatan per kapita (GNP).

Richard Easterlin menyatakan bahwa pendapatan per kapita warga AS meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa dekade namun bila diukur dengan tingkat kebahagiaan warga negara itu hanya meningkat relatif sedikit. Pendekatan baru mengatakan bahwa kebahagiaan bukan semata-mata milik individu dan kebahagiaan itu bisa diukur.

Seorang  warganegara yang bahagia dan puas akan hidupnya menunjukkan informasi yang penting tentang keadaan masyarakat pada umumnya. Informasi itu bisa dipakai untuk mendorong perubahan kebijakan dalam suatu negara. Pengukuran pendapatan per kapita dipandang mengabaikan pengukuran dampak sosial dan dampak lingkungan hidup yang akhirnya akan mengurangi kualitas hidup manusia.

Pengukuran kebahagiaan ini masih sejalan dengan usaha menghapuskan kemiskinan yang membuat orang tidak bahagia. Lima negara paling bahagia tahun  2017 masih  menjadi milik negara kaya seperti Finlandia, Denmark, Norwegia, Swis, Islandia. Sedangkan negara miskin seperti Burundi, Republik Afrika Tengah, Tanzania, Yaman, Sudan Selatan menjadi penghuni peringkat terbawah.

Untuk kasus Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah  faktor sosial dan lingkungan hidup  menjadi penghambat rakyat menjadi bahagia. Kasus pandangan terhadap korupsi yang dipakai sebagai tolok ukur GNH juga tidak akan memberikan nilai positif terhadap kebahagiaan rakyat Indonesia.

Berpijak pada hasil penilaian tingkat kebahagiaan rakyat maka tidak berlebihan bahwa harapan besar pantas diarahkan kepada pemimpin negara ini.  Secara sederhana kemacetan Jakarta dan kota besar menyebabkan waktu berkumpul keluarga sangat berkurang.

Belum lagi sosialisasi dengan tetangga dan komunitas yang lebih luas. Jaringan sosial yang tidak terbentuk membuat orang terasing dari mayarakat. Dalam tingkat komunitas, kepercayaan tidak tumbuh apabila interaksi antara kelompok masyarakat tidak terjalin. Biaya sosial itu sangat besar.

Ke depan dampak pengukuran GNH ini akan membuat para ahli menghitung biaya dan manfaat dari suatu proyek tidak hanya aspek ekonomi, tetapi akan lebih progresif. Biaya dampak sosial dan lingkungan hidup perlu dimasukkan dalam rencana proyek.

Sebagai contoh kecil, walikota Bandung misalnya pernah memberikan denda milyaran rupiah kepada pihak yang menebang  pohon. Denda itu diperhitungkan dari harga oksigen per tahun yang bisa dihasilkan oleh pohon usia 30 tahun yang ditebang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun